Susukan Lebak, Cirebon
Susukan Lebak | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Barat | ||||
Kabupaten | Cirebon | ||||
Pemerintahan | |||||
• Camat | Ahmad Haerudin | ||||
Populasi | |||||
• Total | 11,115 jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 32.09.08 | ||||
Kode BPS | 3209061 | ||||
Luas | 2.788 Ha; | ||||
Kepadatan | - jiwa/km² | ||||
Desa/kelurahan | 13 | ||||
|
Susukan Lebak (Aksara Sunda: ᮞᮥᮞᮥᮊᮔᮣᮨᮘᮊ᮪ ) adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Kecamatan Susukan Lebak merupakan sebuah wilayah yang terletak di sebelah timur Kabupaten Cirebon. Sebelum adanya pemekaran kecamatan, Susukan Lebak termasuk sebagai salah satu kelurahan/desa yang berada di bawah Kecamatan Lemahabang. Namun, sejak terjadinya pemekaran sejumlah kecamatan di Kabupaten Cirebon, Susukan Lebak didapuk menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Cirebon yang melingkupi beberapa desa di bagian selatan Kecamatan Lemahabang dan sejumlah desa di bagian barat Kecamatan Karang Sembung.
Sejatinya, sejak dulu Desa Susukan Lebak sudah sangat dikenal masyarakat luar. Hal ini antara lain karena sejumlah prestasi yang ditorehkan Desa Susukan Lebak dan masyarakatnya. Beberapa prestasi tersebut antara lain keberhasilan Desa Susukan Lebak sebagai juara 1 lomba kebersihan desa se-Jawa Barat pada tahun 1964. Akibat prestasi tersebut, Desa Susukan Lebak sempat menjadi percontohan bagi desa-desa lainnya di seluruh Indonesia.
Susukan Lebak dikenal keindahannya karena memiliki desain interior yang rapih dan indah. Kerapihan dan keindahan terlihat di sepanjang jalan utama Desa Susukan Lebak yang memiliki pagar bercat putih. Keindahan lainnya adalah adanya air mancur di depan pendopo Balai Desa Susukan Lebak. Air mancur ini merupakan pelengkap hiasan taman di samping Tugu Apollo, Burung Garuda yang mencengkeram bola dunia, dan pohon beringin yang berdiri megah. Adapun pagar bercat putih sebagai simbol bersatunya visi masyarakat setempat untuk menjadikan Desa Susukan Lebak sebagai wilayah yang mencintai kebersihan, keindahan, dan kerapihan.
Nama Susukan Lebak sendiri tidak diketahui sejak kapan munculnya. Susukan Lebak berasal dari dua kata dalam bahasa Sunda, yakni susukan dan lebak. Dari sisi etimologi, Susukan Lebak bermakna sungai yang berada di dataran rendah. Makna ini akan sesuai jika disandingkan dengan nama sebuah desa di sebelahnya, Susukan Tonggoh yang kurang lebih bermakna sungai yang berada di dataran tinggi.
Adapun jejak peninggalan Mbah Nurul Kalam, selain masjid adalah makam yang terletak di Blok Pahing Desa Susukan Lebak. Hingga saat ini, makam tersebut terawat cukup baik dan kerap dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah. Di Kecamatan Susukan Lebak dibangun Tugu Appollo sebagai lambang bahwa masyarakat Susukan Lebak berpikiran luas, cinta iptek, dan visioner serta terdapat Tugu Garuda sebagai simbol nasionalisme.[1]
Topografis
[sunting | sunting sumber]Kecamatan Susukan Lebak terletak pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut.
Geografis
[sunting | sunting sumber]Sejak ditetapkan sebagai sebuah kecamatan, Desa Susukan Lebak memisahkan diri dari Kecamatan Lemahabang. Dengan status barunya tersebut, maka Kecamatan Susukan Lebak merupakan satu dari 40 kecamatan di Kabupaten Cirebon yang memiliki luas wilayah 2.788 Ha, terdiri dari tanah darat seluas 2.286 Ha dan tanah sawah seluas 502 Ha.
Wilayah Kecamatan Susukan Lebak secara geografis memiliki posisi strategis, yaitu terletak pada 108 08 38 108 24 02BT dan 7 10 7 26 32 LS di bagian utara wilayah Kabupaten Cirebon, dan merupakan pintu masuk dari arah Bandung-Jakarta.
Kedudukan dan jarak dari ibu kota Provinsi Jawa Barat(Bandung) adalah 105 km dan dari ibu kota negara(Jakarta) adalah 255 km melalui Tol Palimanan Kanci.[1]
Secara geografis, Kecamatan Susukan Lebak berbatasan:
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Karangsembung, Cirebon
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sedong, Cirebon
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Lemahabang, Cirebon
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Karangwareng, Cirebon
Kelurahan/Desa
[sunting | sunting sumber]- Ciawiasih
- Ciawijapura
- Curug
- Curug Wetan
- Kaligawe
- Kaligawe Wetan
- Karangmanggu
- Pasawahan
- Sampih
- Susukanagung
- Susukan Lebak
- Susukantonggoh
- Wilulang
Sosiologis
[sunting | sunting sumber]Jumlah Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di Kecamatan Susukan Lebak adalah 11.115 dengan 18.678 orang penduduk laki-laki dan 18.332 orang penduduk perempuan.[2]
Kehidupan sehari-hari penduduk Kecamatan Susukan Lebak tidak jauh berbeda dengan kecamatan lain yang berlatar belakang pedesaan. Aktivitas di bidang pertanian masih mendominasi sebagian besar penduduknya. Selain pertanian, di kecamatan ini juga terdapat industri pengerukan pasir seperti yang ada di Desa Kaligawe dan di Blok Dongkol Desa Asem yang berbatasan dengan Kecamatan Lemahabang. Pengguna hasil industri tersebut tersebar di wilayah Kabupaten Cirebon serta Kabupaten Kuningan. Selain itu terdapat pula pengrajin bata merah yang di antaranya terdapat di Desa Curug dan sebelah timur Desa Susukan Agung.
Dalam bidang seni dan budaya Kecamatan Susukan Lebak memiliki banyak kelompok-kelompok pagelaran seni seperti organ tunggal, kesenian buroq, shalawatan, Dog-dog, dan lain sebagainya. Tradisi keagamaan pun sangat terasa di wilayah ini. Puluhan pesantren salafiyah (tradisional) yang dihuni ribuan santri dari sejumlah daerah di Indonesia terdapat di beberapa desa, antara lain Pasawahan, Asem, dan Karangmangu.[1]
Antropologis
[sunting | sunting sumber]Kecamatan Susukan Lebak memiliki Tradisi Keagamaan yang Unik yaitu Ghiroh keagamaan yang melekat kuat di masyarakat semakin terasa saat adanya peringatan hari-hari besar Islam. Selain aktivitas Ramadan, Syawal, dan Rayagung (Idul Adha), sejumlah momen penting yang kerap diperingati adalah Maulid Nabi Muhammad Saw, di bulan Rabiul Awwal dan munculnya penganan cimplo di bulan Shafar.
Cimplo merupakan penganan khas nan unik yang terbuat dari tepung terigu dengan proses pembuatan layaknya serabi. Masyarakat di Kecamatan Susukan Lebak umumnya mencocol cimplo ke dalam kuah khas berasal dari gula aren dan parutan kelapa. Cimplo menjadi unik dan khas karena jenis kuliner ini hanya dapat ditemui setahun sekali di bulan Shafar. Cimplo digunakan sebagai simbol untuk membuang bala yang konon banyak diturunkan Tuhan pada bulan tersebut. Tradisi membuang bala ini mengalami puncaknya pada hari Rabu terakhir di Bulan Shafar, yang dikenal dengan istilah Rebo Wakasan.
Boleh jadi, tradisi Rebo Wakasan itu berdasarkan pemahaman para kyai terhadap Kitab Kanzun Najah was Suruur fil Adiyah allati Tasyrahush Shuduur karangan Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds yang katanya pernah mengajar di Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah. Konon, disebutkan dalam kitab itu bahwa pada hari itu (Rebo Wakasan) akan turun 320.000 bala, musibah, ataupun bencana. Sehingga dikatakan bahwa hari itu merupakan hari yang paling berat sepanjang tahun. Ketika Rebo Wakasan ini biasanya masyarakat membawa air dan berkumpul di tajug (mushalla) untuk membacakan doa-doa tertentu. Tradisi Rebo Wakasan biasa dilakukan antara Maghrib dan Isya. Adapun air yang telah dibacakan doa-doa dari jamaah yang hadir kemudian dibawa pulang untuk diminum masing-masing jamaah dan keluarganya.[1]
Catatan Kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-28. Diakses tanggal 2013-03-23.
- ^ [1][pranala nonaktif permanen]