Galungan
Galungan هاري ݢالوڠن ᬕᬮᬸᬗᬦ᭄ | |
---|---|
Also called | Galungan |
Observed by | Hindu Bali |
Type | Hindu |
Observances | berdoa, ritual keagamaan |
Date | Hindu Balinese pawukon Budha Keliwon Dunggulan |
Related to | Pitri Paksha |
Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu Bali setiap 210 hari, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali iaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).
Hari raya Galungan juga dirayakan oleh masyarakat Tengger dengan makna dan cara yang berbeza dari masyarakat Bali, setidaknya hingga pengenalan agama Hindu Dharma ke kawasan Tengger sekitar tahun 1980an.[1] Masyarakat Tengger merayakan Galungan setiap 210 hari sekali di wuku galungan sebagai hari untuk memberkati desa, air, dan masyarakat. Tatacara perayaannya serupa dengan Barikan, sebuah upacara lain yang biasanya dilakukan setiap 35 hari sekali atau setelah bencana seperti gunung meletus, gempa, atau gerhana. Berbeza dengan Barikan, hari raya galungan Tengger sudah tidak dilaksanakan dengan cara Tengger namun telah disatukan dengan perayaan galungan sesuai tatacara Hindu Bali.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Mitologi
[sunting | sunting sumber]Dalam sebuah cerita mitologi Hindu Bali dikisahkan bahwa di Pulau Bali terdapat seseorang gergasi ("raksasa" - tidak dikelirukan dengan kefahaman "raksasa" dalam bahasa moden) bernama Mayadenawa yang sangat sakti dan ditakuti oleh semua masyarakat. Mayadenawa melarang masyarakat in melakukan persembahyangan ke pura untuk memuja para dewa, karena Mayadenawa ingin semua masyarakat menyembahnya. Mereka merasa sangat geram terhadap tingkah laku Mayadenawa tersebut, maka diutuslah Bhatara Indra untuk turun ke mercepade (Dunia) untuk menemui dan menghabisi raksasa Mayadenawa tersebut.
Diceritakan bahwa Ide Bhatara Indra sudah berada di sebuah tempat yang memiliki tingkat kemiringan yang cukup terjal, disanalah beliau berhasil menjumpai Mayadenawa. Ide Bhatara Indra mengatakan kepada Mayadenawa bahwa tindakannya salah dan tidak patut untuk dilakukan. Namun Mayadenawa sangat angkuh dan sombong, bahkan dia mulai melawan. Karena melawan maka Ide Bhatara Indra pun bergegas menyerang Mayadenawa, karena kehebatan dan kesaktian yang dimiliki oleh Ide Bhatara Indra maka Mayadenawa kewalaham dibuatnya. Lalu ia berlari berusaha menjauhi Ide Bhatara Indra.
Rangkaian Hari Raya Galungan
[sunting | sunting sumber]Tumpek Wariga ᬢᬸᬫ᭄ᬧᬾᬓ᭄ᬯᬭᬶᬕ
[sunting | sunting sumber]Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga, atau Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah jatuh 25 hari sebelum Galungan. Pada hari Tumpek Wariga yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam tugas beliau sebagai pencipta dan pelindung segala tumbuh-tumbuhan yang ada di dunia.[1] Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalah dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa bubur sumsum (bubuh) yang berwarna seperti:
- Bubuh putih untuk umbi-umbian
- Bubuh bang untuk padang-padangan
- Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif
- Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif
Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan akan disirati tirta wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten berupa bubur disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai, kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil berucap sendiri (bermonolog):
"ᬤᬤᭀᬂᬤᬤᭀᬂᬇᬧᬾᬓᬓ᭄ᬳᬦᬓ᭄ᬓᬶᬚ
“Dadong-Dadong I Pekak anak kija
ᬇᬧᬾᬓᬓ᭄ᬬᭂᬕᭂᬍᬫ᭄
I Pekak ye gelem
ᬇᬧᬾᬓᬓ᭄ᬕᭂᬍᬫ᭄ᬳᬧᬤᭀᬂ
I Pekak gelem apa dong?
ᬳᬶᬧᬾᬓᬓ᭄ᬕᭂᬍᬫ᭄ᬗᬾᬤ᭄
I Pekak gelem nged
ᬗᬾᬤ᭄, ᬗᬾᬤ᭄, ᬗᬾᬤ᭄."
Nged, nged, nged”
Dialog di atas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera berbuah/menghasilkan, sehingga dapat digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini merupakan wujud Cinta Kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.
Sugihan Jawa ᬲᬸᬕᬶᬳᬦ᭄ᬚᬯ ꦱꦸꦒꦶꦲꦤ꧀ꦗꦮ
[sunting | sunting sumber]Sugihan Jawa berasal dari 2 kata: Sugi dan Jawa. Sugi memiliki arti bersih, suci. Sedangkan Jawa berasal dari kata jaba yang artinya luar. Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung). Pada hari ini umat melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif yang berada pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah. Pada upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten semampunya. Biasanya untuk wilayah pura akan membuat Guling Babi untuk haturan yang nantinya setelah selesai upacara dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sugihan Jawa dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku Sungsang
Sugihan Bali ᬲᬸᬕᬶᬳᬦ᭄ᬩᬮᬶ
[sunting | sunting sumber]Sugihan Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembersihan diri sendiri/Bhuana Alit (kata Bali=Wali=dalam). Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang
Hari Penyekeban ᬭᬳᬶᬦᬧᭂᬜᭂᬓᭂᬩᬦ᭄
[sunting | sunting sumber]Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama.Hari Penyekeban ini dirayakan setiap Minggu Pahing wuku Dungulan.
Hari Penyajaan ᬭᬳᬶᬦᬧᭂᬜᬚᬵᬦ᭄
[sunting | sunting sumber]Penyajan berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius. Hari penyajan ini memiliki filosofis untuk memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju Galungan. Hari ini dirayakan setiap Senin Pon wuku Dungulan.
Hari Penampahan ᬧᭂᬦᬫ᭄ᬧᬳᬦ᭄
[sunting | sunting sumber]Hari Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Penampahan atau Penampan mempunyai arti Nampa yang berarti 'Menyambut'. Pada hari ini umat akan disibukkan dengan pembuatan [penjor] sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah yang diterima selama ini, penjor ini dibuat dari batang bambu melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa. Selain membuat penjor umat juga menyembelih babi yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap upacara, penyembelihan babi ini juga mengandung makna simbolis membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, pada hari Penampahan ini para leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat juga membuat suguhan khusus yang terdiri atas nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (daun sirih dan pinang) atau rokok yang ditujukkan kepada leluhur yang "menyinggahi" mereka di rumahnya masing-masing. jmpl|Punjung atau Suguhan untuk para Leluhur
Hari Raya Galungan ᬭᬳᬶᬦᬕᬮᬸᬗᬦ᭄
[sunting | sunting sumber]Pagi hari umat telah memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura sekitar lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada Galungan adalah Tradisi “Pulang Kampung”, umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang ke daerah kelahirannya masing-masing.
Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus [Makingsan di Pertiwi] (mapendem/dikubur), maka umat tersebut wajib untuk membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ka Setra
, banten tersebut terdiri atas punjung seperti telah disebutkan di atas, disertai tigasan/kain saperadeg (seadanya) dan air kumkuman (air bunga).
Hari Umanis Galungan ᬭᬳᬶᬦᬉᬫᬦᬶᬲ᭄ᬕᬮᬸᬗᬦ᭄
[sunting | sunting sumber]Pada umanis Galungan, umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi.
Anak-anak akan melakukan tradisi ngelawang pada hari ini. Ngelawang adalah sebuah tradisi di mana anak-anak akan menarikan barong disertai gambelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang lainnya (lawang ke lawang), penduduk yang mempunyai rumah tersebut kemudian akan keluar dari rumah sambil membawa canang dan sesari/wang, penduduk percaya bahawa dengan tarian barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan
Hari Pemaridan Guru ᬭᬳᬶᬦᬧᭂᬫᬭᬶᬤᬦ᭄ᬕᬸᬭᬸ
[sunting | sunting sumber]Kata Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru.Memarid sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon), dan Guru tiada lain adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dapat diartikan bahwa hari ini adalah hari untuk nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Dirayakan pada Sabtu Pon wuku Galungan.
Ulihan ᬭᬳᬶᬦᬉᬮᬶᬳᬦ᭄
[sunting | sunting sumber]Ulihan artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang umur. Dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan
Hari Pemacekan Agung ᬭᬳᬶᬦᬧᭂᬫᬘᭂᬓᬦ᭄ᬳᬕᬸᬂ
[sunting | sunting sumber]Kata pemacekan berasal dari kata pacek yang artinya tekek (Bhs Bali.) atau tegar. Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan. Dirayakan pada Senin Kliwon wuku Kuningan.
Hari Raya Kuningan ᬭᬳᬶᬦ ᬭᬬᬓᬸᬦᬶᬗᬦ᭄
[sunting | sunting sumber]Hari Raya Kuningan dirayakan umat hindu setiap 210 hari sekali dengan cara memasang tamiang,kolem, dan endong.Tamiang adalah simbol senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra, Kolem adalah simbol senjata Dewa Mahadewa, sedangkan Endong tersebut adalah simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh Para Dewata dan Leluhur kita saat berperang melawan adharma. Tamiang kolem dipasang pada semua palinggih, bale, dan pelangkiran, sedangkan endong dipasang hanya pada palinggih dan pelangkiran.
Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna putih diganti dengan tumpeng berwarna kuning yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan kunyit yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun pandan harum.
Keunikan hari raya Kuningan selain penggunaan warna kuning adalah iaitu persembahyangan harus sudah selesai sebelum jam 12 siang (tengai tepet), sebab persembahan dan persembahyangan setelah jam 12 tengah hari hanya akan diterima Bhuta dan Kala karena para Dewata semuanya telah kembali ke Kahyangan. Hal ini sebenarnya mengandung nilai disiplin waktu dan kemampuan untuk memanajemen waktu. Warna kuning yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna kebahagiaan,keberhasilan, dan kesejahtraan.
Hari Pegat Wakan ᬭᬳᬶᬦᬧᭂᬕᬢ᭄ᬯᬓᬦ᭄
[sunting | sunting sumber]Hari ini adalah runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan. Dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan, dan mencabut penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah galungan.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Tumpek Wariga : Sang Hyang Sangkara Sebagai Dewa Tumbuhan". InfoDewata (dalam bahasa Indonesia). 2018-11-29. Diarkibkan daripada yang asal pada 2018-12-18. Dicapai pada 2018-12-18.