Penurunan daya beli dan deflasi memiliki hubungan yang erat dan saling mempengaruhi dalam suatu proses sebab-akibat yang bisa terjadi secara berkelanjutan. Berikut adalah penjelasan mengenai bagaimana penurunan daya beli dan deflasi saling terkait, serta proses awal terbentuknya hubungan tersebut:
1. Penurunan Daya Beli Masyarakat Kelas Menengah
Daya beli adalah kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa. Ketika daya beli menurun, artinya orang-orang memiliki lebih sedikit uang atau lebih memilih untuk tidak membelanjakan uang mereka. Penurunan daya beli bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti:
- Pendapatan berkurang: Masyarakat mengalami pengurangan gaji, kehilangan pekerjaan, atau menghadapi kondisi ekonomi yang tidak stabil.
- Ketidakpastian ekonomi: Orang-orang menunda pembelian karena khawatir akan masa depan, sehingga mereka lebih memilih untuk menabung atau melunasi utang.
- Utang yang tinggi: Banyak orang yang terjebak dalam utang, misalnya melalui pinjaman online atau kredit, sehingga mereka tidak punya cukup uang untuk konsumsi.
Ketika orang-orang tidak membelanjakan uangnya, permintaan terhadap barang dan jasa turun.
2. Penurunan Permintaan Barang dan Jasa
Ketika daya beli turun, masyarakat mengurangi pembelian mereka. Hal ini menyebabkan penurunan permintaan untuk barang dan jasa. Misalnya, jika orang-orang menunda membeli barang elektronik atau pakaian karena ingin menunggu harga lebih murah, produsen akan kesulitan menjual produk mereka.
- Penurunan permintaan ini memengaruhi sektor bisnis, terutama pada barang-barang yang bukan kebutuhan pokok (seperti barang mewah atau kebutuhan sekunder).
3. Penurunan Harga (Deflasi)
Ketika permintaan terhadap barang dan jasa menurun, produsen dan pedagang sering kali menurunkan harga untuk menarik pembeli. Mereka berpikir, dengan menurunkan harga, orang-orang akan lebih tertarik untuk membeli produk. Namun, jika penurunan harga terjadi secara meluas dan terus-menerus di berbagai sektor, kita masuk ke kondisi deflasi.
4. Efek Lingkaran Setan Deflasi
Proses di atas bisa memicu lingkaran setan deflasi. Penurunan harga sebenarnya justru bisa menyebabkan orang semakin menunda pembelian, berharap harga akan turun lebih jauh di masa depan. Karena itu:
- Masyarakat menunda pembelian lebih lama, yang pada gilirannya semakin menurunkan permintaan.
- Produsen semakin menurunkan harga karena mereka tidak dapat menjual produknya, dan bisnis pun mengalami penurunan pendapatan.
Semakin sedikit orang yang membeli, semakin banyak perusahaan yang kehilangan pendapatan. Ini bisa menyebabkan pengurangan tenaga kerja, pemotongan gaji, atau bahkan kebangkrutan, yang akhirnya semakin menurunkan daya beli masyarakat.
5. Dampak Terhadap Ekonomi Secara Keseluruhan
Jika deflasi terus berlangsung, ekonomi secara keseluruhan mengalami perlambatan. Orang-orang kehilangan pekerjaan, perusahaan gulung tikar, dan pemerintah kehilangan pendapatan dari pajak. Ini semakin memperparah penurunan daya beli, sehingga hubungan antara penurunan daya beli dan deflasi menjadi semakin kuat dan berbahaya bagi perekonomian.
Contoh Proses Awal Terbentuknya Hubungan Sebab Deflasi Akibat Daya Beli Turun
Misalkan ada sebuah negara yang mengalami peningkatan utang masyarakat akibat pinjaman online. Orang-orang mulai menabung untuk membayar utang mereka, dan mereka mengurangi pembelian barang seperti peralatan elektronik, pakaian, atau barang-barang mewah lainnya. Toko-toko dan pabrik yang memproduksi barang-barang ini mengalami penurunan penjualan, sehingga mereka menurunkan harga untuk menarik lebih banyak pembeli.
Namun, karena orang-orang masih memiliki utang tinggi dan memilih untuk menunda pembelian, mereka tidak memanfaatkan penurunan harga. Produsen terus menurunkan harga, tetapi permintaan tetap rendah. Lama kelamaan, produsen terpaksa mengurangi jumlah produksi atau bahkan memecat pekerja karena tidak mampu membayar gaji. Para pekerja yang kehilangan pekerjaan atau mengalami pemotongan gaji memiliki daya beli yang lebih rendah, dan siklus ini terus berlanjut.
Apa Itu Deflasi dan Contohnya dalam Kehidupan Sehari-hari?
Deflasi adalah saat harga barang-barang di masyarakat turun secara terus-menerus, bukan hanya satu atau dua barang, tapi hampir semua barang dan jasa. Awalnya mungkin terdengar seperti hal yang baik karena harga-harga menjadi lebih murah, tapi sebenarnya ini bisa membuat masalah besar untuk perekonomian. Ketika harga turun terus, orang cenderung menunda pembelian barang karena berharap harganya akan turun lebih jauh. Hal ini bisa membuat bisnis kehilangan pendapatan dan ekonomi melambat.
Gejala Deflasi di Masyarakat Berdasarkan Kelas Sosial:
- Kelas Bawah: Harga kebutuhan pokok seperti beras atau sayuran mungkin tidak banyak turun, tapi barang-barang seperti pakaian atau alat rumah tangga menjadi lebih murah. Namun, karena orang cemas tentang masa depan, mereka memilih untuk menabung uang atau melunasi utang daripada membeli barang, yang membuat bisnis kecil semakin sulit bertahan.
- Kelas Menengah: Orang-orang dengan penghasilan menengah mungkin menunda pembelian besar seperti mobil baru atau perabotan rumah karena mereka berharap harganya akan turun lebih jauh. Mereka juga mengurangi pengeluaran untuk hiburan dan liburan.
- Kelas Atas: Orang-orang kaya biasanya tidak terlalu terpengaruh oleh harga kebutuhan sehari-hari, tetapi mereka bisa menunda investasi besar seperti membeli properti atau memulai bisnis baru, yang mengakibatkan penurunan aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Gejala Deflasi di Berbagai Profesi:
- Karyawan Swasta: Karyawan swasta mungkin melihat gaji tidak naik atau malah mengalami pemotongan gaji karena perusahaan tempat mereka bekerja kehilangan pendapatan. Perusahaan juga bisa memberhentikan karyawan karena tidak mampu membayar mereka.
- Pegawai Negeri: Pegawai negeri mungkin tidak merasakan dampak langsung, tapi mereka bisa melihat kurangnya peluang kenaikan pangkat atau kenaikan gaji karena pendapatan pemerintah dari pajak berkurang akibat penurunan aktivitas ekonomi.
- Pengusaha Jasa: Pengusaha jasa seperti pemilik salon, tukang servis, atau supir taksi mungkin mendapatkan lebih sedikit pelanggan karena orang-orang mengurangi pengeluaran untuk jasa yang dianggap tidak terlalu penting.
- Pengusaha Produksi: Pengusaha yang memproduksi barang-barang seperti pabrik sepatu atau pakaian mungkin akan menurunkan harga barang mereka untuk mencoba menjual lebih banyak. Namun, karena banyak orang menunda pembelian, mereka tetap kesulitan untuk menjual barang dan mungkin harus mengurangi produksi atau memberhentikan pekerja.
- Buruh: Buruh yang bekerja di pabrik bisa kehilangan pekerjaan karena perusahaan mengurangi produksi. Mereka juga mungkin mengalami pemotongan jam kerja atau gaji yang lebih rendah.
- Petani: Harga produk pertanian seperti sayuran atau beras bisa turun drastis karena permintaan menurun. Petani jadi kesulitan menjual hasil panennya dengan harga yang layak, sehingga mereka kehilangan pendapatan.
Penyebab Deflasi yang Bisa Terjadi:
- Banjir Barang Impor: Jika banyak barang kebutuhan sekunder (seperti elektronik, pakaian, atau barang rumah tangga) diimpor dari luar negeri dengan harga murah, barang-barang lokal jadi kalah bersaing dan permintaan menurun. Ini bisa menurunkan harga dan menyebabkan deflasi.
- Perjudian Online di Smartphone: Orang yang terjebak dalam perjudian online bisa menghabiskan uangnya untuk taruhan dan tidak lagi punya uang untuk membeli barang-barang lain. Akibatnya, permintaan barang di pasar menurun.
- Pinjaman Online: Banyak orang mengambil pinjaman online dan menggunakan uangnya untuk hal-hal yang tidak produktif. Mereka terjerat utang dan harus mengembalikan uang ke aplikasi pinjaman online. Akibatnya, mereka tidak punya cukup uang untuk belanja, yang menyebabkan permintaan turun.
- Impor Beras Nasional: Jika pemerintah mengimpor beras dalam jumlah besar, petani lokal bisa kesulitan menjual beras mereka. Harga beras jadi turun, dan petani kehilangan pendapatan.
- Impor Pakaian: Impor pakaian murah dari negara lain bisa membuat toko-toko lokal kehilangan pelanggan karena orang lebih memilih barang impor yang harganya lebih rendah. Ini membuat harga pakaian lokal turun drastis.
Cara Mengatasi Deflasi:
- Menurunkan Suku Bunga: Cara ini paling sering digunakan. Bank sentral menurunkan suku bunga agar pinjaman lebih murah dan orang serta bisnis lebih terdorong untuk meminjam uang untuk berbelanja atau berinvestasi. Ini meningkatkan permintaan barang dan jasa.
- Quantitative Easing (Pelonggaran Kuantitatif): Bank sentral membeli aset keuangan seperti obligasi untuk menambah uang di pasar. Ini membuat suku bunga jangka panjang turun dan mendorong bisnis serta konsumen untuk lebih banyak membelanjakan uang.
- Pengeluaran Pemerintah: Pemerintah bisa meningkatkan pengeluaran untuk proyek infrastruktur seperti membangun jalan, jembatan, atau sekolah baru. Ini menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga mereka bisa kembali berbelanja.
- Pengurangan Pajak: Pemerintah bisa mengurangi pajak agar orang-orang memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan. Pengurangan pajak perusahaan juga bisa membuat bisnis lebih mau untuk berinvestasi.
- Meningkatkan Upah: Menaikkan upah minimum atau memberi insentif kepada perusahaan untuk menaikkan gaji pekerja bisa membantu meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga mereka bisa lebih banyak berbelanja.
- Depresiasi Mata Uang: Melemahkan nilai tukar mata uang bisa membantu ekspor menjadi lebih murah di pasar internasional, yang meningkatkan permintaan untuk barang-barang yang diproduksi di dalam negeri.
- Bunga Deposito Negatif: Ini adalah cara yang jarang dipakai, tapi bank sentral bisa menetapkan bunga negatif untuk deposito. Artinya, bank yang menyimpan uang di bank sentral malah dikenakan biaya, sehingga mereka lebih terdorong untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat dan bisnis.
Itulah beberapa cara negara-negara mengatasi deflasi. Meskipun deflasi mungkin terdengar seperti hal yang baik karena harga turun, namun dampaknya bisa sangat berbahaya bagi perekonomian jika dibiarkan terlalu lama.
Sejarah Penerapan Suku Bunga Negatif di Berbagai Negara dan Dampaknya
Suku bunga negatif adalah kebijakan yang digunakan oleh bank sentral untuk mendorong pinjaman dan investasi dengan cara mengenakan biaya kepada bank yang menyimpan uang mereka di bank sentral. Alih-alih mendapatkan bunga dari simpanan mereka, bank justru dikenakan biaya untuk mendorong mereka mengeluarkan lebih banyak uang ke dalam perekonomian melalui pinjaman kepada masyarakat dan bisnis.
Berikut ini adalah sejarah penerapan suku bunga negatif di beberapa negara, serta dampak yang ditimbulkannya:
1. Swiss (2014)
Swiss adalah salah satu negara pertama yang menggunakan suku bunga negatif secara luas. Pada tahun 2014, Bank Nasional Swiss (SNB) menetapkan suku bunga negatif pada deposito untuk menekan nilai tukar franc Swiss yang terlalu kuat. Franc Swiss dianggap sebagai mata uang “safe haven,” sehingga banyak investor luar negeri mengalihkan uang mereka ke Swiss ketika ada ketidakpastian global. Hal ini menyebabkan mata uang Swiss terlalu kuat, yang merugikan eksportir di Swiss.
- Dampak: Suku bunga negatif berhasil menekan penguatan franc Swiss, meskipun tidak sepenuhnya mencegahnya. Namun, kebijakan ini memberikan tekanan pada sektor perbankan karena bank harus membayar biaya lebih untuk menyimpan uang di bank sentral, sehingga mereka cenderung meneruskan biaya ini kepada nasabah dalam bentuk biaya layanan atau suku bunga pinjaman yang rendah.
2. Jepang (2016)
Bank of Japan (BoJ) mulai menerapkan suku bunga negatif pada tahun 2016 sebagai bagian dari kebijakan moneternya untuk mengatasi deflasi yang sudah berlangsung lama. Jepang telah lama mengalami masalah pertumbuhan ekonomi yang lambat dan harga-harga yang stagnan atau turun. Dengan suku bunga negatif, BoJ berharap bisa mendorong lebih banyak konsumsi dan investasi, serta meningkatkan inflasi.
- Dampak: Suku bunga negatif di Jepang tidak sepenuhnya berhasil dalam meningkatkan inflasi hingga ke tingkat yang diinginkan. Sementara itu, masyarakat Jepang yang cenderung menabung lebih memilih menyimpan uang dalam bentuk tunai daripada di bank karena rendahnya keuntungan dari deposito. Dampak lain adalah bank-bank Jepang mengalami penurunan profitabilitas karena margin keuntungan mereka tertekan akibat kebijakan ini.
3. Zona Euro (2014)
Bank Sentral Eropa (ECB) memperkenalkan suku bunga negatif pada tahun 2014 untuk mendorong perekonomian yang stagnan di wilayah euro, serta untuk memerangi inflasi yang sangat rendah. Sejak krisis utang Eropa, banyak bank di zona euro cenderung menyimpan uang mereka di ECB daripada menyalurkannya dalam bentuk pinjaman kepada bisnis dan konsumen. Dengan suku bunga negatif, ECB mencoba mendorong bank untuk lebih banyak memberikan pinjaman.
- Dampak: Kebijakan ini membantu mendorong pertumbuhan ekonomi di beberapa negara zona euro, seperti Spanyol dan Jerman, karena pinjaman menjadi lebih murah dan lebih mudah diakses. Namun, suku bunga negatif juga membebani bank-bank komersial di zona euro, terutama di Jerman, yang dikenal dengan budaya menabung yang kuat. Bank-bank kecil dan menengah mengalami tekanan pada margin keuntungan mereka, sehingga mereka mencari cara lain untuk mengompensasi, seperti meningkatkan biaya layanan kepada pelanggan.
4. Denmark (2012)
Denmark adalah salah satu negara pertama di dunia yang menerapkan suku bunga negatif pada tahun 2012. Bank sentral Denmark melakukan ini untuk menjaga nilai tukar krona Denmark tetap stabil terhadap euro. Karena Denmark memiliki kebijakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar terhadap euro, saat arus modal masuk ke Denmark akibat krisis di Eropa, bank sentral harus mencegah krona menjadi terlalu kuat.
- Dampak: Suku bunga negatif di Denmark membantu menjaga stabilitas nilai tukar krona, tetapi juga menciptakan masalah bagi bank dan nasabah. Beberapa bank Denmark mulai mengenakan biaya pada deposito besar karena mereka tidak ingin menanggung biaya dari kebijakan suku bunga negatif. Bagi banyak nasabah, kebijakan ini terasa tidak adil, meskipun hanya nasabah besar yang terkena dampaknya.
5. Swedia (2015)
Riksbank, bank sentral Swedia, memperkenalkan suku bunga negatif pada tahun 2015 untuk memerangi deflasi dan mencapai target inflasi sebesar 2%. Ekonomi Swedia mengalami inflasi yang sangat rendah, dan Riksbank menggunakan suku bunga negatif untuk mendorong lebih banyak pinjaman dan konsumsi.
- Dampak: Kebijakan ini cukup efektif dalam meningkatkan inflasi di Swedia, meskipun tidak dengan cepat. Sama seperti di negara lain, kebijakan suku bunga negatif menekan keuntungan perbankan dan mendorong bank untuk mencari cara lain untuk mengkompensasi, seperti mengurangi suku bunga pinjaman hipotek yang sangat rendah.
Dampak Umum Suku Bunga Negatif
Suku bunga negatif adalah kebijakan yang kontroversial karena meskipun bisa mendorong konsumsi dan investasi, dampaknya juga bisa memicu masalah lain:
- Tekanan pada sektor perbankan: Bank-bank kesulitan untuk memperoleh keuntungan karena mereka harus membayar biaya untuk menyimpan uang di bank sentral, sehingga margin keuntungan mereka menipis. Ini bisa membuat bank menaikkan biaya layanan atau mengurangi keuntungan nasabah.
- Menurunkan keuntungan tabungan: Suku bunga negatif berarti bahwa nasabah bank mendapatkan keuntungan yang sangat kecil atau bahkan tidak ada dari menabung. Ini bisa mengurangi insentif untuk menabung, terutama bagi masyarakat yang cenderung lebih konservatif dalam hal keuangan.
- Risiko gelembung aset: Dengan pinjaman menjadi sangat murah, ada risiko bahwa suku bunga negatif bisa memicu gelembung di pasar properti atau saham, karena banyak orang dan investor menggunakan uang murah untuk berinvestasi dalam aset spekulatif.
Jika Indonesia menerapkan suku bunga negatif
Jika Indonesia menerapkan suku bunga negatif, kemungkinan besar para pemilik dana deposito di atas 1 miliar rupiah akan mencari cara untuk melindungi nilai uang mereka dan menghindari biaya yang dikenakan oleh bank. Beberapa reaksi atau tindakan yang mungkin dilakukan oleh para pemilik deposito besar adalah sebagai berikut:
1. Memindahkan Dana ke Instrumen Investasi Lain
Para pemilik deposito besar mungkin akan memindahkan dana mereka dari deposito ke instrumen investasi yang lebih menguntungkan, seperti:
- Saham: Dengan suku bunga negatif, pinjaman menjadi lebih murah, dan ini bisa mendorong kenaikan harga saham. Pemilik dana besar mungkin melihat pasar saham sebagai tempat yang lebih menguntungkan untuk menanamkan uang mereka.
- Obligasi atau surat utang: Pemilik dana mungkin memilih untuk berinvestasi dalam obligasi pemerintah atau korporasi yang memberikan tingkat pengembalian lebih baik daripada deposito. Meski suku bunga rendah, obligasi tetap menawarkan pendapatan tetap yang lebih stabil.
- Properti: Investasi di sektor properti seperti tanah atau perumahan bisa menjadi pilihan menarik karena harganya mungkin akan meningkat, terutama jika pinjaman hipotek menjadi lebih murah.
2. Menyimpan Uang dalam Bentuk Tunai
Sebagian pemilik dana besar mungkin akan mempertimbangkan menyimpan uang dalam bentuk tunai untuk menghindari biaya yang dikenakan oleh bank. Jika suku bunga negatif mengurangi keuntungan dari menyimpan uang di bank, mereka mungkin lebih memilih menyimpan uang di luar sistem perbankan, seperti:
- Brankas pribadi: Pemilik dana besar bisa menyimpan uang tunai di rumah atau di tempat yang aman untuk menghindari biaya suku bunga negatif.
- Layanan penyimpanan aman (safe deposit box): Beberapa mungkin menyimpan uang tunai atau emas di loker bank atau jasa penyimpanan aman lainnya.
Namun, penyimpanan tunai dalam jumlah besar memiliki risiko, seperti pencurian dan hilangnya nilai akibat inflasi.
3. Diversifikasi ke Aset Fisik
Pemilik dana mungkin akan melakukan diversifikasi ke dalam aset fisik lain, seperti:
- Emas: Emas sering dianggap sebagai penyimpan nilai yang aman ketika suku bunga rendah atau negatif. Dengan menyimpan kekayaan dalam bentuk emas, pemilik dana bisa melindungi nilai uang mereka dari penurunan keuntungan di perbankan.
- Barang mewah: Pemilik dana besar mungkin juga berinvestasi dalam barang-barang mewah seperti karya seni, perhiasan, atau mobil klasik yang nilainya cenderung stabil atau bahkan meningkat dari waktu ke waktu.
4. Investasi di Luar Negeri
Para pemilik dana besar mungkin akan mencari peluang investasi di luar negeri, terutama di negara-negara yang menawarkan suku bunga lebih tinggi atau lingkungan investasi yang lebih menguntungkan. Mereka bisa menempatkan uang mereka di:
- Bank internasional: Memindahkan dana ke bank di negara dengan suku bunga yang lebih menguntungkan.
- Investasi luar negeri: Membeli saham, obligasi, atau properti di luar negeri yang memberikan imbal hasil lebih tinggi daripada di dalam negeri.
5. Meningkatkan Investasi Bisnis
Pemilik dana besar mungkin akan mengalihkan dana ke sektor bisnis, seperti mendirikan usaha baru atau memperluas usaha yang sudah ada. Dengan suku bunga pinjaman yang rendah, mereka mungkin melihat ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan pinjaman murah dan mengembangkan bisnis mereka. Ini bisa meliputi:
- Investasi di sektor produksi atau jasa yang memberikan imbal hasil lebih tinggi daripada sekadar menyimpan uang di bank.
- Ekspansi usaha dengan memanfaatkan pinjaman murah untuk membeli peralatan baru, memperluas pabrik, atau membuka cabang baru.
6. Membayar Utang
Jika mereka memiliki utang, para pemilik dana mungkin akan memilih untuk melunasi utang mereka lebih cepat daripada menyimpan uang di deposito dengan suku bunga negatif. Dengan bunga pinjaman yang mungkin juga rendah, mereka bisa melunasi utang lebih cepat dan mengurangi beban bunga.
7. Mengubah Deposito ke Aset Likuid Lainnya
Sebagai alternatif, beberapa pemilik dana besar mungkin mengalihkan deposito mereka menjadi aset likuid lain, seperti reksadana pasar uang atau produk investasi jangka pendek lainnya yang menawarkan fleksibilitas dan potensi keuntungan yang lebih baik daripada menyimpan uang di deposito dengan suku bunga negatif.
Penerapan suku bunga negatif di Indonesia kemungkinan besar akan membuat para pemilik dana besar mencari cara untuk meminimalkan kerugian dari biaya yang dikenakan pada deposito mereka. Mereka mungkin akan beralih ke instrumen investasi yang lebih menguntungkan, menyimpan uang tunai, berinvestasi dalam aset fisik seperti emas atau properti, atau bahkan memindahkan dana ke luar negeri. Bagi banyak dari mereka, suku bunga negatif dapat menjadi insentif untuk berinvestasi lebih banyak di pasar saham, obligasi, atau bisnis, sehingga mendorong perekonomian, yang merupakan tujuan dari kebijakan suku bunga negatif itu sendiri.
Kegiatan usaha yang tidak menambah sumbangan langsung pada angka Produk Domestik Bruto (PDB)
Ada beberapa kegiatan usaha yang tidak menambah sumbangan langsung pada angka Produk Domestik Bruto (PDB), meskipun kegiatan tersebut mungkin melibatkan transaksi ekonomi. Selain itu, ada situasi di mana perdagangan dan jasa meningkat, tetapi PDB tetap rendah dan daya beli tetap rendah.
1. Kegiatan Usaha yang Tidak Menambahkan Sumbangan pada PDB
Ada beberapa jenis kegiatan ekonomi yang tidak secara langsung tercatat dalam PDB atau tidak memberikan kontribusi nyata pada angka PDB meskipun melibatkan aliran uang. Kegiatan tersebut termasuk:
- Ekonomi informal: Transaksi yang tidak tercatat secara resmi, seperti pedagang kaki lima, buruh harian, atau jasa informal, sering kali tidak dimasukkan dalam penghitungan PDB karena mereka tidak dikenakan pajak atau tidak dilaporkan. Meski kegiatan ini signifikan bagi ekonomi lokal, kontribusinya tidak terlihat di statistik resmi PDB.
- Kegiatan rumah tangga tanpa imbalan finansial: Misalnya, pekerjaan rumah tangga yang dilakukan tanpa upah, seperti merawat anak atau membersihkan rumah, tidak dimasukkan dalam PDB karena tidak ada pertukaran uang. Padahal, jika jasa ini dibayar, maka nilainya akan tercatat sebagai kontribusi ekonomi.
- Transaksi ilegal: Aktivitas ekonomi yang terjadi di sektor ilegal seperti perdagangan narkoba atau perjudian ilegal, meskipun melibatkan banyak uang, tidak tercatat dalam PDB. Di beberapa negara, pasar gelap memiliki dampak besar pada ekonomi, tetapi kontribusinya tidak resmi.
- Pengeluaran di luar negeri: Jika seorang warga negara atau perusahaan lokal membelanjakan uang di luar negeri, ini tidak akan tercatat dalam PDB domestik. Sebagai contoh, orang kaya yang lebih banyak membelanjakan uang di luar negeri untuk barang-barang mewah atau liburan, tidak akan meningkatkan PDB negara mereka sendiri.
2. Kasus di Mana Perdagangan dan Jasa Meningkat tetapi PDB Tetap Rendah dan Daya Beli Tetap Rendah
Ada beberapa situasi di mana perdagangan dan jasa mungkin meningkat, tetapi PDB tetap rendah, dan daya beli masyarakat juga tidak membaik atau bahkan menurun. Beberapa kasus tersebut meliputi:
a. Ketergantungan pada Impor
Jika peningkatan perdagangan terutama berasal dari peningkatan impor, misalnya barang konsumsi atau bahan baku dari luar negeri, hal ini bisa membuat sektor perdagangan tampak meningkat, tetapi kontribusinya pada PDB nasional tetap kecil. Ini terjadi karena impor justru mengurangi PDB (karena menghitung barang yang diproduksi di luar negeri) dan tidak meningkatkan produksi dalam negeri.
Contoh: Jika sebuah negara mengalami banjir barang impor seperti pakaian murah, alat elektronik, atau bahan makanan, maka perdagangan barang-barang ini bisa tinggi, tetapi tidak menambah banyak nilai bagi PDB domestik. Daya beli bisa tetap rendah karena penghasilan masyarakat tidak meningkat.
b. Pengaruh Ekonomi Digital dan Perdagangan Online
Jika pertumbuhan perdagangan terutama terjadi di sektor perdagangan online internasional, banyak keuntungan yang mungkin tidak masuk ke ekonomi lokal. Contoh ini dapat terjadi jika masyarakat lebih banyak membeli dari platform asing. Keuntungan dari transaksi ini mungkin keluar dari negara tersebut dan tidak tercatat dalam PDB secara signifikan, karena yang dihitung adalah nilai barang yang diimpor, bukan transaksi itu sendiri.
Contoh: Pembelian barang-barang dari platform e-commerce internasional seperti Amazon atau Alibaba. Meskipun ada peningkatan aktivitas perdagangan, uang yang keluar tidak meningkatkan produksi domestik dan lebih banyak dana yang mengalir ke luar negeri.
c. Perdagangan dan Jasa di Sektor Ekonomi Rendah Nilai Tambah
Jika perdagangan atau jasa meningkat di sektor-sektor dengan nilai tambah rendah (low value-added), kontribusi mereka terhadap PDB mungkin kecil. Sektor ini bisa melibatkan jasa-jasa sederhana seperti perbaikan kecil, perdagangan barang-barang murah, atau jasa transportasi yang hanya memberikan sedikit keuntungan ekonomi.
Contoh: Pedagang yang menjual barang murah buatan luar negeri mungkin memiliki omset besar, tetapi margin keuntungan sangat kecil dan sedikit nilai tambah yang dihasilkan di dalam negeri. Ini membuat kontribusinya pada PDB terbatas.
d. Krisis Keuangan dan Utang
Jika terjadi krisis keuangan atau peningkatan utang di kalangan masyarakat, orang-orang mungkin tetap melakukan transaksi, tetapi sebagian besar pengeluaran mereka digunakan untuk membayar utang alih-alih membeli barang dan jasa baru. Peningkatan kegiatan ekonomi dalam perdagangan atau jasa mungkin tidak menghasilkan dampak positif yang besar pada PDB, karena konsumsi terbatas akibat tekanan utang.
Contoh: Banyak masyarakat yang meminjam dari layanan pinjaman online mungkin menggunakan sebagian besar pendapatan mereka untuk membayar cicilan, sehingga mereka tidak dapat meningkatkan konsumsi mereka pada barang dan jasa yang baru.
e. Upah Stagnan
Jika perdagangan dan jasa meningkat tetapi upah tetap stagnan, terutama bagi buruh atau pekerja kelas bawah, daya beli masyarakat juga bisa tetap rendah. Meskipun aktivitas ekonomi terjadi, masyarakat tidak memiliki cukup pendapatan untuk membeli barang-barang yang lebih mahal, sehingga tidak ada dorongan signifikan pada PDB.
Contoh: Jika biaya hidup meningkat, tetapi gaji pekerja di sektor jasa seperti restoran atau ritel tetap rendah, mereka mungkin tetap bekerja, tetapi pengeluaran mereka hanya untuk kebutuhan dasar, bukan konsumsi tambahan yang dapat mendorong ekonomi.
Mengapa PDB Bisa Tetap Rendah meskipun Perdagangan Meningkat?
- Impor Lebih Besar dari Ekspor: Jika perdagangan lebih banyak melibatkan impor barang dari luar negeri dibandingkan produksi dan ekspor lokal, PDB bisa tetap rendah karena barang-barang yang diperdagangkan berasal dari luar negeri, bukan dari produksi domestik.
- Pertumbuhan di Sektor Non-produktif: Jika sektor perdagangan atau jasa yang tumbuh tidak menghasilkan barang baru atau inovasi yang memberikan nilai tambah yang tinggi bagi perekonomian, PDB mungkin tetap stagnan.
- Ketimpangan Ekonomi: Jika hanya segelintir pelaku ekonomi yang mendapatkan keuntungan dari peningkatan perdagangan atau jasa, sedangkan sebagian besar masyarakat mengalami stagnasi atau penurunan daya beli, maka PDB per kapita mungkin rendah, mencerminkan kesenjangan yang tinggi.
Jika daya beli kelas menengah turun selama 6 bulan berturut-turut, hal ini akan berdampak besar pada perekonomian, dan situasinya bisa berkaitan dengan deflasi, serta tingginya harga beras dan tingginya harga rokok di Indonesia.
Dampak Penurunan Daya Beli Kelas Menengah
Kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang biasanya memiliki peran signifikan dalam menggerakkan perekonomian melalui konsumsi barang dan jasa. Jika daya beli mereka turun selama 6 bulan berturut-turut, beberapa hal bisa terjadi:
- Penurunan Konsumsi Barang dan Jasa: Ketika daya beli turun, masyarakat kelas menengah akan membatasi pengeluaran mereka, terutama untuk barang-barang non-esensial atau sekunder, seperti hiburan, pakaian, elektronik, atau rekreasi. Ini akan menyebabkan penurunan permintaan di sektor-sektor tersebut, yang kemudian bisa berdampak pada produsen dan penyedia jasa.
- Peningkatan Pengangguran: Jika konsumsi turun secara signifikan, bisnis-bisnis yang bergantung pada permintaan dari kelas menengah mungkin mulai mengalami kerugian dan kemudian mengurangi produksi atau bahkan melakukan PHK karyawan. Ini akan memperburuk kondisi ekonomi, terutama di sektor-sektor seperti ritel, perhotelan, dan manufaktur.
- Penurunan Investasi: Ketika daya beli menurun dan konsumsi melambat, perusahaan juga cenderung menunda investasi atau ekspansi bisnis karena kurangnya permintaan. Ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
- Deflasi: Dalam situasi di mana daya beli kelas menengah turun, deflasi (penurunan harga barang dan jasa secara umum) bisa terjadi. Karena masyarakat menunda atau mengurangi konsumsi, produsen dan penjual akan mencoba menarik konsumen dengan menurunkan harga. Jika hal ini terus berlangsung, bisa terjadi lingkaran deflasi, di mana penurunan harga menyebabkan pengurangan pendapatan, yang kemudian memperburuk penurunan konsumsi.
Hubungan Penurunan Daya Beli dengan Deflasi
Penurunan daya beli kelas menengah dapat memperburuk deflasi, karena sektor yang biasanya menjadi andalan konsumsi, seperti properti, ritel, dan hiburan, mungkin melihat penurunan permintaan. Produsen yang mengalami kelebihan pasokan karena kurangnya pembelian mungkin akan menurunkan harga untuk mendorong penjualan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan deflasi.
Deflasi bisa berbahaya bagi perekonomian karena perusahaan akan mengurangi produksi, pengangguran meningkat, dan siklus konsumsi yang lebih rendah terus berlanjut. Ini menyebabkan ekonomi terjebak dalam stagnasi, dengan harga yang turun tetapi tetap tidak cukup untuk mendorong pembelian.
Hubungan dengan Tingginya Harga Beras
Meskipun secara umum deflasi berarti penurunan harga barang dan jasa, harga komoditas esensial seperti beras bisa tetap tinggi. Ini bisa terjadi karena faktor-faktor seperti:
- Ketergantungan pada impor: Jika Indonesia harus mengimpor beras karena produksi lokal tidak mencukupi, harga beras bisa tetap tinggi meskipun ada deflasi di sektor-sektor lain.
- Gangguan distribusi: Masalah logistik atau distribusi yang buruk dapat menyebabkan keterbatasan pasokan, yang membuat harga beras tetap tinggi.
- Cuaca buruk atau gagal panen: Faktor cuaca yang buruk atau bencana alam dapat mengganggu produksi beras lokal, sehingga pasokan berkurang dan harga naik.
Karena beras adalah barang kebutuhan pokok, meskipun harga naik, masyarakat tetap harus membelinya, sehingga daya beli yang terbatas akan mengurangi pengeluaran untuk barang lain.
Hubungan dengan Tingginya Harga Rokok
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan konsumsi rokok yang tinggi, terutama di kalangan masyarakat kelas menengah dan bawah. Harga rokok yang tinggi bisa terjadi karena beberapa faktor:
- Pajak cukai rokok yang tinggi, yang diberlakukan oleh pemerintah untuk mengurangi konsumsi dan meningkatkan pendapatan negara.
- Permintaan tetap tinggi: Meskipun harga rokok naik, konsumen, terutama perokok berat, cenderung tidak mengurangi konsumsi rokok secara signifikan. Ini menciptakan situasi di mana masyarakat kelas menengah mungkin harus mengorbankan pengeluaran lain untuk tetap membeli rokok.
Ketika harga beras dan rokok naik, dua barang ini dapat menghabiskan sebagian besar pengeluaran rumah tangga kelas menengah dan bawah, yang menyebabkan mereka semakin membatasi konsumsi barang-barang lain. Dengan demikian, daya beli menurun untuk barang dan jasa sekunder, dan kondisi ini dapat memperparah deflasi di sektor-sektor tersebut.
Pengaruh perjudian online lewat aplikasi smartphone terhadap jumlah uang beredar
Pengaruh ratusan triliun rupiah omset perjudian online lewat aplikasi smartphone terhadap jumlah uang beredar di masyarakat dapat memberikan beberapa dampak serius, terutama karena dana yang terkumpul dari perjudian tersebut sering kali disimpan di luar negeri oleh bandar judi atau pemilik server aplikasi judi online (judol). Berikut adalah beberapa pengaruhnya:
1. Pengurangan Jumlah Uang Beredar di Dalam Negeri
- Ketika masyarakat menggunakan uangnya untuk berjudi online, dana tersebut dialirkan ke server atau akun yang dimiliki oleh operator judi di luar negeri. Uang tersebut keluar dari sistem keuangan Indonesia dan tidak kembali ke perekonomian domestik.
- Karena uang yang dibelanjakan dalam perjudian tidak lagi berputar di dalam negeri, jumlah uang yang beredar di masyarakat akan berkurang, yang bisa menyebabkan penurunan konsumsi dan perlambatan ekonomi.
2. Dampak pada Likuiditas dan Sektor Riil
- Likuiditas (ketersediaan uang tunai) dalam sistem keuangan nasional akan menurun karena dana besar yang terkuras keluar negeri. Ini bisa mempengaruhi kemampuan bank dan lembaga keuangan untuk menyediakan pinjaman bagi bisnis atau individu.
- Dengan berkurangnya jumlah uang beredar, sektor riil seperti perdagangan, jasa, dan manufaktur juga akan terdampak. Masyarakat yang kehilangan uangnya melalui judi online akan mengurangi belanja di sektor-sektor ini, yang menyebabkan penurunan permintaan dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
3. Peningkatan Pengangguran dan Ketidakstabilan Ekonomi
- Perjudian online sering kali berdampak negatif pada kondisi finansial pribadi para pemainnya. Mereka yang kehilangan uang dalam jumlah besar mungkin mengalami kesulitan ekonomi yang membuat mereka mengurangi konsumsi barang dan jasa.
- Akibat dari penurunan konsumsi ini, bisnis-bisnis di dalam negeri (terutama di sektor ritel dan jasa) bisa terdampak, memicu penurunan omset dan berpotensi menyebabkan pengurangan tenaga kerja (PHK). Jika hal ini meluas, bisa terjadi peningkatan pengangguran.
4. Potensi Deflasi
- Ketika uang dalam jumlah besar keluar dari peredaran domestik karena perjudian online, daya beli masyarakat berkurang. Ini bisa menyebabkan penurunan permintaan barang dan jasa, sehingga perusahaan mungkin akan menurunkan harga untuk menarik pelanggan. Jika ini terus terjadi, bisa memicu deflasi (penurunan harga umum barang dan jasa).
- Deflasi sendiri berbahaya karena bisa menciptakan lingkaran ekonomi yang stagnan: harga turun, produsen mengurangi produksi, pendapatan menurun, dan konsumsi terus menurun.
5. Pengurangan Investasi Lokal
- Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk investasi dalam negeri oleh masyarakat, seperti membeli properti, membuka usaha, atau menanam modal di pasar modal, justru dialihkan ke perjudian online. Uang ini disedot keluar negeri, yang berarti lebih sedikit modal yang tersisa untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.
- Akibatnya, sektor investasi di dalam negeri bisa melambat, yang dapat memengaruhi pertumbuhan sektor produktif dan lapangan kerja.
6. Peningkatan Utang Konsumen
- Ketika masyarakat mulai kehilangan uang dalam jumlah besar melalui perjudian online, banyak yang mungkin mencoba menutupinya dengan mengambil pinjaman online atau utang pribadi. Ini dapat menciptakan krisis utang pribadi di mana banyak individu tidak mampu membayar kembali pinjaman mereka, memperburuk kondisi ekonomi pribadi mereka dan menciptakan tekanan lebih lanjut pada sistem keuangan.
Contoh Situasi di Masyarakat:
- Seorang pekerja kelas menengah mungkin menghabiskan sebagian besar gajinya di aplikasi perjudian online, dan jika terus kalah, ia tidak hanya kehilangan uang yang bisa digunakan untuk konsumsi sehari-hari (belanja, pendidikan, kesehatan), tapi juga mungkin berhutang untuk menutupi kerugian tersebut.
- Pengusaha kecil yang terlibat dalam perjudian online mungkin kehilangan modal yang seharusnya diinvestasikan dalam bisnis mereka, sehingga menurunkan produktivitas dan memperlambat ekspansi usaha.
Masuknya barang impor yang dijual langsung ke konsumen melalui aplikasi online
Masuknya barang impor yang dijual langsung ke konsumen melalui aplikasi online memiliki dampak signifikan terhadap perdagangan barang sejenis di pasar tradisional atau toko lokal. Berikut adalah beberapa dampaknya:
- Persaingan Harga:
- Barang impor yang dijual secara online sering kali memiliki harga yang lebih rendah karena biaya distribusi yang lebih murah atau karena produsen asing mampu memproduksi dengan biaya lebih rendah.
- Toko lokal dan pedagang pasar tradisional sulit bersaing karena mereka biasanya memiliki biaya operasional yang lebih tinggi, seperti sewa tempat, pajak lokal, dan gaji karyawan.
- Penurunan Penjualan di Pasar Tradisional:
- Konsumen yang tertarik dengan harga murah dan kemudahan berbelanja melalui aplikasi online akan mengurangi belanja di pasar tradisional atau toko lokal.
- Hal ini dapat menyebabkan penurunan omset bagi pedagang lokal yang menjual produk sejenis, sehingga mereka mungkin kesulitan mempertahankan bisnisnya.
- Penurunan Kepercayaan terhadap Produk Lokal:
- Konsumen yang lebih memilih barang impor bisa memengaruhi persepsi negatif terhadap produk lokal, seolah-olah produk impor dianggap memiliki kualitas yang lebih baik atau lebih modern.
- Pedagang lokal mungkin mengalami kesulitan dalam meyakinkan konsumen bahwa produk mereka memiliki kualitas yang sebanding atau bahkan lebih baik dari produk impor.
- Tekanan untuk Berinovasi:
- Masuknya barang impor melalui platform online juga menekan pedagang lokal untuk berinovasi dan meningkatkan daya saing. Mereka mungkin harus meningkatkan kualitas produk, memperbaiki layanan pelanggan, atau bahkan mulai memasarkan produk mereka secara online juga.
- Toko-toko lokal yang berhasil beradaptasi dan ikut serta dalam platform online mungkin dapat memperluas jangkauan pasar, tetapi yang tidak mampu mengikuti tren ini akan tertinggal.
- Kehilangan Pelanggan Loyal:
- Pedagang di pasar tradisional sering kali mengandalkan pelanggan loyal yang sudah terbiasa berbelanja di sana. Namun, dengan kemudahan akses ke aplikasi online, pelanggan ini dapat berpindah ke platform digital yang menawarkan harga dan pilihan lebih banyak.
- Ini bisa menyebabkan pasar tradisional kehilangan basis pelanggan utamanya.
- Perubahan Pola Konsumsi:
- Akses internet yang semakin luas dan kemudahan berbelanja dari rumah melalui aplikasi mengubah pola konsumsi masyarakat. Mereka kini lebih cenderung mencari produk melalui smartphone dibanding datang ke pasar.
- Akibatnya, semakin sedikit orang yang berkunjung ke pasar fisik, sehingga aktivitas perdagangan lokal bisa menurun.
- Penurunan Lapangan Kerja Lokal:
- Penurunan omset pedagang lokal dapat menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan yang bekerja di toko atau pasar tradisional.
- Sektor-sektor pendukung seperti logistik lokal atau pemasok bahan baku lokal juga bisa terdampak karena menurunnya permintaan dari toko-toko lokal.
Contoh nyata: Banyak platform e-commerce besar di Indonesia seperti Shopee, Lazada, atau Tokopedia memudahkan konsumen untuk membeli barang-barang dari luar negeri, khususnya dari China, dengan harga murah. Hal ini sangat memengaruhi pedagang-pedagang kecil di pasar tradisional yang menjual produk sejenis, seperti pakaian, elektronik, atau aksesoris. Konsumen lebih memilih membeli barang-barang impor yang murah secara online, sementara toko-toko lokal kesulitan bersaing baik dari segi harga maupun jangkauan pelanggan.