Kertawarma
कृतवर्म | |
---|---|
![]() Kertawarma dalam versi pewayangan Jawa. | |
Tokoh Mahabharata | |
Nama | Kertawarma |
Ejaan Dewanagari | कृतवर्म |
Ejaan Jawa | ꦏꦂꦠꦩꦂꦩ |
Ejaan Bali | ᬓᬺᬢᬯᬃᬫ |
Ejaan IAST | Kṛtavarma |
Nama lain | Kartamarma |
Kitab referensi | Mahabharata, Bhagawatapurana, Hariwangsa |
Kediaman | Dwaraka |
Golongan | Yadawa |
Kasta | kesatria |
Klan | Wresni |
Ayah | Herdika |
Kertawarma (Dewanagari: कृतवर्म; IAST: Kṛtavarma ), adalah seorang kesatria kaum Yadawa dalam wiracarita Mahabharata. Kertawarma merupakan putra dari Herdika, kesatria klan Andaka, yang juga masih keturunan bangsa Yadawa, sama halnya dengan Kresna dan Satyaki.[1] Dalam perang Bharatayuddha di Kurukshetra, Kertawarma memihak Korawa, sedangkan Kresna dan Satyaki memihak Pandawa. Ia memimpin tentara gabungan beberapa klan Yadawa: Wresni, Andaka, Kukura, dan Boja.[1]
Dalam versi pewayangan Jawa, Kertawarma bukan hanya sekutu Korawa, melainkan anggota dari seratus Korawa yang memiliki hubungan darah dengan Duryodana.
Kasus Syamantaka
[sunting | sunting sumber]Menurut suatu kisah yang terkandung dalam kitab Bhagawatapurana, seorang bangsawan Yadawa bernama Satrajit memiliki permata yang disebut Syamantaka. Pesonanya membuat beberapa bangsawan berhasrat untuk memilikinya. Kertawarma berniat merebut permataka Syamantaka dari tangan Satrajit. Bersama dengan Akrura, ia menghasut Satadanwa untuk merebut permata tersebut. Satadanwa pun membunuh Satrajit, kemudian kabur setelah menitipkan permata Syamantaka di tangan Akrura. Kresna berhasil mengejar Satadanwa lalu membunuhnya, tetapi tidak menemukan permata Syamantaka pada jenazah Satadanwa. Sementara itu, permata Syamantaka yang disimpan secara aman oleh Akrura telah menyebabkannya dijauhi dari berbagai penyakit. Ia pun semakin mudah untuk mengadakan berbagai kurban suci (yadnya) dan dipandang sebagai orang mulia.[2]
Beberapa waktu kemudian, saat bencana terjadi di Dwaraka setelah Akrura pergi meninggalkan kota tersebut, ada spekulasi bahwa itu disebabkan karena kepergian orang mulia seperti Akrura. Menurut kitab Hariwangsa, Kresna sendiri berprasangka bahwa Akrura telah menyimpan permata tersebut sejak kematian Satrajit. Kemudian Akrura—demikian pula Kertawarma yang terlibat—dibawa ke hadapan sidang bangsa Yadawa, lalu diminta mengembalikan permata Syamantaka. Namun para pemuka Yadawa merasa tidak ada yang layak sebagai penjaga Syamantaka, selain Akrura sehingga mereka memutuskan agar permata tersebut tetap disimpan olehnya.[3]
Perang Kurukshetra
[sunting | sunting sumber]Dalam kitab Mahabharata, terutama bagian Udyogaparwa dikisahkan usaha Duryodana yang meminta bantuan kepada kaum Yadawa agar mendukungnya saat Perang Kurukshetra, pertempuran antara Korawa melawan Pandawa. Kertawarma bersedia membantunya dengan kekuatan satu aksohini.[4]
Pada hari pertama pertempuran, ia perang tanding dengan Satyaki, kesatria Yadawa yang memihak Pandawa. Sebagai seorang maharathi, ia ditempatkan pada bagian hulu di formasi bangau terbang yang disusun Bisma. Ia terlibat dalam sejumlah pertarungan selama perang berlangsung. Ia dikalahkan oleh Bima dalam satu pertarungan, dan berikutnya oleh Satyaki. Selain itu ia pernah terlibat perang tanding dengan Drestadyumna dan Arjuna. Ia berhasil melumpuhkan kuda kereta perang Abimanyu.
Setelah pertempuran berlangsung selama 18 hari, sekutu Korawa yang tersisa hanya tinggal Kertawarma, Krepa, dan Aswatama. Aswatama menemukan ide untuk membalas kekalahan Korawa, yaitu dengan cara menyerbu perkemahan Pandawa pada malam hari. Dalam serangan malam tersebut, Aswatama masuk ke dalam perkemahan, sedangkan Kertawarma dan Krepa menunggu di luar. Dalam serangan mendadak itu Aswatama berhasil membunuh Drestadyumna, Srikandi, Yudamanyu, Utamoja, dan kelima Pancakumara. Sementara itu, Krepa dan Kertawarma menebas orang-orang yang melarikan diri dari amukan Aswatama. Mereka juga membakar perkemahan saat pembantaian berlangsung.[5]
Setelah perang usai, Kertawarma menghadap Raja Dretarastra untuk mengabarkan kematian Duryodana, sang pangeran sekaligus pemimpin tertinggi pasukan Korawa. Kemudian ia kembali ke kampung halamannya. Setelah era damai dimulai, Kertawarma menghadiri upacara aswamedha yang diselenggarakan oleh Yudistira.[6]
Kematian
[sunting | sunting sumber]Dalam kitab Mosalaparwa diceritakan bahwa tiga puluh enam tahun setelah Perang Kurukshetra berakhir, Kertawarma ikut serta dalam ziarah kaum Yadawa ke suatu pantai suci yang disebut Prabhasatirtha. Sebelum berangkat, mereka sudah diimbau untuk tidak membawa minuman keras, tetapi masih ada yang melanggar. Setibanya di tempat yang dituju, mereka berpesta dengan minuman beralkohol. Dalam keadaan sama-sama mabuk, Kertawarma dan Satyaki saling mengejek. Satyaki mengejek Kertawarma sebagai pengecut karena pernah menyerang perkemahan Pandawa di malam hari. Sementara itu, Kertawarma mengejek Satyaki berbuat curang telah membunuh Burisrawa yang sedang dalam keadaan meditasi.
Satyaki juga mengungkit kembali masalah kematian Satrajit akibat perebutan permata Syamantaka, karena Kertawarma ikut terlibat di dalamnya. Hal itu memicu kesedihan putri Satrajit, Satyabama. Melihat Satyabama menangis, Satyaki pun menghunus pedangnya, memenggal Kertawarma dengan dalih membalaskan kematian Lima putra Pandawa, Drestadyumna, dan Srikandi.[7] Pembunuhan Kertawarma inilah yang menyebabkan pesta berubah menjadi perang saudara yang menewaskan hampir semua orang yang hadir di sana.[8]
Pewayangan Jawa
[sunting | sunting sumber]Dalam pewayangan Jawa, tokoh Kertawarma kadang dieja Kartawarma atau Kartamarma (aksara Jawa: ꦏꦂꦠꦩꦂꦩ). Menurut versi ini, Kartamarma adalah putra pasangan Dretarastra dan Gandari. Dengan kata lain, Kertawarma versi Jawa adalah salah satu di antara seratus orang Korawa. Dalam pemerintahan Duryudana, Kartamarma menjabat sebagai Juru Panitisastra, atau semacam juru tulis Kerajaan Hastina. Tempat tinggalnya bernama Kasatriyan Tirtatinalang.
Setelah perang Baratayuda berakhir, Kartamarma kembali ke Astina dalam lakon Aswatama Landhak, untuk mengambil kakak iparnya, yaitu istri Duryudana yang bernama Banowati. Di lain pihak, Aswatama juga datang untuk membunuh Banowati yang dianggapnya sebagai mata-mata para Pandawa. Maka terjadilah perkelahian di antara keduanya. Perkelahian antara Aswatama dan Kartamarma berhenti karena Banowati telah melarikan diri dan dijemput Arjuna. Mereka berdua pun kembali rukun dan bertemu Krepa yang mengabarkan bahwa Duryudana telah tewas.
Aswatama memutuskan untuk menyerang perkemahan Pandawa pada malam hari. Kartamarma mendukung hal itu, sedangkan Krepa terpaksa mengikuti karena diancam hendak dikeroyok oleh keduanya. Ketiganya kemudian menyusup ke dalam perkemahan Pandawa dan berhasil membunuh Srikandi, Drestadyumna, Pancawala, dan juga Banowati. Aswatama akhirnya tewas ketika hendak membunuh Parikesit, cucu Arjuna yang masih bayi. Krepa tertangkap sedangkan Kartamarma berusaha melarikan diri. Bimasena berhasil mengejar Kartamarma dan memukulnya dengan gada hingga sekarat. Kresna yang marah mengutuk Kartamarma akan terlahir kembali sebagai binatang hina. Kutukan Kresna pun menjadi kenyataan. Kartamarma meninggal karena luka yang ia derita dan kemudian terlahir kembali sebagai cacing tanah.
Silsilah
[sunting | sunting sumber]Silsilah keturunan Yadu (bangsa Yadawa) dalam Mahabharata dan Purana | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
|
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Pargiter, F.E. (1972). Ancient Indian Historical Tradition, Delhi: Motilal Banarsidass, p.105.
- ^ Coulter, Charles Russell; Turner, Patricia (2020-11-12). Encyclopedia of Ancient Deities (dalam bahasa Inggris). McFarland. hlm. 447. ISBN 978-1-4766-8556-4.
- ^ www.wisdomlib.org (2019-01-28). "Story of Kṛtavarmā". www.wisdomlib.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-12-01.
- ^ Uberoi, Meera (2005). The Mahabharata (dalam bahasa Inggris). Penguin Books India. hlm. 252. ISBN 978-0-14-303358-5.
- ^ Gandhi, Rajmohan (2000-10-14). Revenge and Reconciliation: Understanding South Asian History (dalam bahasa Inggris). Penguin UK. hlm. 25. ISBN 978-81-8475-318-9.
- ^ Mani, Vettam (2015-01-01). Puranic Encyclopedia: A Comprehensive Work with Special Reference to the Epic and Puranic Literature (dalam bahasa Inggris). Motilal Banarsidass. hlm. 431. ISBN 978-81-208-0597-2.
- ^ Kisari Mohan Ganguly (1883―1896), "Mausala Parva: 03", The Mahabharat by Krishna Dvaipayana Vyasa, SacredTexts
- ^ Valmiki; Vyasa (2018-05-19). Delphi Collected Sanskrit Epics (Illustrated) (dalam bahasa Inggris). Delphi Classics. hlm. 8826. ISBN 978-1-78656-128-2.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]