Petrus Kafiar
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2020. |
Petrus Kafiar | |
---|---|
Informasi pribadi | |
Nama lahir | Noseni |
Lahir | 1864 atau 1873 Pulau Supiori, Nugini Belanda (sekarang Kabupaten Supiori, Indonesia) |
Meninggal | Nugini Belanda (sekarang Provinsi Papua Barat, Indonesia) | 2 Agustus 1926
Denominasi | Protestan |
Pasangan hidup | Ida Kafiar (menikah 1898) |
Anak | 2 putra & 4 putri |
Petrus Kafiar (nama lahir Noseni, sekitar 1864 atau 1873 – 2 Agustus 1926) merupakan guru penginjil beragama Kristen Protestan yang bekerja di daerah Teluk Cenderawasih, Papua pada pergantian abad ke-20. Mula-mulanya hidup dengan kepercayaan animisme, dia dibawa ke Pulau Mansinam (di Kabupaten Manokwari sekarang) untuk mengenyam pendidikan dalam sekolah Kristen dan dibaptis pada tahun 1887[1]. Setelah melanjutkan pendidikannya di Seminari Depok pada 1892–1896, dia kembali ke Pulau Mansinam untuk membantu pekabaran Injil dari Zending di Papua Belanda kepada Suku Arfak yang tinggal di pesisir utara Pulau Papua.
Dia dianggap sebagai orang asli Papua pertama yang mendapatkan gelar sarjana sekaligus menjadi guru pertama.
Masa kecil
[sunting | sunting sumber]Tidak diketahui secara pasti kapan Petrus Kafiar lahir, namun diperkirakan dia lahir sekitar tahun 1864[2] hingga 1873[1] dengan nama kecil Noseni. Dia merupakan anak ketiga dari seorang kepala suku (Bahasa Biak: mananwir) di Kampung Maudori, Pulau Supiori[1] yang bernama Sengaji. Dia merupakan anggota dari sub-suku Urmbor, salah satu sub-suku dalam Suku Biak.[3]
Selama hidup di Kampung Maudori, Noseni mengikuti kepercayaan animisme Suku Biak yang memercayai roh-roh para leluhur yang dapat berkomunikasi dengan yang masih hidup melalui sebuah patung mon atau melalui perantara orang hobatan (Bahasa Biak: snon bena mon, orang yang memiliki roh)[4]. Pada masa ini juga, masyarakat suku Biak masih terbiasa dengan perang antar suku atau antar kampung yang dilancarkan dengan pelayaran ke kampung tujuan, dan tidak jarang mereka menjarah harta serta orang untuk dijadikan budak atau dimakan (praktik kanibalisme)[5].
Kematian sang ayah
[sunting | sunting sumber]Pada saat Noseni masih kecil, Sengaji ayahnya menderita sakit keras. Sakit ini disebabkan kegundahan hati sang kepala suku setelah mendengar kabar bahwa tujuh kapal perang dari kampungnya yang berisikan pejuang atau mambri terbaik kampung diterpa badai dan tenggelam[4][5]. Ini menyebabkan tenaga pertahanan kampung yang berkurang drastis dan rawan diserang suku lain[5].
Para warga kampung bermusyawarah, dan terbukti bahwa sakit keras yang diderita Sengaji akan membawa kematiannya. Dilakukan segala cara untuk menyembuhkan Sengaji dan mengangkatnya dari ajal yang akan datang. Pengobatan ini tidak hanya menggunakan dedaunan dan akar tumbuhan, namun juga menggunakan pemanggilan roh menggunakan orang hobatan dan peletakan patung-patung mon yang sudah dimasuki roh. Namun, pengobatan tersebut tetap tidak berhasil dan akhirnya, ayah Noseni pun tetap meninggal.[4]
Upacara pemakaman untuk ayah Noseni pun dilangsungkan. Menurut FJS Rumainum, pemakaman seorang kepala suku dalam tradisi sub-suku Urmbor terdiri dari beberapa tahapan[3][4], seperti;
- Jenazah ayah Noseni diberikan beberapa perlakuan, yaitu ditekuk kedua lututnya dan ditutupnya kedua mata jenazah dengan pecahan piring (kedua hal tersebut ditujukan untuk menghindarkan orang yang hidup dari bahaya akan menyusul yang mati secara beriringan);
- Jenazah dibaringkan di rumah supaya orang yang ingin melayat dari jauh dapat melihat orang yang telah meninggal itu,
- Penguburan pertama jenazah sang kepala suku supaya jasadnya hancur hingga tersisa tulang belulang saja[3];
- Penghancuran segala barang dan properti kepemilikan sang kepala suku termasuk rumah, piring, dan kebun beserta seluruh tanamannya. Hal ini dilakukan karena masyarakat sub-suku Urmbor percaya bahwa semua barang kepemilikan itu sudah tidak berguna lagi karena yang memiliknya (sang kepala suku) tidak akan pernah lagi memakainya.
- Pesta perkabungan yang dilaksanakan selama berhari-hari. Dalam pesta perkabungan ini, para perempuan keluarga Sengaji akan dicukur rambutnya dan dipakaikan kain hitam dan putih milik sang kepala suku, dan akan dibakar juga setelah pesta selesai.
- Penguburan jenazah sang kepala suku secara final setelah jasadnya hancur dan tersisa tulang belulang saja.
Satu kisah yang disoroti oleh FJS Rumainum dalam Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil adalah bahwa pada saat persemayaman jenazah ayahnya, Noseni mengambil sebuah patung mon yang mengelilingi jenazah beliau dan merusaknya dengan parang. Dituliskan bahwa setelah dia merusak patung itu, Noseni berkata:
Aku sudah tidak lagi memercayaimu mulai sekarang, karena kau juga tidak dapat melepaskan ayahku dari bahaya maut/kematian![3][4]
Ditawan dan menjadi budak
[sunting | sunting sumber]Tahapan terakhir dalam pemakamannya adalah pengebumian secara final di Pulau Bepondi yang terletak beberapa kilometer ke utara. Saat pengebumian ini, banyak warga termasuk pria usia tempur ikut berlayar ke Pulau Bepondi dan tinggal di sana selama beberapa hari untuk mengadakan doa kepada sang kepala suku yang meninggal. Waktu ini menjadikan penjagaan Kampung Maudori minim, sehingga rawan terhadap penyerangan dari suku luar.
Kematian sang kepala suku itu juga terdengar orang-orang di luar Kampung Maudori; salah satunya adalah orang-orang dari Kampung Korido. Mengetahui orang-orang Maudori bertolak ke Pulau Bepondi, orang-orang Korido melihat waktu ini sebagai waktu yang tepat untuk menyerang Kampung Maudori.
Penyerbuan Kampung Maudori pun dilaksanakan. Albert Rumbekwan mencatat ada 12 pejuang atau mambri yang dikirim untuk menyerbu Kampung Maudori yang tidak dilindungi itu[5]. Tanpa perlawanan yang cukup, para warga Maudori dapat dikalahkan dan barang-barang di sana dijarah. Dalam penyerangan ini, Noseni yang ditinggal sendirian di kampung ditawan oleh para mambri dan dibawanya ke Korido[5]. Para penyerang dari Korido kaget ketika mengetahui anak yang mereka tawan ini adalah seorang anak kepala suku; mereka takut orang-orang Maudori akan membalas dendam atas penculikan ini.[4] Diceritakan dalam Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil bahwa terjadi perdebatan di antara orang-orang Korido untuk mengembalikan Noseni atau tetap membawanya, namun kematian seseorang di antara mereka yang ikut menyerang Kampung Maudori dianggap oleh orang-orang Korido sebagai penebusan atas Noseni yang mereka culik (nyawa dibayar dengan nyawa)[3], sehingga mereka berketetapan untuk membawa Noseni dan menjadikannya budak[4] kepada klan (Bahasa Biak: keret) Rumasep[5].
FJS Rumainum menuliskan fisik Noseni dalam usianya waktu itu menjadikannya budak yang handal, dan dia setia mengikuti para tuannya ke manapun mereka bekerja serta mematuhi segala perintah. Namun, kondisi perbudakan ini merupakan tahap kehidupan penuh penderitaan bagi Noseni.[4]
Dijual di Mansinam
[sunting | sunting sumber]Keluarga dari orang yang meninggal sebagai tebusan untuk Noseni tidak terima dengan kematian tersebut. Dimusyawarahkan di antara orang-orang Korido tentang hal ini, dan diputuskan bahwa Noseni harus dijual sebagai ganti tebusan. Dengan keputusan itu, dibawanyalah Noseni ke Teluk Doreh (sekarang Manokwari) untuk dijual dengan harga yang tinggi.
Setibanya di Manokwari, seorang tukang kayu dengan nama David Keizer asal Pulau Halmahera membeli Noseni dengan 50 keping logam[4] (sumber lain menyebutkan 50 keping perak[5]) Dengan transaksi itu, orang-orang Korido melepas Noseni ke tangan David Keizer.
David Keizer rupanya mengangkat Noseni sebagai anaknya[5]. Dia dan istrinya Lidia rupanya sangat mensyukuri kedatangan Noseni karena telah lama mereka menginginkan seorang anak lelaki. Di rumah keluarga Keizer, Noseni tinggal bersama David dan Lidia beserta seorang putri mereka yang bernama Margareta.
Mengenal Kristen
[sunting | sunting sumber]Dua pengalaman yang membuka matanya
[sunting | sunting sumber]FJS Rumainum menulis dalam buku Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil tentang dua pengalaman yang membuka mata hati Noseni terhadap iman Kristiani.
Pengalaman pertama terjadi saat pelayaran Noseni bersama orang-orang Korido mencari ikan. Dalam pelayaran tersebut, kapal orang-orang Korido diterjang badai yang luar biasa. Dalam kasus seperti ini, orang Biak di masa lampau memiliki kebiasaan untuk memanggil nama-nama leluhur mereka untuk pertolongan melewati badai ini. Tapi dalam momen diterjang badai itu, Noseni mendengar suara pemanggilan yang berbeda dari orang-orang Korido, yakni "Manseren Yesus e, wa betulung nu!", yang dalam Bahasa Biak berarti "Tuhan Yesus, (engkau) tolonglah kami!".[4]
Pengalaman kedua terjadi setelah Noseni tinggal bersama keluarga Keizer. Margareta, saudara angkatnya, meninggal setelah beberapa lama menderita penyakit kronis. Baik orang tua angkatnya maupun Noseni sendiri sangat berduka atas kepergian Margareta. Namun, Noseni menyadari bahwa segala barang yang dimiliki Margareta tidak dihancurkan dan jenazahnya dikuburkan tidak lama setelah kematian, seperti saat ayah kandungnya Sengaji sang kepala suku meninggal.
Di kemudian hari Noseni menyadari pelajaran dari pengalaman tersebut. Tidak seperti masyarakat Biak, masyarakat beragama Kristen mempercayai bahwa nyawa seorang manusia berada di tangan Tuhan, dan bukan karena pengaruh roh-roh jahat. Bila Tuhan berkehendak, Tuhan akan memanggil mereka kembali ke sisi-Nya dengan suka cita, sehingga tidak perlu juga ada pesta perkabungan yang berlarut-larut seperti yang dilaksanakan saat ayah kandungnya meninggal.
Dibaptis dan belajar di sekolah
[sunting | sunting sumber]Di bawah naungan kedua orang tua angkatnya itu Noseni kemudian dibaptis pada 28 Oktober 1887 dengan nama baptis Petrus.[4]
David Keizer menginginkan Noseni mengenyam pendidikan formal di sekolah Zending di Pulau Mansinam[4]. Beliau kemudian memperkenalkan Noseni kepada Pendeta J. L. van Hasselt (seorang pendeta Belanda yang dulu mengajak Keizer bekerja di Pulau Mansinam, biasa dipanggil van Hasselt Senior untuk membedakannya dengan anaknya yang juga menjadi pendeta[6]). FJS Rumainum menulis bahwa awalnya Noseni takut dengan sosok Pendeta van Hasselt yang berkulit putih dan asing itu hingga badannya bergemetar, namun Keizer dengan sabar menasihati Noseni bahwa Pendeta van Hasselt adalah orang baik, dan akhirnya Noseni mau bergabung untuk sekolah[4].
Di sekolah Zending di Pulau Mansinam, Petrus belajar membaca, menulis dan berhitung, dan mampu menguasai ketiga keahlian tersebut dengan sangat cepat. Para guru Zending menyadari hal ini, dan mereka akan meminta tolong kepada Petrus untuk membantu mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung kepada teman-temannya. Di luar sekolah pun Petrus dikatakan juga membantu mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung kepada orang dewasa yang membutuhkan. Hal ini dilakukan supaya Petrus dapat menanamkan budi pekerti dan kepemimpinan dalam dunia pendidikan. Melihat perkembangan yang pesat ini, kedua orang tua angkat Petrus, David dan Lidia Keiser sangat senang.[4]
David Keizer sebenarnya menginginkan Petrus untuk membantunya bekerja sebagai tukang kayu untuk Zending. Ketika Zending memerlukan pekerja untuk membangun perkampungan guru penginjil di Amberbaken (sekarang di Kabupaten Tambrauw), David menyuruh Petrus untuk mengambil pekerjaan itu. Namun di luar dugaan David, Petrus tidak setuju. Petrus menyebut bahwa dia masih ingin belajar, dan jika dia ikut bekerja sebagai tukang kayu, maka kesempatan belajarnya akan berakhir. David memahami keinginan anak angkatnya itu, dan dengan musyawarah bersama para pendeta, Petrus kemudian dikirim untuk bersekolah di sebuah Sekolah Gubernemen Kelas II berbahasa Melayu di Ternate selama satu tahun.[3][4]
Sepulangnya dari sekolah di Ternate, Petrus sudah fasih berbahasa Melayu dan telah belaja ilmu pengetahuan yang lebih banyak lagi. David Keizer masih menginginkan anak angkatnya itu bekerja sebagai tukang kayu di proyek kampung penginjil Amberbaken, yang pada saat itu masih berlangsung. Petrus sebenarnya menghormati keinginan ayah angkatnya, namun FJS Rumainum menuliskan bahwa Petrus berprinsip untuk tidak ingin mengambil pekerjaan yang ditentukan oleh orang tuanya[4] (menyiratkan bahwa dia ingin mengambil pekerjaan atas keputusannya sendiri). Satu sumber menyebutkan bahwa Petrus berkeinginan untuk melanjutkan belajar lagi, antara ke Sulawesi atau ke Jawa[3].
Perbedaan prinsip antara David dan Petrus menyebabkan perseteruan di dalam keluarga yang harus ditengahi oleh para pendeta Zending seperti Pendeta J. L. van Hasselt[3]. Diputuskan setelah bermusyawarah bahwa Petrus tetap harus mematuhi ayahnya untuk bekerja di Amberbaken sebagai tukang kayu yang bekerja sebagai tukang kayu pada hari-hari kerja, sekaligus melaksanakan penginjilan melalui kebaktian dengan para tukang kayu dan petani di sana[4]. Dengan keputusan itu, Petrus pun berangkat ke Amberbaken.
Keputusannya mengambil pendidikan tinggi Kristen
[sunting | sunting sumber]Saat Petrus bekerja sebagai tukang kayu di Amberbaken, sepucuk surat datang dari Pengurus Besar Utreche Zending Veereniging (UZV) dari Belanda kepada para pendeta Zending di Pulau Mansinam. Surat tersebut memuat informasi tentang penerimaan siswa di Seminari Depok untuk dipersiapkan menjadi guru penginjil[3][4] dan terbuka untuk etnis manapun[3].
Pendeta J. L. van Hasselt merasa ada sebuah kesempatan baru untuk mengirim orang-orang Timur untuk belajar dan membantu pekabaran Injil di Papua; dengan orang-orang asli Timur yang mengabarkan Injil, maka pekabaran akan lebih lancar karena ada orang asli yang mengabarkan kepada sesama orang asli. Pada pembukaan kesempatan belajar sebelumnya, beliau sudah mengajak beberapa jemaatnya seperti David Keizer untuk belajar di sana, namun para jemaat yang diajaknya tidak ingin, bukan karena mereka tidak sanggup, namun mereka takut bahwa begitu mereka kembali dan mulai mengabarkan Injil ke orang-orang asli Papua, mereka akan dihina dengan kata-kata yang dituliskan oleh FJS Rumainum[4];
Kamu kan sama-sama 'orang hitam'-nya dengan kami, mana mungkin kamu bisa mengajari kami?! Lebih baik, kamu tutup mulut saja![3][4]
Hal itu berakar dari anggapan di antara orang-orang pada waktu itu, bahwa orang 'kulit putih' alias orang Belanda telah menerima pendidikan yang lebih maju, sehingga orang-orang akan merasa 'lebih sah' belajar dari orang Belanda dibandingkan dari orang dari ras atau etnis yang sama. Selain itu, orang asli Timur (terutama orang asli Papua sendiri) menganggap para guru penginjil ini tidaklah lebih baik dari mereka yang diberikan pekabaran Injil karena mereka dipersepsikan belum pernah belajar ke luar Tanah Papua.[4]
Petrus dituliskan menyadari tentang kecaman tersebut[3][4], namun keinginannya untuk melanjutkan belajar tetap tinggi. Dengan bantuan keluarga Pendeta van Hasselt[4], dia dan seorang lainnya yang bernama Timotius Awendu dikirim di bawah naungan Zending di Pulau Mansinam untuk belajar Seminari Depok[7].
Belajar di Seminari Depok
[sunting | sunting sumber]Petrus belajar sebagai siswa di Seminari Depok selama empat tahun; dicatat oleh FJS Rumainum bahwa beliau bersama Timotius Awendu berangkat ke Depok pada 3 April 1892 dan kembali ke Pulau Mansinam dengan ijazah seminari pada 10 November 1896.[4]
Pengalaman belajar di Seminari Depok merupakan pengalaman yang tak dapat dilupakan Petrus[4]. Petrus mendapatkan teman-teman dari etnis dan ras lain, dan mendengar kisah mereka di kampung mereka menguatkan tekad Petrus untuk mengajar di kampungnya, Tanah Papua[3].
Namun, dicatat juga bahwa Petrus harus menghadapi beberapa kelakuan rasis selama pembelajaran di sana karena fisik yang berbeda (sebagai bagian dari rumpun Melanesia dengan kulit yang lebih gelap dan rambut keriting)[8]. Satu catatan menyebutkan bahwa hinaan yang mereka terima disebabkan persepsi rasis orang pada masa itu yang masih menganggap orang pribumi tidak bisa sejajar dengan orang kulit putih, sekalipun mereka berpakaian dan menerima pendidikan seperti orang kulit putih[3]. FJS Rumainum tidak menyebutkan pengalaman rasis tersebut dalam bukunya, namun beliau menulis bahwa dalam sebuah percakapan dengan Pendeta FJF van Hasselt (anak dari J. L. van Hasselt, dipanggil van Hasselt Junior), Petrus berkata; "tuan, jikalau saya mengingat akan pergaulan hidup dan masa kami di Seminari Depok, maka hati saya sedih dan air mata berlinang-linang."[4]
Misi Penginjilan di Papua
[sunting | sunting sumber]Pekabaran kepada Suku Arfak
[sunting | sunting sumber]Tahap pekabaran di Pantai Amban
[sunting | sunting sumber]Sekembalinya dari Depok, Zending di Pulau Mansinam memutuskan bahwa Petrus akan dirikim untuk mengabarkan Injil di Pegunungan Arfak. Rupanya, keputusan tersebut didengar oleh orang-orang Arfak yang bersahabat dengan Zending, dan mereka takut akan adanya pembunuhan dari musuh mereka "bila ada orang luar yang dikirim masuk ke Pegunungan Arfak." Orang-orang Arfak itu kemudian mengirimkan sebuah bambu sumpah kepada David Keizer ayah angkat Petrus yang berbunyi "bahwa dengan bambu ini sudah disumpah, sebaiknya jangan menempatkan Petrus di Arfak karena musuh di sini akan membunuhnya." David Keizer pun memberitahukan bambu sumpah itu ke Pendeta J. L. van Hasselt, dan berharap anak angkatnya dapat ditinjau kembali.
Setelah itu, diputuskan bahwa Petrus akan melaksanakan pekabaran di Pantai Amban (kira-kira satu jam perjalanan perahu dari pusat kota Pulau Mansinam, sekarang menjadi bagian Kabupaten Manokwari), tempat orang-orang Arfak biasa memancing ikan dan mengambil air laut. Orang-orang Zending kemudian bertemu dengan orang Arfak dan menginfomasikan perubahan rencana itu. Kedua belah pihak kemudian berunding. Dalam perundingan tersebut, diputuskan bahwa empat keluarga dari orang-orang Arfak[4] (ada juga yang menyebutkan empat kepala suku dari Arfak[9]) akan membangun rumah dan menetap di Pantai Amban bila seorang guru memang akan dikirim kepada mereka. FJS Rumainum menulis bahwa pihak Zending merasa pemindahan pemukiman tersebut tidak perlu, namun keputusan orang-orang Arfak sudah bulat dan kesepakatan tersebut harus dijalankan.[4] Sebuah catatan lain menyebutkan bahwa pemindahan pemukiman orang-orang Arfak tersebut dilakukan supaya mereka bisa menjamin keselamatan sang guru, sekaligus untuk mendapatkan kemudahan dalam berdagang, mendapatkan layanan kesehatan, serta menggunakan transportasi laut ke daerah seperti Ternate.[9]
Pada 11 Februari 1897, Petrus dan beberapa rombongan Zending dari Pulau Mansinam berlayar ke Pantai Amban untuk memulai pekabaran. Dicatat dalam Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil bahwa suatu malam di api unggun di tepi pantai bagaimana Petrus mulai bercerita kepada orang-orang Arfak;
Pendeta memulainya dengan menunjuk pada bulan purnama yang saat itu sedang naik serta bintang-bintang yang berserakan di langit; semua nya bersinar-sinar menurut aturannya seolah-olah tertata dengan baik. Pendeta berkata; "Siapakah yang menjadikan dan mengatur itu semuanya? Tidak lain daripada Tuhan Allah Yang Maha Kuasa yang menjadikan alam semesta!" Guru Petrus menambahkan bahwa ia datang ke Amban bukan untuk membeli burung cenderawasih, atau akan berdagang/jual beli, melainkan untuk memberitahukan kepada orang-orang Arfak siapakah Allah yang menjadikan bulan dan bintang di cakrawala itu. Allah yang menjadikan bulan bintang itu; menjadikan manusia dan mengasihi segala bangsa, dan juga orang Arfak pun.[4]
FJS Rumainum menuliskan bahwa orang-orang Arfak memiliki gaya hidup yang berpindah tempat. Perpindahan ini membuat orang Arfak memindahkan rumah mereka dari satu tempat ke tempat yang lain. Petrus yang mengabarkan Injil kepada orang Arfak tersebut harus mengikuti perpindahan mereka sebanyak dua kali. Meskipun demikian, tulis Rumainum; "...guru Petrus tidak bosan-bosannya untuk mengikuti keinginan mereka, karena dia tetap setia kepada panggilannya sebagai penginjil terhadap orang Arfak."[4]
Akhir sementara dari pekabaran kepada Suku Arfak
[sunting | sunting sumber]Sebuah wabah flu melanda Pantai Amban pada 1898. Flu tersebut sebenarnya mudah untuk dirawat, namun lokasi geografis Nugini Belanda yang jauh sekali dari pemukiman maju di Hindia Belanda pada saat itu seperti Ternate, Tidore, atau bahkan Jawa sekalipun mengakibatkan pasokan obat yang tidak memadai bagi masyarakat Papua.[9]
Guru Petrus tidak dapat merawat para jemaat Arfak di kampungnya itu; beliau tidak memiliki keahlian sebagai dokter, dan staf Zending yang membantunya sangatlah sedikit.[9] Banyak orang kemudian meninggal, dan orang-orang Arfak di Pantai Amban pun ketakutan, sehingga mereka kembali ke pegunungan, meninggalkan guru Petrus dan rombongan Zending.
Guru Petrus sebenarnya masih ingin pekabarannya kepada orang-orang Arfak dapat dilanjutkan dan berharap orang-orang Arfak akan kembali ke pesisir. Sesekali, akan ada sedikit orang Arfak yang kembali untuk mencari ikan. Guru Petrus kemudian sedikit-sedikit melanjutkan pekabarannya dengan orang-orang Arfak itu. Namun, mereka tidak mau menetap di Pantai Amban lagi karena menurut mereka, roh-roh alam yang mereka tinggalkan setelah masuk agama Kristen itu marah dan mengirimkan tulah.[9]
Tanpa adanya jemaat yang tetap, Guru Petrus pun kembali ke Pulau Mansinam untuk sementara waktu.[4][9]
Pulang kampung ke Maudori
[sunting | sunting sumber]Ia menjadi pionir karya misionaris di Biak.[1] Ia dapat bertutur dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang ia terapkan kepada orang-orang Biak,[10] yang dipandang sebagai kelompook Kristenisasi paling berhasil di bawah naungan Belanda.[11]
Kematian dan warisan
[sunting | sunting sumber]Petrus Kafiar menikah dengan seorang perempuan bernama Ida (yang telah lebih dahulu dibaptis pada 29 April 1884) pada 12 Agustus 1898. Keduanya dikaruniai dua putra dan empat putri, namun sayangnya kedua putra Petrus Kafiar meninggal lebih dulu. Dari para putrinya, dua di antaranya; Emilia Kafiar dan Elsa Kafiar mengikuti jejak ayahnya untuk bersekolah Kristen di Jawa, lalu bekerja sebagai juru rawat di sebuah rumah sakit di Manokwari, sedangkan putri ketiganya (namanya tidak disebutkan) menikah dengan seorang guru dan ikut bekerja dengannya di Sentani dan Pulau Numfor.[4]
Petrus Kafiar meninggal pada 2 Agustus 1926. Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil menyebut bahwa dia meninggal di usia kurang lebih 62 tahun. Dia dipercaya dimakamkan di Fanindi (sekarang di Distrik Manokwari Barat, Kabupaten Manokwari), namun lokasi tepat makamnya hingga saat ini masih belum diketahui.[4]
Penghargaan
[sunting | sunting sumber]Petrus Kafiar dikenal sebagai salah seorang asli Papua pertama yang mendapatkan pendidikan tinggi keguruan serta menerima gelar sarjana pertama[4]. Beliau juga dihormati sebagai guru pertama dari orang asli Papua yang berperan dalam memulai mengajarkan ilmu pengetahuan dan turut serta dalam membangun pusat keagamaan dan gereja di antara orang asli Papua[12].
Sebagai penghormatan atas jasanya, namanya diabadikan menjadi nama pantai di Amban, Manokwari Barat, salah satu daerah tempat ia pertama kali mengabdi sebagai penginjil.[13]
Petrus dikenang sebagai pelopor penginjilan asli Papua yang bukan hanya membawa agama, tetapi juga membangun peradaban dan memperkuat sumber daya manusia di tanah Papua. Perannya sebagai guru, penginjil, dan pemimpin spiritual menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya.
Sebagai tanda rasa hormat, nama beliau dijadikan nama di beberapa tempat, antara lain;
- Pantai Petrus Kafiar di Kabupaten Manokwari[12]
- SD YPK Petrus Kafiar di Kabupaten Manokwari[14][15]
- Akademi Pariwisata Petrus Kafiar di Kabupaten Biak Numfor[16]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d Gerald H. Anderson (1999). Biographical Dictionary of Christian Missions. Wm. B. Eerdmans Publishing. hlm. 349–350. ISBN 978-0-8028-4680-8.
- ^ "Kafiar, Petrus 1864-1926 [WorldCat Identities]". Diakses tanggal Oct 19, 2020.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n "Petrus Kafiar, Guru Pertama dari Papua (Part 1)". Deleigeven Historical. 20 Februari 2018. Diakses tanggal 24 Juli 2022.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah FJS Rumainum (2008). Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil. Panitia PI 100 Tahun Emas di Supiori Cabang Manokwari.
- ^ a b c d e f g h Rumbekwan, Albert (2019). "Peristiwa-Peristiwa Perang Suku/Tradisional di Pesisir Utara Papua". Prodising Seminar Hasil Penelitian Pengembangan IPTEKS dan Seni (5): 107–131.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Kamma, F. C. (1993). Ajaib di Mata Kita: Masalah Komunikasi Antara Timur dan Barat Dilihat Dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Penjabaran Injil di Irian Jaya. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
- ^ Jan Sihar Aritonang; Karel Adriaan Steenbrink (2008). A History of Christianity in Indonesia. BRILL. hlm. 352–. ISBN 90-04-17026-X.
- ^ Mampioper, Dominggus. Terrajana, Syam, ed. "Petrus Kafiar dan Timotius Awendu, anak Papua pertama belajar di Seminari Depok 1892". Jubi.co.id. Diakses tanggal 26 Juli 2022.
- ^ a b c d e f "Petrus Kafiar, Guru Pertama dari Papua (Bagian 2)". Deleigeven Historical. Diakses tanggal 26 Juli 2022.
- ^ Danilyn Rutherford (2003). Raiding the Land of the Foreigners. Princeton University Press. hlm. 30–. ISBN 0-691-09591-4.
- ^ C. L. M. Penders (31 July 2002). The West New Guinea Debacle: Dutch Decolonisation and Indonesia 1945-1962. University of Hawaii Press. hlm. 119–. ISBN 978-0-8248-2470-9.
- ^ a b Tapilatu, Maryrose (14 Juni 2021). Ndari, Annisa, ed. "Sejarah di Balik Pantai Petrus Kafiar, Manokwari". LautSehat.id. Diakses tanggal 24 Juli 2022.
- ^ "Petrus Kafiar, Penebar Kasih Di Papua". Validnews.id.
- ^ Tim Balleo News (4 Februari 2019). "Mengejar Masa Depan di SD YPK Petrus Kafiar Manokwari". Kumparan. Diakses tanggal 24 Juli 2022.
- ^ "SD YPK Petrus Kafiar". Data Pokok Pendidikan Dirjen PAUD Dikdasmen Kemdikbud RI. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Diakses tanggal 24 Juli 2022.
- ^ "Akademi Pariwisata Petrus Kafiar Biak". AyoKuliah. Diakses tanggal 24 Juli 2022.