Lompat ke isi

Taman Sari Yogyakarta

Koordinat: 7°48′37″S 110°21′32″E / 7.810151°S 110.358946°E / -7.810151; 110.358946
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Taman Sari Yogyakarta
Native name
ꦠꦩꦤ꧀ꦱꦫꦶꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ  (Jawa)
Waterkasteel
Pasiraman Umbul Binangun di bagian kedua
Peta
JenisTaman kerajaan
LokasiJalan Taman, Patehan, Kraton, Yogyakarta, Indonesia
Koordinat7°48′37″S 110°21′32″E / 7.810151°S 110.358946°E / -7.810151; 110.358946
Luas12.666 hektare (31.300 ekar)
DidirikanHamengkubuwana I
Dibangun1765
Penggunaan asliPesanggrahan, kediaman Sultan
Direstorasi1977, 1997, 1999, 2004
ArsitekTumenggung Mangundipura[1]
Gaya arsitekturJawa, Portugis, Islam
PengelolaMuseum Keraton Yogyakarta
PemilikKesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Nama resmiSitus Taman Sari
JenisSitus
Ditetapkan1 Juli 1998
Bagian dariSumbu Filosofis Yogyakarta
No. referensiKB000069
PeringkatNasional

Taman Sari Yogyakarta (bahasa Jawa: ꦠꦩꦤ꧀ꦱꦫꦶꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ, translit. Taman Sari Ngayogyakarta) adalah situs bekas taman istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Taman istana ini dibangun pada zaman Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1758–1765. Kebun yang digunakan secara efektif antara 1765-1812 ini pada mulanya membentang dari barat daya kompleks Kedhaton sampai tenggara kompleks Magangan. Namun saat ini, sisa-sisa bagian Taman Sari yang dapat dilihat hanyalah yang berada di barat daya kompleks Kedhaton saja.

Taman Sari memiliki luas 12,666 hektare (31,30 ekar) dengan sekitar 58 bangunan dengan 15 di antaranya merupakan bangunan utama baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air.

Kompleks Taman Sari setidaknya dapat dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama adalah danau buatan yang terletak di sebelah barat. Bagian selanjutnya adalah bangunan yang berada di sebelah selatan danau buatan antara lain Pemandian Umbul Binangun. Bagian ketiga adalah Pasarean Ledok Sari dan Kolam Garjitawati yang terletak di selatan bagian kedua. Bagian terakhir adalah bagian sebelah timur bagian pertama dan kedua dan meluas ke arah timur sampai tenggara kompleks Magangan.

Awal pembangunan

[sunting | sunting sumber]
Gedhong Kenanga pada 1859 (gambar oleh C. Buddhing, Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia Belanda")

Dalam naskah Babad Giyanti, sejak zaman Sunan Amangkurat (tanpa diketahui yang bertakhta keberapa) di tempat ini sudah ada sebuah pesanggrahan dengan nama Garjitawati, yang kemudian oleh Pakubuwana II diganti namanya menjadi Ayogya. Pesanggrahan ini awalnya dibangun sebagai tempat singgah raja-raja yang mangkat sebelum dimakamkan di Astana Pajimatan Himagiri.[2] Pasca-Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwana I) mencarikan lokasi yang tepat bagi pusat pemerintahannya. Sebuah hutan beringin, yang berlokasi di timur Pesanggrahan Ambarketawang, dikenal dengan nama Pacethokan. Hutan yang berlokasi di antara Kali Winongo dan Kali Code tersebut, menjadi lokasi pembangunan keraton baru. Pada 7 Oktober 1756, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat selesai dibangun.[3]

Selain membangun keraton, Hamengkubuwana I juga memerintahkan untuk membangun pesanggrahan dan taman kerajaan (taman sari). Menurut versi sastra lisan yang beredar, diceritakan bahwa pada masa Hamengkubuwana II, Kesultanan kedatangan seseorang yang tidak diketahui asalnya. Orang tersebut memiliki bahasanya sendiri dan orang-orang di sekitarnya tidak paham bahasa tersebut. Ketika orang tersebut menghadap Sultan, Sultan bertanya asalnya. Ia menjawab, bahwa ia berasal dari Portugis. Ia pun ditugasi membangun beberapa bangunan, termasuk Taman Sari dan Benteng Baluwerti. Ia pun akhirnya diberi nama "Demang Tegis".[4] Jejak-jejak Portugis di Keraton Yogyakarta masih terlihat dari penyebutan baluwerti yang berasal dari kata bahasa Portugis baluarte, juga gaya bangunan yang diyakini dipengaruhi gaya Portugis.[5]

Namun, keabsahan cerita ini dibantah. P.J. Veth menyebut bahwa Taman Sari bukanlah karya arsitek Portugis, melainkan murni karya orang Jawa. Sama juga dengan Isaac Groneman, sempat menulis artikel mengenai Taman Sari (Het waterkasteel te Yogyakarta. TBG, XXX 1885, halaman 414–436). Taman Sari dibangun atas perintah Hamengkubuwana I. Tumenggung Mangundipura ditugasi untuk memimpin proyek pembangunan serta didampingi Lurah Dawelingi yang merupakan orang Bugis. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Mangundipura pergi ke Batavia untuk mencari motif bangunan bergaya Eropa. Taman Sari pun akhirnya dibangun pada 1758.[6]

Bagian kolam yang runtuh, sekitar tahun 1930-an

Hasil studi naskah Keraton Yogyakarta juga memperkuat argumen ini. Bupati Madiun, Raden Rangga Prawirasentika, ditugasi untuk melengkapi gamelan sekaten, setelah Keraton Yogyakarta mendapatkan perangkat gamelan sekaten hasil palihan nagari. Gamelan yang dimaksud adalah Kanjeng Kyai Naga Wilaga. Setelah melaksanakan tugas pembuatan gamelan tersebut, ia ditugasi membuat jempana (tandu) bagi pangeran dan putri Sultan, serta mengawasi proyek pembangunan Taman Sari. Perintah dimulainya pembangunan Taman Sari ditandai dengan sengkalan memet berupa pahatan empat ekor naga yang dapat diartikan sebagai, "catur naga rasa tunggal" (1684 Jawa/1758 M). Pengawasan proyek Taman Sari ditugaskan kepada Tumenggung Mangundipura, dan kemudian Pangeran Natakusuma (Paku Alam I). Bagian pertama yang dibangun adalah tempat tidur Sultan dan terowongan. Kedua bangunan tersebut menjadi sengkalan memet, "pujining brahmana ngobahke jungut" (1687 Jawa/1761 M). Bangunan inti dan gapura Taman Sari akhirnya selesai pada Minggu Pon, 7 Syawal tahun 1691 Jawa (1765 M), dengan sengkalan burung yang mengisap madu: lajering sekar sinesep peksi. Karena kewajibannya terpenuhi, maka Prawirasentika dibebaskan dari kewajibannya membayar pajak. Namun, Prawirasentika sudah tak mampu merampungkan tugasnya, sehingga Natakusuma mengambil alih pekerjaan hingga selesai seluruhnya.[7][8]

Penggunaan dan kemunduran

[sunting | sunting sumber]
Gapura Agung yang runtuh sebagian, 1900-an

Taman Sari hanya digunakan secara efektif sebagai pesanggrahan sejak awal selesai berdirinya hingga tahun 1812. Bangunan ini diketahui pernah diserang oleh Inggris pada peristiwa Geger Sepehi pada 1812 dan kemudian disusul dengan bencana alam gempa bumi Jawa 10 Juni 1867 pada masa Sultan Hamengkubuwana VI. Kejadian gempa ini tak hanya meluluhlantakkan Taman Sari, tetapi juga banyak bangunan-bangunan penting di Yogyakarta kala itu.[9] Setelah kejadian gempa tersebut, masyarakat yang kehilangan rumahnya mulai menempati lahan-lahan kosong yang berlokasi di dekat area Taman Sari. Dengan sistem magersari, penduduk diizinkan membangun rumah di area bekas pesanggrahan tersebut.[10]

Pada masa pemerintahan Hamengkubuwana VIII, sempat muncul rencana untuk mengembalikan fungsi Taman Sari ke wujud semula. Namun, pada tahun 1972, Hamengkubuwana IX memilih untuk tidak lagi menggunakan Taman Sari seperti fungsi awalnya. Alih-alih, ia memilih untuk menjadikan tempat tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Pada 1 April 1976, Hamengkubuwana IX mengumumkan bahwa Taman Sari sudah tak lagi digunakan oleh keluarga Kesultanan. Hal ini dikarenakan area sekitar Taman Sari telah padat permukiman penduduk. Keraton memutuskan bahwa masyarakat boleh memanfaatkan tanah kesultanan dengan sistem magersari, dan sebagian menjadi hak milik.[11]

Dijadikan objek wisata

[sunting | sunting sumber]
Gapura Panggung, sekitar tahun 1960- atau 1970-an

Pada 1974, Taman Sari dikelola oleh Tepas Keprajuritan (sekarang Kawedanan Keprajuritan) dan dijadikan tempat wisata. Tahun 1977 dilakukan revitalisasi kompleks. Namun, sedikit dari bangunan yang direvitalisasi, karena banyak bangunan yang hancur setelah gempa 1867. Pada tahun 1990, kampung di sekitar Taman Sari diresmikan sebagai Kampung Wisata Taman. Pada 1997, Taman Sari kembali dipugar, sebelum setahun berikutnya Taman Sari mendapat status cagar budaya dari Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Tahun 1999 kompleks Taman Sari mengalami renovasi kecil terhadap bangunan dengan perawatan khusus, seperti Sumur Gumuling, Pasareyan Ledoksari, dan Pulau Cemethi.[12]

Pada 2003, Taman Sari mulai dipugar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) dan Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, bekerja sama dengan yayasan pelestari kebudayaan Portugal, Calooste Golbenkian dan Pemerintah Portugal. Upaya rehabilitasi ini diresmikan oleh Hamengkubuwana X dan Jose Blanco. Sebesar Rp1,6 miliar digelontorkan oleh Pemerintah Portugal dan sisa Rp2,5 miliar berasal dari APBD dan memakan waktu 6 bulan. Namun, hasil pemugaran ini terdampak gempa bumi Yogyakarta 2006, sehingga BP3 bekerja sama UNESCO untuk menyelamatkan konstruksi bangunan Taman Sari. Program penyelamatan struktur Taman Sari dimulai pada 2007.[13]

Deskripsi bangunan

[sunting | sunting sumber]

Taman Sari merupakan bangunan kebudayaan peninggalan Hamengkubuwana I yang kemudian dilanjutkan oleh Hamengkubuwana II. Taman Sari yang menggunakan teknik konstruksi abad ke 17–18, menunjukkan bahwa kompleks bangunan ini memiliki kesan bangunan megah dan agung serta menggunakan teknologi bangunan yang sudah modern. Secara konstruksi, teknik yang digunakan untuk membangun Taman Sari adalah teknik bajralepa, serta mencampur pasir dan tumbukan bata yang diolah sehingga merekat seperti layaknya semen. Teknik bangunan Taman Sari tidak menggunakan beton bertulang besi, sehingga memerlukan tembok yang tebalnya tidak kurang dari 5 sentimeter (2,0 in). Hal ini yang menyebabkan jika Taman Sari runtuh misalnya karena gempa, maka tidak semua bagian bangunan runtuh total, bahkan ada juga yang tetap utuh.[14]

Taman Sari memiliki luas 12,666 hektare (31,30 ekar)[15] dengan sekitar 58 bangunan dengan 15 di antaranya merupakan bangunan utama.[16] Kompleks ini dahulu dikelilingi air, sehingga Taman Sari dijuluki dengan nama "Istana Air" (Watercastle). Namun, saat ini, bagian yang dahulu diisi dengan air ini telah berubah menjadi permukiman penduduk. Sekitar 2.500 unit rumah memadati kawasan ini.[17] Air yang dibutuhkan untuk kompleks istana Keraton Yogyakarta dan Benteng Baluwerti berasal dari aliran Kali Winongo yang dibendung di daerah Pingit, kemudian dialirkan ke arah Keraton. Orang-orang yang tinggal di dekat saluran itu tidak diperbolehkan mandi di saluran tersebut untuk menjaga kebersihannya, sehingga saluran tersebut diberi nama "Kali Larangan."[18]

Bagian pertama

[sunting | sunting sumber]

Bagian pertama Taman Sari terdiri dari danau buatan yang disebut Segaran (terj. har.'laut buatan') serta bangunan yang ada di tengahnya, dan bangunan serta taman dan kebun yang berada di sekitar danau buatan tersebut. Segaran difungsikan sebagai tempat bersampan Sultan dan keluarga kerajaan.[19] Sekarang danau buatan ini tidak lagi berisi air melainkan telah menjadi pemukiman padat yang dikenal dengan kampung Taman. Bangunan-bangunan yang tersisa berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.[10]

Pulo Kenanga

[sunting | sunting sumber]
Reruntuhan Pulo Kenanga

Di tengah-tengah Segaran terdapat sebuah pulau buatan, "Pulo Kenanga", yang ditanami pohon kenanga (Cananga odorata).[20] Di atas pulau buatan tersebut didirikan sebuah gedung berlantai dua, "Gedhong Kenanga". Pulau buatan ini berbentuk persegi panjang dengan beberapa bangunan berdiri di atasnya. Bangunan inti di Pulo Kenanga merupakan bangunan bertingkat, yang terdiri dari bagian tengah, sayap timur, dan sayap barat. Lantai atas dari bangunan tersebut aslinya terbuat dari kayu. Tingkat atas tersebut dicapai melalui dua tangga di sisi utara bangunan tengah. Dari lantai 2 bangunan tersebut, pengamat dapat melihat objek-objek yang ada di sekeliling Pulo Kenanga, termasuk seluruh kompleks ini, Pasar Ngasem, Keraton, dan bahkan seluruh Kota Yogyakarta.[21]

Untuk mengakses pulau tersebut, orang dapat melewati terowongan di selatan maupun barat bangunan, atau dengan bersampan. Terdapat dua dermaga di selatan Segaran atau utara Pesanggrahan. Sultan memiliki dermaga sendiri dengan nama Pongangan Peksi Beri, sedangkan abdi dalemnya menggunakan pongangan yang lain. Untuk memasuki Pulo Kenanga, terdapat dua pintu gerbang, yakni di sebelah selatan dan utara.[22]

Pulo Panembung dan Sumur Gumuling

[sunting | sunting sumber]

Pulo Panembung adalah sebuah bangunan yang terletak di selatan Pulo Kenanga. Bangunan ini bertingkat dua dan berdenah persegi. Antara lantai 1 dan 2 dihubungkan dengan tangga batu bata plesteran yang menempel di dinding utara, lalu melingkar ke selatan. Lantai 2 bangunan tersebut diduga terbuat dari kayu. Fungsi Pulo Panembung sampai sekarang masih belum jelas, sedangkan masyarakat yang lama tinggal turun-temurun di area Taman Sari menyatakan bahwa Pulo Panembung berfungsi sebagai tempat untuk meditasi Sultan. Untuk memasuki bangunan tersebut, orang harus melewati terowongan yang mengarah ke utara-selatan.[23][24]

Sementara itu di sebelah barat Pulo Kenanga terdapat bangunan berbentuk lingkaran seperti cincin yang disebut "Sumur Gumuling". Bangunan berlantai 2 ini hanya dapat dimasuki melalui terowongan bawah air saja. Sumur Gumuling aslinya adalah masjid. Di kedua lantainya ditemukan ceruk di dinding yang digunakan sebagai mihrab, tempat imam memimpin salat. Di bagian tengah bangunan yang terbuka, terdapat empat buah jenjang naik dan bertemu di bagian tengah. Dari pertemuan keempat jenjang tersebut terdapat satu jenjang lagi yang menuju lantai dua. Di bawah pertemuan empat jenjang tersebut terdapat kolam kecil yang digunakan untuk berwudu.[25]

Bagian kedua

[sunting | sunting sumber]

Gedhong Pecaosan dan Gapura Hageng

[sunting | sunting sumber]
Gapura Hageng

Bagian depan sebenarnya dari Taman Sari adalah Gedhong Pecaosan di halaman Pagelaran, yang terletak di sisi paling barat Taman Sari. Wujud halaman Pagelaran ini telah hilang karena berubah menjadi lautan rumah penduduk. Bangunan Gedhong Pecaosan dimasukkan ke dalam salah satu rumah penduduk, sehingga fisik bangunannya masih dapat dikatakan lebih baik. Bangunan Gedhong Pecaosan digunakan sebagai tempat jaga bregada prajurit. Pada bagian ini, dahulu terdapat tempat untuk memasang meriam pertahanan.[26]

Setelah memasuki Gerbang Pagelaran, maka pengunjung (di masa lalu) akan memasuki Gapura Hageng untuk memasuki halaman kedua. Gerbang ini berdenah segi empat dan berorientasi barat-timur. Di gerbang ini terdapat sepasang anak tangga berbentuk setengah lingkaran untuk naik ke atas bangunan. Gerbang yang dikenal ornamental ini, memiliki banyak ragam hias, mulai dari sulur-suluran hingga sayap, serta burung. Sulur-suluran dan burung yang mengisap bunga ini merupakan sengkalan memet yang berbunyi, lajering sekar sinesep peksi yang melambangkan tanggal selesainya Taman Sari (1765 M).[27]

Di tengah halaman kedua ini dahulu dibangun Gedhong Lopak-lopak, tetapi sekarang sudah hilang.[28]

Umbul Pasiraman

[sunting | sunting sumber]
Umbul Pasiraman, dengan menara di kiri dan gapura barat di kanan

Umbul Pasiraman atau Pasiraman Umbul Binangun adalah kolam pemandian bagi Sultan dan keluarganya. Kompleks kolam pemandian ini beberapa gugus bangunan, yakni sepasang gerbang masuk (barat dan timur), tiga kolam pemandian, bangunan loker untuk berganti pakaian di utara, dan menara bertingkat. Ketiga kolam tersebut memiliki denah dan bentuk yang sama. Menara bertingkat terletak di antara kolam kedua dan ketiga.[29]

Kolam tersebut juga diberi nama (diurut dari utara ke selatan):[30]

  • Umbul Kawitan (untuk putra-putri Sultan)
  • Umbul Pamuncar (untuk selir dan permaisuri Sultan)
  • Umbul Panguras (untuk Sultan sendiri)

Gedhong Sekawan dan Gapura Panggung

[sunting | sunting sumber]
Gapura Panggung

Ke arah timur dari Pasiraman Umbul Binangun, terdapat deretan empat bangunan. Keempat bangunan ini disebut Gedhong Sekawan karena memang jumlah bangunannya empat. Bentuknya persegi panjang dan memiliki empat ambang pintu di keempat sisinya berbentuk setengah lingkaran. Atapnya berbentuk limasan. Bangunan ini dahulu berfungsi sebagai ruang istirahat keluarga raja, dan juga tempat kegiatan menari dan karawitan.[31][30]

Ke timur lagi, terhadap Gapura Panggung, sekaligus membatasi area Gedhong Sekawan. Nama Gapura Panggung diberikan karena di bagian atasnya berbentuk seperti panggung terbuka. Gapura Panggung berbentuk persegi panjang dengan orientasi ke arah timur-barat. Bangunan ini mempunyai tangga yang ada di kanan-kiri bangunan untuk naik menuju panggung terbuka. Di bawah gapura terdapat empat ruangan besar yang dilengkapi pintu dan jendela, serta dihias dengan ornamen berbentuk sulur-suluran dan burung yang sedang hinggap.[32]

Di belakang Gapura Panggung, terdapat dua pasang bangunan, yakni sepasang Gedhong Temanten dan Gedhong Pangunjukan. Bangunan yang kecil merupakan Gedhong Pangunjukan, yakni bangunan untuk menyimpan air minum yang disimpan di dalam tempayan. Sementara bangunan yang lebih besar dinamai Gedhong Temanten. Salah satu bangunan Gedhong Temanten saat ini dimanfaatkan sebagai loket masuk Taman Sari.[33]

Bagian ketiga

[sunting | sunting sumber]

Ke arah selatan dari halaman segi delapan Gapura Hageng, orang dapat melanjutkan perjalanan menuju Gedhong Carik. Bangunan ini dahulu berfungsi sebagai kantor sekretariat Kesultanan. Bangunan ini memiliki tangga turun, karena tanah di sebelahnya jauh lebih rendah. Dari Gedhong Carik, berjalan 20 meter ke selatan, terdapat bekas Gedhong Garjitawati yang telah runtuh dan dan hanya menyisakan fondasi. Di sekitar bangunan ini juga terdapat bangunan lain, seperti Pasiraman Garjitawati dan Nagaluntak yang sudah hilang. Kemudian, di sebelah timur Gedhong Garjitawati terdapat beberapa bangunan seperti Gedhong Blawong, Pasiraman Umbul Sari, dan Gerbang Umbul Sari, tetapi bangunan yang tersisa hanyalah Gerbang Umbulsari. Kemudian 10 meter di sebelah barat dari Umbul Sari terdapat Pasareyan Ledoksari. Tempat ini adalah kediaman pribadi Sultan ketika berkunjung ke Taman Sari. Denah bangunan ini berbentuk U, dengan tembok di sisi selatan sehingga kompleks ini berdenah persegi panjang. Bangunan Ledoksari dilengkapi dengan tempat tidur, toilet, dan kelir penangkal roh jahat.[34]

Bagian keempat

[sunting | sunting sumber]
Peta Keraton Yogyakarta pascainvasi Britania Raya ke Yogyakarta pada 1812. Huruf Q menunjukkan Pulo Gedhong.

Bagian keempat ini merupakan bagian yang hanya dapat ditemukan menurut rekonstruksi peta Keraton yang dibuat oleh beberapa orang Eropa saat mengunjungi Keraton Yogyakarta. Bagian yang dimaksud ini adalah Pulo Gedhong (ada juga yang menyebut Pulo Arga). Pada tahun 1791, Carl Friedrich Reimer sempat mendeskripsikan bagaimana wujud Pulo Gedhong sebagai berikut:[35]

...sebuah mata air di kaki menara Tionghoa yang tinggi, karena itu kita yakin bahwa Sultan saat ini pasti telah memilih tempat itu di atas segalanya untuk membangun istananya. Air sumur tersebut muncul dari bawah, yang berbatu di sana, meskipun demikian para tukang batu Jawa telah berhasil menampungnya di tangki atau baskom yang sangat sempit, dan mengalihkan air sesuai keinginan mereka ke mana-mana.

— H.D.H. Bosboom, TBG 45 (1902), hlm. 521

Menara itu terletak di sebelah tenggara Bangsal Magangan, dan berdiri di tengah-tengah danau buatan (Segaran). Segaran tersebut dihubungkan dengan Taman Sari di baratnya menggunakan kanal dan berpotongan dengan Keraton di dekat gerbang Kamandhungan. Dahulu terdapat jembatan angkat, agar sampan dapat bergerak dengan leluasa menuju Pulo Gedhong maupun sebaliknya.[36]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Brongtodiningrat 1978, hlm. 27.
  2. ^ Soekiman 1993, hlm. 5.
  3. ^ Soekiman 1993, hlm. 4.
  4. ^ Soekiman 1993, hlm. 19.
  5. ^ Suharmadji 2020, hlm. 51.
  6. ^ Soekiman 1993, hlm. 19-20.
  7. ^ Soekiman 1993, hlm. 20-21.
  8. ^ Azzah 2020, hlm. 5-6.
  9. ^ Hardie & Sumarno 2022, hlm. 6-7.
  10. ^ a b Hardie & Sumarno 2022, hlm. 8.
  11. ^ Hardie & Sumarno 2022, hlm. 7-8.
  12. ^ Hardie & Sumarno 2022, hlm. 8-9.
  13. ^ Kurniati 2016, hlm. 90-91.
  14. ^ Hardie & Sumarno 2022, hlm. 7.
  15. ^ Azzah 2020, hlm. 33.
  16. ^ Wardhana 2017, hlm. 63.
  17. ^ Kurniati 2016, hlm. 89.
  18. ^ Soekiman 1993, hlm. 15-16.
  19. ^ Soekiman 1993, hlm. 25.
  20. ^ Kurniati 2016, hlm. 87.
  21. ^ Soekiman 1993, hlm. 36.
  22. ^ Azzah 2020, hlm. 73.
  23. ^ Azzah 2020, hlm. 70.
  24. ^ Soekiman 1993, hlm. 64.
  25. ^ Savitri, Purbadi & Sumardiyanto 2020, hlm. 77-80.
  26. ^ Azzah 2020, hlm. 35-36.
  27. ^ Azzah 2020, hlm. 38-40.
  28. ^ Soekiman 1993, hlm. 30.
  29. ^ Azzah 2020, hlm. 50.
  30. ^ a b Hardie & Sumarno 2022, hlm. 6.
  31. ^ Azzah 2020, hlm. 40-41.
  32. ^ Azzah 2020, hlm. 43.
  33. ^ Soekiman 1993, hlm. 27.
  34. ^ Soekiman 1993, hlm. 30-33.
  35. ^ Robson 2003, hlm. 16.
  36. ^ Robson 2003, hlm. 17.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Azzah, Zaimul (2020). Monografi Pesanggrahan-Pesanggrahan Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Brongtodiningrat (1978). Arti Kraton Yogyakarta (dalam bahasa Indonesian). Diterjemahkan oleh Hadiatmaja, Murdani. Yogyakarta: Museum Kraton Yogyakarta. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Hardie, Cinantya Galuh Paramita; Sumarno (2022). "Perkembangan alih fungsi bangunan kompleks Taman Sari Keraton Yogyakarta tahun 1972–2000". Avatara. 12 (4).
  • Kurniati, R. (2016). "Konservasi Tamansari Yogyakarta Pasca Gempa". Ruang. 2 (2): 79–95. doi:10.14710/ruang.2.2.581-590.
  • Robson, Stuart O. (2003). The Kraton: Selected Essays on Javanese Courts. Brill Book Archive Part 1, ISBN: 9789004472495. Leiden Boston: BRILL. ISBN 978-90-04-48793-2.
  • Savitri, P.L.; Purbadi, Y.D.; Sumardiyanto, B. (2020). "ARCHITECTURAL ACCULTURATION: ISLAMIC AND JAVANESE SPIRITUAL ELEMENTS IN SUMUR GUMULING DESIGN AT TAMANSARI, YOGYAKARTA". Jurnal Arsitektur Komposisi. 13 (2): 73–85. doi:10.24002/jars.v13i2.3399.
  • Soekiman, Djoko (1993). Tamansari (PDF). Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Suharmadji, L. (2020). Geger Sepoy: sejarah kelam perseteruan Inggris dengan Keraton Yogyakarta, 1812-1815. Yogyakarta: Araska. ISBN 9786237537588. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Wardhana, Y.A.W. (2017). "Urban morphology of Tamansari Yogyakarta". Dalam Gaol, Ford Lumban; Hutagalung, Fonny; Peng, Chew Fong; Isa, Zulkifli; Rushdan, A.R. (ed.). Trends and Issues in Interdisciplinary Behavior and Social Science. London: Taylor & Francis. hlm. 61-67. ISBN 9781315269184.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]