Candi, Candisari, Semarang
Candi | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Tengah | ||||
Kota | Semarang | ||||
Kecamatan | Candisari | ||||
Kodepos | 50257 | ||||
Kode Kemendagri | 33.74.08.1001 | ||||
Kode BPS | 3374060004 | ||||
Luas | 0,68 km² | ||||
|
Candi (bahasa Jawa: ꦕꦤ꧀ꦝꦶ, translit. Candhi) merupakan sebuah kelurahan yang termasuk dalam kecamatan Candisari, Semarang. Daerah Candi terbagi dua kawasan yaitu Candi Lama dan Candi Baru.
Candi Lama
[sunting | sunting sumber]Kawasan Candi Lama sejak sebelum zaman penjajahan Belanda memang sudah menjadi daerah pemukiman penduduk. Di kawasan ini pula masih banyak peninggalan bangunan rumah atau villa bergaya Eropa, baik yang terawat ataupun tidak. Dari kawasan ini dapat dilihat pemandangan kota Semarang dengan jelas. Kawasan ini akan dikembangkan dengan adanya rencana pendirian hotel dan perbaikan pidestrian .
Candi Baru
[sunting | sunting sumber]Candi Baru sejak zaman penjajahan memang direncanakan akan dibuat layaknya kawasan hunian mewah dengan taman tamannya yang hijau dan asri . Candi Baru, dengan jalan utamanya yaitu Jalan Sultan Agung terkenal dengan kawasan elite-nya kota Semarang . Banyak orang orang yang ingin membuktikan status ekonominya untuk membangun rumah di daerah ini. Kawasan ini masih terawat ke-asriannya.
Di kawasan ini juga terdapat fasilitas-fasilitas yang cukup memadai. Mulai dari restoran bergaya Eropa, Asia ataupun tradisional; fasilitas pendidikan dari SD-SMA yang bertaraf internasional; rumah sakit contohnya RS Elizabeth; dan hotel dari melati hingga bintang 5, seperti Grand Candi Hotel.
Sejarah Perkembangan
[sunting | sunting sumber]Pemerintah Kotapraja (Gemeente) Semarang yg resmi berdiri pada tahun 1906 menilai bahwa kota Semarang sudah mulai padat penduduknya dan kumuh sehingga diputuskan untuk membuka daerah pemukiman baru ke arah selatan. Sementara wilayah di selatan kota Semarang berkontur perbukitan yg cukup terjal. Untuk keperluan itu, maka pemerintah kota mengundang arsitek berkebangsaan Belanda Ir. Herman Thomas Karsten pada tahun 1916 untuk merancang sebuah kota baru yg tetap asri dan sejuk yg diperuntukkan untuk golongan masyarakat kelas menengah ke atas.
KONSEP HUNIAN "TROPISCHE STAAD"
[sunting | sunting sumber]Thomas Karsten tidak menerapkan konsep "garden city" secara murni, namun disesuaikan dengan keadaan Hindia Belanda pada saat itu yang disebut dengan konsep "tropische staad (tropical state)". Penerapan konsep ini terlihat pada peletakan rumah, taman, dan ruang terbuka yang mengikuti kondisi tanah. Perencanaan jalan mengikuti kontur mengingat berada di perbukitan. Dengan mengikuti bentuk kontur, maka jalan menjadi berkelok-kelok. Salah satu jalan berkelok di kawasan ini dikenal dengan jalan letter S (Jalan Rinjani). Bentuk jalan juga menyesuaikan orientasi arah hadap kapling. Pembagian tanah dan arah jalan hanya terdiri dari dua kategori, yaitu:
- Rute Mayor (jaringan jalan utama)
Yaitu jaringan jalan yang membelah di antara kawasan yang fungsinya merupakan rute pencapaian dari luar ke kawasan, yang termasuk di dalamnya yaitu jalur Jl. S. Parman, Jl. Sultan Agung dan Jl. Diponegoro. Lebar jalan ini ± 12m dengan trotoar di kiri dan kanan jalan dengan lebar ± 1.5m.
- Rute Minor (jaringan jalan pendukung)
Yaitu jaringan jalan yang menghubungkan antara rute mayor dengan bagian dalam jalan lingkungan kawasan dengan skala yang lebih kecil, yang termasuk dalam rute ini antara lain: Jl. Telomoyo, Jl. Kawi dan Jl. Argopuro. Lebar jalan ini sekitar 5-7m, dapat dilalui kendaraan roda empat dengan material jalan aspal dan perkerasan beton Kedua kategori jalan ini tetap mengikuti kontur sehingga dari rumah tinggal serta taman umum, para penghuni akan tetap dapat menikmati pemandangan indah ke laut.
Khusus untuk rumah, pembangunannya diawasi ketat melalui Peraturan Tata Bangunan Kota. Aparat birokrasi pemerintah, betul-betul menegakkan peraturan, tak mau kompromi dalam menindak pelanggaran dan tak bisa disuap. Oleh karena itu, berdirilah rumah-rumah yang bentuknya sangat khas dan unik seperti bergaya klasik, oud indische stijl, art deco, dan gaya villa Eropa di alam tropis.
Karsten juga merancang fasilitas penunjang pemukiman dengan:
- fasilitas kesehatan, yaitu Elizabeth Ziekenhuis (RS Elizabeth) dan Ooglijdershospital (RS Mata William Both),
- fasilitas pendidikan yaitu Van Deventer School dan Neutrale School Huevel,
- fasilitas olahraga berupa lapangan, tempat peribadatan yaitu gereja, taman yaitu Raadsplein (Taman Diponegoro)
- sarana dan prasarana penunjang seperti air, gas, kantor telepon, dan
- sarana transportasi publik untuk menghubungkan Candi Baru dengan Kota Semarang Lama.
Thomas Karsten sangat memperhatikan keberadaan ruang terbuka hijau berupa taman-taman, karena memang ingin mengedepankan fungsi kawasan ini sebagai “kota taman”. Beberapa taman skala lingkungan maupun skala kota dapat dijumpai di sekitar Jalan Merapi, Jalan Dieng, sekitar makam Belanda atau Ereveld Candi, Taman Diponegoro, dan taman lain dalam skala yang lebih kecil.
Berada pada perbatasan antara Semarang bawah dan Semarang atas menjadikan semua rumah di Candi Baru mempunyai panorama sangat indah: ke selatan menghadap ke Gunung Ungaran, ke utara menghadap birunya Laut Jawa. Konsep tersebut, menurut Andy Siswanto dari Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro, bertolak belakang dengan rencana induk kebanyakan perumahan modern, yang kawasan huniannya dibikin tak ubahnya seperti papan catur: tanah diratakan, dipetak-petak, berhadap-hadapan, serta tidak ada jarak antara bangunan satu dan lainnya. "Pada konsep perumahan modern, nuansa asri yang alami hilang sama sekali."
KONSEP PEMUKIMAN BERBASIS NON RAS
[sunting | sunting sumber]Menurut Andy, dalam membuat rencana induk kawasan hunian, aspek sosial juga menjadi pertimbangan utama Karsten. Dialah arsitek yang berhasil mengubah konsep hunian berdasarkan ras. Sebagaimana di kota-kota besar lainnya, di Semarang terdapat permukiman yang pengelompokannya berdasarkan ras, misalnya kawasan Pecinan yang dihuni etnis Cina, dan Pekojan tempat etnis Arab. Karsten melawan konsep rasisme tersebut dengan menciptakan kawasan hunian yang pengelompokannya berdasarkan kemampuan ekonomi. "Apa pun suku dan rasnya, siapa pun boleh tinggal di Candi Baru," tutur Andy.
Karsten, di samping itu, menciptakan gradasi jalan yang menghubungkan Candi Baru dengan perkampungan warga biasa. Jalan dari Candi Baru yang menuju Kampung Lasipin -perkampungan di sebelah selatan Candi Baru - dibuat perlahan-lahan menyempit. "Tujuannya, meski terpisah dengan Candi Baru, tetap saja ada komunikasi serta perbedaannya tidak kontras."
Candi Baru hanyalah satu di antara beberapa permukiman yang rencana induknya dirancang Karsten. Permukiman lainnya adalah Pekunden, Peterongan, Batan, dan Wonodri (1919), Sompok (1919), daerah Semarang Timur (1919), dan daerah Mlaten (1924). Semua kawasan itu pengelompokannya berdasarkan basis ekonomi, bukan ras, seraya memperhatikan keseimbangan alam seperti drainase dan taman kota yang juga berfungsi sebagai resapan air. Sayang, dari beberapa kawasan permukiman yang rencana induknya ditangani Karsten, hanya Candi Baru yang masih tersisa bagus.
Kondisi Saat Ini
[sunting | sunting sumber]Saat ini, jejak permukiman Candi Baru mulai berubah. Banyak di antara perumahan golongan masyarakat ekonomi atas dialihfungsikan untuk hotel, pompa bensin, rumah makan serta usaha lain, akibatnya halaman dan taman yang asri sebagai ruang terbuka menjadi lenyap. Candi Baru bukan hanya tak terkendali, tetapi kenyataannya berubah fungsi dari kawasan hunian menjadi kawasan campuran antara hunian, perkantoran dan kegiatan usaha hingga saat ini. Jalan-jalan pun lebih mirip sebagai tempat parkir liar. Jadi tidak usah heran jika di antara rumah-rumah mewah Candi Baru, kini menyelip juga perkantoran, rumah makan, bank, SPBU dan dealer kendaraan.
Candi Baru merupakan kekayaan warisan budaya arsitektur bangunan kolonial yang modern,dan tropis yang semestinya harus dilindungi. Berbagai tipe bangunan hunian dengan berbagai ukuran dan gaya berbeda melatarbelakangi sejarah panjang kota taman ini. Candi Baru tampaknya dibiarkan “berkembang”, dan dilibas oleh kaum pemodal yang mengubah kapling dan bangunan untuk dijadikan sarana berdagang. Perlahan kita telah “membunuh” benang merah jejak kekayaan sejarah permukiman zaman dahulu.