Lompat ke isi

Asam salisilat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Asam salisilat
Nama
Nama IUPAC
Asam 2-hidroksibenzoat
Penanda
Model 3D (JSmol)
3DMet {{{3DMet}}}
ChemSpider
Nomor EC
Nomor RTECS {{{value}}}
  • OC(=O)c1ccccc1O
Sifat
C7H6O3
Massa molar 138,12 g/mol
Densitas 1,44 g/cm3
Titik lebur 159 °C
Titik didih 211 °C (2666 Pa)
Kelarutan dalam kloroform, etanol, metanol kloroform 0,19 M; etanol 1,84 M; metanol 2,65 M[1]
Senyawa terkait
Kecuali dinyatakan lain, data di atas berlaku pada suhu dan tekanan standar (25 °C [77 °F], 100 kPa).
Referensi

Asam salisilat (asam ortohidroksibenzoat) memiliki struktur kimia C7H6O3, merupakan asam monohidroksibenzoat dengan gugus hidroksi pada posisi orto. [2] Bersifat iritan lokal yang dapat digunakan sebagai bahan terapi topikal yang memiliki fungsi keratolitik,kerotoplastik, anti inflamasi, analgetik, bakteriostatik, dan fungistatik. [3]

Terdapat berbagai turunan yang digunakan sebagai obat luar, yang terbagi atas 2 kelas, ester dari asam salisilat dan ester salisilat dari asam organik. Di samping itu digunakan pula garam salisilat. Turunannya yang paling dikenal asalah asam asetilsalisilat.

Asam salisilat mendapatkan namanya dari spesies dedalu (bahasa Latin: salix), yang memiliki kandungan asam tersebut secara alamiah, dan dari situlah manusia mengisolasinya. Penggunaan dedalu dalam pengobatan tradisional telah dilakukan oleh bangsa Sumeria, Asyur dan sejumlah suku Indian seperti Cherokee. Pada saat ini, asam salisilat banyak diaplikasikan dalam pembuatan obat aspirin.

Salisilat umumnya bekerja melalui kandungan asamnya. Hal tersebut dikembangkan secara menetap ke dalam salisilat baru. Selain sebagai obat, asam salisilat juga merupakan hormon tumbuhan.

Asam salisilat terdapat dalam sediaan krim, gel, maupun plester dengan konsentrasi yang bervariasi. Zat ini sukar larut dalam air, tetapi lebih mudah larut dalam lemak. Formulasi asam salisilat harus memperhatikan nilai pH yang optimal mendekati 2,97, agar efek asam salisilat bekerja secara efektif.[3]

Asam salisilat bisa didapatkan dari senyawa organik dan senyawa sintetis.

Senyawa organik

[sunting | sunting sumber]

Berasal dari asam beta hidroksi pada senyawa alami tumbuhan, seperti kulit pohon willow (willow bark), wintergreen, spearmint, dan sweet birch, Camellia sinensis.

Senyawa sintetis

[sunting | sunting sumber]

Diproduksi dengan proses pemanasan zat natrium fenol di bawah tekanan karbon dioksida, serta proses oksidasi zat naphthalene dengan menggunakan mikroba. Proses sintetis menghasilkan asam salisilat dengan sediaan kristal berwarna putih atau transparan.

Sebagai anti inflamasi

[sunting | sunting sumber]

Pada konsentrasi 0,5-5%, asam salisilat menghambat proses biosntetis prostaglandin.

Efek analgesik

[sunting | sunting sumber]

Digunakan pada pengobatan nyeri otot dan persendian.

Pengobatan penyakit kulit

[sunting | sunting sumber]

Pada penyakit kulit psoriasis dan dermatitits, asam salisilat dapat dikombinasikan dengan zat sulfur dan menghasilkan efek desmolitik yang meningkatkan kortikostreroid.

Photoaging

[sunting | sunting sumber]

Digunakan sebagai agen pengelupas kulit untuk mengatasi melasma, jerawat, hiperpegmentasi, serta kerusakan kult akibat sinar UV. Asam salisilat akan mengaktivasi sel basal epidermis danfibroblas dan menghasilkan efek regenerasi kulit.

Toksisitas

[sunting | sunting sumber]

Asam salisilat tidak boleh digunakan untuk anak di bawah usia 12 tahun, ibu hamil dan menyusui, penderita ulkus lambung, hemofilia, asma, dan sakit ginjal. Penggunaan asam salisilat dalam kadar ringan, masih berpotensi memunculkan efek samping seperti gangguan pencernaan, kerusakan sistem saraf pusat, gangguan pernafasan, maupun penyakit metabolik.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Solubility of salicylic acid in non-aqueous solvents
  2. ^ PubChem. "Salicylic Acid". pubchem.ncbi.nlm.nih.gov (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-03-22. 
  3. ^ a b Sulistyaningrum, dkk (Juli 2012). "Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi". Journal of the Indonesian Medical Association : Majalah Kedokteran Indonesia. Volume 6 (No. 7): 277–284.