Jeanne d'Arc

Pahlawan negara Perancis

Jeanne d'Arc[4] (6 Januari 1412 – 31 Mei 1431;[5] bahasa Prancis: Jeanne d'Arc, bahasa Inggris: Joan of Arc) adalah pahlawan negara Prancis dan santa dalam agama Katolik. Di Prancis ia dijuluki La Pucelle yang berarti "sang dara" atau "sang perawan". Ia mengaku mendapat suatu pencerahan, yang dipercayainya berasal dari Tuhan, dan menggunakannya untuk membangkitkan semangat pasukan Charles VII untuk merebut kembali bekas wilayah kekuasaan mereka yang dikuasai Inggris dan Burgundi pada masa Perang Seratus Tahun.


Jeanne d'Arc
Lukisan (c. 1485). Penafsiran dari seorang pelukis, karena satu-satunya potret dirinya tidak dapat diselamatkan. (Centre Historique des Archives Nationales, Paris, AE II 2490)
Santa
Lahir(1412-01-06)6 Januari 1412[1]
Domrémy, Kadipaten Bar, Prancis[2]
Meninggal31 Mei 1431(1431-05-31) (umur 19)
Rouen, Normandia
(kemudian di bawah kekuasaan Inggris)
Dihormati diGereja Katolik Roma
Komuni Anglikan[3]
Beatifikasi18 April 1909, Notre Dame de Paris oleh Paus Pius X
Kanonisasi16 May 1920, Basilika Santo Petrus, Roma oleh Paus Benediktus XV
Pesta30 Mei
PelindungPrancis, martir, sandera, personil militer, orang yang dicemooh karena kesalehannya, tahanan; tentara, wanita yang bertugas di WAVES (Women Accepted for Volunteer Emergency Service), dan Women's Army Corps

Kepahlawanan

sunting
 
Patung Jeanne d'Arc di dalam katedral Notre Dame de Paris di Paris

Jeanne ditugaskan untuk melakukan pengepungan terhadap Orléans oleh raja Charles VII sebagai upaya pembebasan kota tersebut. Ia menjadi terkenal karena berhasil mengakhiri pengepungan dalam tempo hanya sembilan hari. Kemenangan-kemenangan lain yang diperolehnya, akhirnya berhasil mengantar pemahkotaan Charles VII di Reims.

Setelah pemahkotaan tersebut, pasukannya mencoba operasi militer lanjutan, yang sayangnya kurang berhasil. Jeanne menolak untuk mundur bahkan ketika ia terluka sewaktu mencoba merebut Paris pada musim gugur tahun itu. Akibat intrik di istana, sejak saat itu ia hanya mendapatkan pasukan kecil, dan akhirnya ditangkap pada musim semi berikutnya pada pertempuran di Compiègne. Pengadilan berbau politis yang diadakan Inggris mendakwanya melakukan bidah (ajaran sesat). Penguasa setempat Inggris – John dari Bedford – memerintahkan untuk menghukum Jeanne dengan dibakar hidup-hidup di Rouen. Ia menjadi pahlawan bangsanya pada umur tujuh belas tahun, tetapi wafat pada umur sembilan belas tahun.

Dua puluh empat tahun kemudian, setelah Inggris berhasil diusir dari Prancis, ibunya – Isabelle – berhasil meyakinkan Inquisitor-General, dan Paus Kallixtus III untuk membuka kembali kasus Jeanne. Proses ini akhirnya berhasil menggugurkan dakwaan yang ditujukan kepadanya oleh Inggris.[6] Paus Benediktus XV melakukan kanonisasi terhadap Jeanne pada 16 Mei 1920.

Jeanne adalah tokoh penting dalam sejarah atau budaya barat. Sejak zaman Napoleon hingga kini, politisi Prancis dari berbagai partai telah membangkitkan kenangan terhadapnya. Banyak penulis dan komponis, termasuk Shakespeare, Voltaire, Schiller, Verdi, Tchaikovsky, Twain, Shaw, dan Brecht, telah menciptakan berbagai karya mengenai dirinya.

Latar belakang

sunting
 
Wilayah Prancis sebelum munculnya Jeanne d'Arc. Wilayah berwarna merah dikuasai Inggris dan Burgundi, termasuk Paris yang terletak di tengah. Reims terletak di bagian timur laut.

Periode sebelum datangnya Jeanne adalah salah satu titik terendah dalam sejarah Prancis. Perang yang berlarut-larut telah menyebabkan kesengsaraan masyarakat, terutama pada bagian utara yang dikuasai oleh Inggris. Ada kemungkinan besar bahwa Prancis akan bergabung dengan Inggris sebagai suatu "Monarki Kembar" ("Dual Monarchy") di bawah pemerintahan raja Inggris. Raja Prancis pada waktu lahirnya Jeanne, Charles VI menderita penyakit jiwa dan sering tidak mampu untuk memerintah kerajaannya. Dua saudara raja, adipati (duke) John the Fearless dari Burgundi and Louis dari Orléans, bersengketa atas hak perwalian. Perselisihan ini meruncing dengan timbulnya tuduhan perselingkuhan atas Ratu Isabeau dari Bavaria dan penculikan terhadap anak-anak bangsawan, dan mencapai klimaksnya sewaktu John the Fearless memerintahkan pembunuhan atas Louis pada tahun 1407. Pihak-pihak yang setia pada kedua orang ini dikenal sebagai Armagnac dan Burgundian.

Raja Inggris, Henry V, mengambil kesempatan dari kekacauan ini untuk menguasai Prancis. Secara dramatis ia memenangi pertempuran di Agincourt pada 1415, dan terus melanjutkan menguasai kota-kota di bagian utara Prancis.[7] Calon raja Prancis, Charles VII, mendapatkan gelar putra mahkota (bahasa Prancis: dauphin) pada umur empat belas tahun, setelah empat kakaknya meninggal.[8] Tindakan resmi penting pertama yang dilakukannya adalah mengusulkan perjanjian damai dengan John the Fearless pada tahun 1419. Proses ini berakhir dengan musibah sewaktu pendukung Armagnac membunuh Jean yang Tidak Mengenal Takut sewaktu berlangsungnya pertemuan yang dijamin oleh Charles. Adipati Burgundi yang baru, Philip the Good, menyalahkan Charles, dan bersekutu dengan Inggris. Sebagian besar wilayah Prancis pun jatuh ke tangan Inggris.[9]

Pada tahun 1420, Ratu Isabeau dari Bavaria mengadakan Perjanjian Troyes, yang menganugrahkan penerus tahta kepada Henry V dan keturunannya, dengan mengabaikan anaknya, Charles. Perjanjian ini menimbulkan isu bahwa sang dauphin adalah anak haram dan bukan anak sah dari raja.[10] Henry V dan Charles VI meninggal dengan selisih waktu hanya dua bulan satu sama lainnya pada tahun 1422, dan meninggalkan sang bayi, Henry VI dari Inggris, sebagai pewaris kedua kerajaan. Saudara laki-laki Henry V, John dari Lancaster, adipati Bedford, bertindak sebagai wali sementara.[11]

Pada tahun 1429, hampir semua bagian utara dan sebagian barat daya Prancis dikuasai oleh pihak asing. Inggris menguasai Paris sedangkan pihak Burgundi menguasai Reims. Reims adalah kota yang sangat penting, karena secara tradisi digunakan sebagai tempat penobatan (coronation) dan pentahbisan (consecration) raja, terutama karena belum ada satupun dari kedua pewaris tahta yang telah menerima mahkota. Inggris melakukan pengepungan terhadap Orléans, suatu kota yang terletak pada lokasi yang strategis di dekat sungai Loire, yang menjadikannya penghalang utama terakhir sebelum melakukan serangan untuk jantung Prancis lainnya. Menurut sejarawan modern, "Nasib Orléans menentukan nasib seluruh kerajaan."[12] Tak ada seorangpun yang optimis bahwa kota ini dapat bertahan lama mengatasi kepungan tersebut.[13]

Riwayat hidup

sunting

Masa kecil

sunting
 
Tempat kelahiran Jeanne d'Arc yang sekarang dijadikan museum. Bangunan di sebelah kanan, di belakang pepohonan adalah gereja desa.

Jeanne dilahirkan di Domrémy pada tahun 1412 dari Jacques d'Arc dan Isabelle Romée.[14] Orang tuanya adalah petani yang memiliki lahan sekitar 50 hektare. Ayahnya juga menduduki jabatan kecil di pemerintah daerah setempat dan bertugas mengumpulkan pajak serta mengepalai keamanan kota.[15] Keluarga mereka tinggal pada suatu daerah terisolasi di wilayah timur laut yang tetap setia pada Prancis walaupun dikelilingi oleh daerah kekuasaan Burgundi. Beberapa penyerangan terjadi pada masa kecil Jeanne, di mana pada salah satu serangan, desanya dibakar.

Jeanne mengaku bahwa ia mendapatkan pencerahan (vision) pertamanya sekitar 1424. Menurutnya, St. Michael, St. Catherine, dan St. Margaret menyuruhnya mengusir Inggris dan membawa sang dauphin ke Reims untuk diangkat menjadi raja.[16] Pada umur enam belas tahun (1428), ia meminta salah seorang keluarganya, Durand Lassois, untuk membawanya ke Vaucouleurs. Ia meminta komandan garnisun setempat, Count Robert de Baudricourt, untuk izin mengunjungi balairung agung Prancis di Chinon. Jawaban sarkastik Baudricourt tidak menciutkan niatnya.[17] Ia kembali lagi pada bulan Januari dan berhasil mendapat dukungan dua orang: Jean de Metz dan Bertrand de Poulegny.[18] Dengan dukungan mereka, ia berhasil memperoleh kesempatan kedua untuk bicara di mana ia berhasil membuat ramalan mengenai kekalahan di Pertempuran Herrings di dekat Orléans.[19]

Awal kejayaan

sunting
 
Jeanne d'Arc pada manuskrip tahun 1505. Dia memilih untuk membawa benderanya (standard) ke medan pertempuran.

Baudricourt mengabulkan permintaan Jeanne untuk menemaninya mengunjungi Chinon setelah mendapat kabar bahwa ramalan yang dibuat Jeanne terbukti tepat. Jeanne menggunakan pakaian laki-laki sewaktu melakukan perjalanan berbahaya melalui wilayah Burgundi. Setelah tiba di balairung agung, ia berhasil meyakinkan Charles VII setelah melalui pembicaraan pribadi. Charles lalu memerintahkan pemeriksaan latar belakang dan teologis terhadap Jeanne di Poitier untuk memverifikasi moralitasnya. Selama proses tersebut, ibu mertua Charles, Yolande dari Aragon, mendanai ekspedisi penyelamatan terhadap Orléans. Jeanne meminta izin untuk berangkat bersama tentara dan mengenakan peralatan seorang ksatria (knight). Karena ia tak memiliki dana, Jeanne tergantung pada donasi untuk pengadaan baju zirah, kuda, pedang, pataka (banner), dan pengiringnya. Sejarawan Stephen W. Richey menjelaskan bahwa dia adalah satu-satunya harapan bagi rezim yang hampir runtuh.

"Setelah bertahun-tahun memperoleh kekalahan demi kekalahan, pemimpin militer dan sipil Prancis mengalami demoralisasi dan dipermalukan. Sewaktu Charles mengabulkan permintaan mendesak Jeanne untuk melengkapi persenjataannya dan menjadikannya sebagai pemimpin pasukan, keputusannya pasti didasarkan terutama oleh kenyataan bahwa semua kemungkinan ortodoks dan rasional telah dicoba dan mengalami kegagalan. Hanya suatu rezim yang berada pada ambang keputusasaan-lah yang bersedia membiayai seorang gadis petani buta huruf yang mengaku mendengar suara Tuhan serta memerintahkannya untuk memegang kendali pasukan negaranya dan membawa kemenangan."[20]

Jeanne d'Arc tiba di lokasi pengepungan Orléans pada 29 April 1429. Jean d'Orléans (dikenal sebagai Dunois), kepala keluarga bangsawan Orléans, pada awalnya tidak melibatkan Jeanne dalam dewan perang dan tidak memberitahukannya jika pasukan menyerang musuh. Jeanne mengatasi hal ini dengan mengabaikan keputusan para komandan veteran dan turut serta dalam setiap penyerangan, dimana ia menempatkan dirinya pada garis depan dengan membawa patakanya. Pengaruh kepemimpinan militernya yang sebenarnya merupakan bahan perdebatan sejarah. Saksi mata melaporkan bahwa ia sering kali memberikan usulan yang cerdas dalam medan pertempuran, tetapi pasukan dan komandannya menghargainya terutama karena menganggap kemenangannya merupakan persembahan bagi Tuhan. Sejarawan tradisional, seperti Edouard Perroy, berpendapat bahwa Jeanne sebenarnya hanyalah pembawa bendera biasa yang pengaruh utamanya adalah sebagai pembangkit semangat. Analisis ini terutama bersumber pada pengakuan pengadilan, di mana Jeanne d'Arc menyatakan bahwa ia lebih memilih pataka dibandingkan pedangnya. Sejarawan modern, yang lebih terfokus pada pengadilan rehabilitasinya, lebih cenderung menyatakan bahwa para koleganya menghargainya sebagai perancang taktik dan stategi yang mahir. Stephen W. Richey menyatakan bahwa "Ia berhasil memimpin pasukan melalui rangkaian kemenangan yang luar biasa yang membalikkan keadaan peperangan."[20] Walaupun ada dua pendapat tersebut, sejarawan setuju bahwa pasukan Prancis berhasil mencapai kesuksesan di bawah kepemimpinannya.

Kepemimpinan

sunting
 
Jeanne d’Arc oleh pematung Victor Nicolas (model plester, 1947).
 
Katedral Reims, tempat tradisional penobatan raja Prancis.

Jeanne d'Arc tidak menuruti strategi hati-hati yang sebelumnya menjadi ciri khas kepemimpinan pasukan Prancis. Sebaliknya, ia menerapkan penyerangan frontal terhadap benteng pertahanan musuh. Setelah beberapa pos pertahanan tersebut jatuh, pihak Inggris memfokuskan sisa pasukan mereka pada benteng dari batu (stone fortress) yang menjaga jembatan les Tourelles. Pada 7 Mei 1429, Prancis menyerang jembatan ini. Sejarawan modern mengakui kepahlawanan Jeanne dalam pertempuran ini, di mana pada suatu saat ia harus menarik keluar anak panah yang menancap di bahunya, dan dengan lukanya tetap kembali untuk memimpin penyerangan terakhir.

Kemenangan di Orléans ini membawa banyak kemungkinan aksi penyerangan. Pihak Inggris menduga bahwa Prancis akan mencoba untuk merebut Paris atau menyerang Normandia; Dunois mengakui bahwa sebenarnya itulah rencana awal mereka, sampai Jeanne berhasil meyakinkan mereka untuk sebaliknya menuju Reims. Sebagai hasil dari kemenangan yang tak disangka tersebut, Jeanne mendesak Charles VII untuk memberikan kekuasaan sebagai komandan pasukan, bersama dengan Duke John II dari Alençon, serta mendapat izin untuk menjalankan rencananya merebut jembatan-jembatan sepanjan sungai Loire sebagai upaya pendahuluan menuju Reims dan penobatan (koronasi). Rencana ini merupakan suatu rencana yang berani, mengingat Reims dua kali lebih jauh dibandingkan Paris, dan berada jauh di dalam wilayah musuh.

Pasukan Prancis merebut Jargeau pada 12 Juni, Meung-sur-Loire pada 15 Juni, lalu Beaugency pada 17 Juni 1429. John II menyetujui semua keputusan Jeanne. Para komandan lain, termasuk Jean d'Orléans, telah terpesona pada kemampuan Jeanne di Orléans, dan menjadi pendukungnya. Alençon berhutang budi pada Jeanne karena menyelamatkan nyawanya di Jargeau, di mana Jeanne memperingatkannya akan bahaya serangan artileri. Pada pertempuran yang sama, Jeanne berhasil menahan lemparan batu yang menimpa pelindung kepalanya (helmet) sewaktu ia menaiki tangga penyerangan (scaling ladder). Bala bantuan Inggris tiba di wilayah tersebut pada 18 Juni di bawah komando Sir John Fastolf. Pertempuran di Patay mungkin dapat dianggap sebagai kebalikan pertempuran Agincourt: Pasukan perintis (vanguard) Prancis menyerbu sebelum pasukan panah Inggris dapat menyiapkan pertahanan mereka. Timbul kekacauan yang menghancurkan pasukan utama Inggris dan menyebabkan sebagian besar komandannya terbunuh. Fastolf lolos dengan serombongan kecil pasukan dan dijadikan kambing hitam atas kekalahan Inggris ini. Di pihak lain, Prancis hanya menderita sedikit kerugian dari pertempuran ini.

Pasukan Prancis berangkat menuju Reims dari Gien-sur-Loire pada 29 Juni dan menerima status netral kota Auxerre yang dikuasai Burgundi melalui negosiasi pada 3 Juli. Semua kota sepanjang jalan menuju Reims menyerah tanpa syarat kepada pasukan Prancis. Troyes, tempat disepakatinya perjanjian yang berupaya menyingkirkan Charles VII, takluk setelah pengepungan empat hari, nyaris tanpa adanya pertumpahan darah.

Pasukan Prancis menderita krisis persediaan makanan pada saat mencapai Troyes. Edward Lucie-Smith mengutip bahwa hal ini merupakan contoh nyata bahwa Jeanne lebih tepat disebut "diberkati" daripada dikatakan memiliki kemampuan. Seorang pendeta pengelana bernama Brother Richard telah berkhotbah akan datangnya akhir dunia di Troyes dan meyakinkan penduduk setempat untuk menanam kacang-kacangan (bean) yang memiliki masa panen pendek. Pasukan Jeanne tiba tepat saat panen tiba.

Reims membuka pintu gerbangnya pada 16 Juli, dan penobatan diadakan besok paginya, 17 Juli 1429. Walaupun Joan dan Duke Alençon mendesak untuk bergegas menyerang Paris, balairung agung memutuskan negosiasi gencatan senjata dengan Duke Burgundi. Terbukti kemudian Burgundi hanya menggunakan ini sebagai taktik penguluran waktu untuk mempersiapkan pertahanan Paris. Pasukan Prancis bergerak maju melalui kota-kota di dekat Paris dan menerima penyerahan damai dari kota-kota tersebut. Duke Bedford memimpin pasukan Inggris dalam perlawanan terhadap serangan Prancis pada tanggal 15 Agustus. Serangan Prancis terhadap Paris terjadi pada tanggal 8 September, di mana Jeanne, walaupun menderita luka panah di kakinya, meneruskan memimpin pasukannya hingga akhir hari. Pagi berikutnya, ia menerima perintah kerajaan untuk mundur. Banyak sejarawan menyalahkan grand chamberlain Georges de la Trémoille untuk kesalahan besar ini.

Penangkapan dan pengadilan

sunting
 
Bangunan di mana Jeanne ditahan di Rouen sewaktu pengadilan berlangsung yang kemudian dikenal sebagai menara Jeanne d'Arc.

Setelah pertempuran kecil di La-Charité-sur-Loire pada bulan November dan Desember, Jeanne bertolak ke Lagny-sur-Marne pada bulan Maret, dan ke Compiègne pada 23 Mei 1430 untuk bertahan terhadap pengepungan pihak Inggris dan Burgundi. Pertempuran pada hari itu telah menyebabkan tertangkapnya Jeanne d'Arc. Sewaktu memerintahkan untuk mundur, sebagai kode kehormatan, ia bertahan sebagai orang terakhir yang meninggalkan pertempuran. Pihak Burgundi mengepung para pelindungnya.

Adalah suatu kebiasaan bagi keluarga tawanan perang untuk mengumpulkan uang tebusan jika diizinkan. Sayangnya, pihak Burgundi tidak mengizinkan tebusan untuk Jeanne. Banyak sejarawan yang menyalahkan Charles VII karena tidak mengupayakan hal tersebut. Jeanne beberapa kali mencoba untuk lari dari tahanan. Duke Philip dari Burgundi akhirnya menyerahkan Jeanne ke pemerintah Inggris. Bishop Pierre Cauchon dari Beauvais, seorang partisan Inggris dan anggota dewan yang mengawasi pendudukan Inggris di utara Prancis, memiliki peranan penting pada negosiasi ini dan juga pada pengadilan Jeanne.

Pengadilan Jeanne atas tuduhan bidah berbau politis. Duke dari Bedford mengklaim tahta Prancis bagi keponakannya, Henry VI. Jeanne dianggap bertanggung jawab atas penobatan rivalnya. Menyalahkan Jeanne adalah suatu upaya untuk menjatuhkan rajanya. Proses hukum dilangsungkan pada 9 Januari 1431 di Rouen, di wilayah pendudukan Inggris. Proses ini dianggap memiliki beberapa aspek yang tak lazim.

 
Interogasi Jeanne d'Arc. (oleh Gillot Saint-Èvre, Louvre, Paris, 1835)

Untuk menyimpulkan beberapa masalah utama, Bishop Cauchon tidak memiliki yurisdiksi untuk bertindak sebagai hakim pada pengadilan tersebut. Penunjukannya lebih disebabkan karena dukungannya terhadap pemerintah Inggris yang membiayai keseluruhan proses pengadilan. Walaupun pihak penuntut, Nicolas Bailly tidak bisa mengumpulkan bukti-bukti yang memberatkan terhadap Jeanne, pengadilan tetap dilangsungkan.

Catatan pengadilan membuktikan intelektualitas Jeanne. Transkrip dialog yang terjadi mencerminkan hal tersebut. "Sewaktu ditanya apakah ia tahu bahwa ia berada dalam lindungan Tuhan (God's grace), ia menjawab: 'Jika tidak, semoga Tuhan menempatkan saya di sana; dan jika iya, semoga Tuhan tetap melindungi saya.'" Pertanyaan ini adalah jebakan. Doktrin gereja mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa yakin bahwa ia berada dalam lindungan Tuhan. Jika Jeanne menjawab iya, maka ia akan dituduh melakukan bidah. Jika tidak, maka ia mengakui kesalahannya. Boisguillaume belakangan bersaksi bahwa pada saat pengadilan mendengar jawaban ini, "Mereka yang menginterogasinya menjadi takjub" dan langsung menunda interogasi pada hari itu. Dialog ini menjadi terkenal dan digunakan pada banyak karya modern mengenai subyek ini.

Beberapa pejabat pengadilan belakangan bersaksi bahwa banyak bagian transkrip yang diubah untuk menjatuhkan Jeanne. Terjadi penekanan terhadap para petugas pengadilan, termasuk interogator, Jean LeMaitre. Beberapa orang bahkan sempat diancam akan dibunuh oleh pihak Inggris. Dalam pedoman interogasi, seharusnya Jeanne ditahan dalam penjara eklesiastik (agama) dalam pengawasan penjaga perempuan (yaitu biarawati). Sebaliknya pihak Inggris menahannya di penjara sekuler (umum) yang dijaga oleh prajurit Inggris sendiri. Bishop Cauchon menolak permintaan banding Jeanne kepada Dewan Basel dan Paus, yang seharusnya akan dapat menghentikan proses pengadilan tersebut.

Dua belas tuduhan yang menyimpulkan temuan pengadilan bertolak belakang dengan isi catatan pengadilan. Jeanne yang buta huruf terpaksa menandatangani dokumen abjuration yang tidak ia mengerti dengan ancaman eksekusi langsung jika tidak menyetujuinya. Dalam catatan resmi, dokumen itu diganti oleh dokumen lain oleh pengadilan.

Tuntutan atas penampilan tak pantas

sunting

Bidah bisa dihukum mati jika dilakukan berulang kali, sehingga pengadilan kemudian mengajukan tuntutan atas penggunaan pakaian laki-laki oleh perempuan (cross dressing). Masalahnya, saat di ruang sidang Jeanne setuju untuk menggunakan pakaian perempuan, sehingga menimbulkan masalah saat penuntutan.

Beberapa hari kemudian, menurut pengakuan Jeanne, ia mendapatkan percobaan perkosaan oleh seorang bangsawan Inggris di dalam penjara. Ia kemudian mengenakan kembali pakaian laki-laki sebagai perlindungan terhadap pelecehan seksual dan juga, menurut kesaksian Jean Massieu, karena pakaiannya telah dicuri dan ia tidak memiliki apa-apa untuk dikenakan. Pakaian militer yang digunakan laki-laki pada saat itu memungkinkan menghalangi pemerkosa dengan mudah membuka pakaian korbannya, berbeda dengan pakaian perempuan yang mudah dibuka paksa.

Penggunaan pakaian laki-laki oleh perempuan sebenarnya bisa dibenarkan oleh ajaran Katolik atas alasan mendesak, salah satunya melindungi diri dari perkosaan. Ia juga boleh saja menggunakan pakaian perang laki-laki untuk melindungi diri dalam pertempuran, walaupun membuatnya tampak menjadi kesatria laki-laki. Rambut pendeknya juga dipermasalahkan, yang kemudian mendapat pembelaan dari pendukungnya, misalnya ahli teologi Jean Gerson, bahwa hal tersebut hanya untuk kepraktisan.

Namun bagaimanapun tuntutan mengada-ada ini tetap diteruskan sehingga diputuskan ia melakukan bidah berulang dan pantas dihukum mati. Saat pengadilan tahun 1431, keputusan atasnya dijatuhkan. Sejarawan Beverly Boyd menulis bahwa pengadilannya begitu tidak adil sehingga transkrip sidang sampai dipakai untuk bukti kanonisasinya pada abad 20.

Eksekusi

sunting

Saksi mata menggambarkan suasana eksekusi pada 30 Mei 1431. Terikat pada tiang tinggi, ia meminta dua petugas, Martin Ladvenu dan Isambart de la Pierre untuk memegang salib di belakangnya. Seorang prajurit Inggris juga membuatkan salib kayu untuk ditempatkan di dadanya.

Ia berulangkali berkata "dengan suara keras menyebut nama Yesus dan memohon dan berdoa tanpa henti untuk bantuan orang suci dari surga." Setelah meninggal, orang-orang Inggris membongkar arang dan menunjukkan tubuhnya yang telah hangus hingga memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengklaim bahwa ia selamat dari hukuman, lalu membakar ulang tubuhnya hingga menjadi abu dan mencegah pengumpulan relik. Mereka membuang abu tersebut ke sungai Seine. Belakangan, algojo Geoffroy Therage menyatakan bahwa ia "... sangat takut dikutuk karena ia telah membakar wanita suci."

Pengadilan ulang

sunting

Pengadilan ulang diadakan setelah perang berakhir. Paus Kallixtus III mengesahkan proses ini, yang sekarang dikenal sebagai "pengadilan rehabilitasi", atas permintaan Inquisitor-General Jean Brehal dan ibunda Jeanne, Isabelle Romée. Penyelidikan dimulai dengan pemeriksaan terhadap Guillaume Bouille. Brehal melakukan penyelidikan pada tahun 1452. Permohonan banding resmi diajukan pada November 1455. Proses ini melibatkan banyak pihak dari seantero Eropa dan mengikuti prosedur standar pengadilan. Panel ahli teologi menganalisis kesaksian dari 115 saksi mata. Brehal menyampaikan simpulan akhirnya pada Juni 1456, yang menggambarkan Jeanne sebagai seorang martir dan menuduh almarhum Pierre Cauchon dengan bidah karena telah menjatuhkan hukuman kepada perempuan yang tak berdosa demi balas dendam sekuler. Pengadilan memutuskan Jeanne tak bersalah pada 7 Juli 1456.

Pengaruh

sunting
 
Reruntuhan kastil di Chinon di mana Jeanne bertemu Charles VII. Satu-satunya menara yang utuh sekarang digunakan sebagai museum bagi Jeanne d'Arc.

Perang Seratus Tahun berlanjut selama 22 tahun sejak kematian Jeanne. Charles VII berhasil mempertahankan legitimasinya sebagai raja Prancis walaupun pada Desember 1431 Henry VI dinobatkan juga pada ulang tahunnya yang ke sepuluh. Sebelum Inggris dapat membangun kembali militernya yang hancur pada tahun 1429, negeri itu kehilangan persekutuannya dengan Burgundi pada Perjanjian Arras pada tahun 1435. Duke dari Bedford wafat pada tahun yang sama sehingga menjadikan Henry VI raja termuda Inggris yang memerintah tanpa wali (regent). Perjanjian tersebut dan lemahnya kepemimpinan Henry VI mungkin merupakan faktor terpenting yang mengakhiri konflik. Kelly DeVries mengungkapkan argumentasi bahwa penggunaan artileri dan penyerangan frontal yang dilakukan Jeanne d'Arc memengaruhi taktik Prancis selama sisa perang.

 
Tanda tangan Jeanne.

Sumber utama informasi mengenai Jeanne adalah melalui catatan-catatan terpisah. Lima manuskrip asli dari pengadilannya ditemukan sekitar abad ke-19. Tak lama setelah itu, sejarawan juga menemukan catatan lengkap pengadilan rehabilitasinya, yang mengandung kesaksian di bawah sumpah dari 115 saksi berikut juga catatan asli dalam bahasa Prancis, terjemahan dari transkrip pengadilan awalnya. Berbagai surat juga berhasil ditemukan, tiga di antaranya mengandung tanda tangan "Jehanne" yang kelihatannya dibuat oleh tangan orang yang belajar menulis. Melimpahnya ketersediaan naskah sumber pertama yang tak lazim ini merupakan salah satu alasan DeVries mengatakan, "Tidak ada seorang pun dari Abad Pertengahan, baik laki-laki atau perempuan, yang menjadi subyek penelitian melebihi Jeanne d'Arc."

Ia datang dari desa terpencil dan menjadi terkenal sewaktu ia baru saja melepas masa kanak-kanaknya dan ia melakukan itu dengan status sebagai golongan petani yang tak berpendidikan. Raja-raja Prancis dan Inggris membuat pembenaran terhadap perang yang terjadi melalui perang interpretasi terhadap hukum Salic yang telah berumur ribuan tahun. Konflik yang terjadi adalah sengketa waris antara kedua monarki. Jeanne memberikan arti pada ketulusan, sehingga Jean de Metz berucap, "Haruskah raja diusir dari kerajaan; dan kita menjadi orang Inggris?" Meminjam kata-kata Stephen Richey, "Ia mengubah apa yang tadinya hanyalah sengketa antar dinasti yang membuat rakyat jelata tak tergerak, kecuali untuk kesengsaraan mereka sendiri, menjadi suatu perjuangan populer yang penuh semangat demi pembebasan negeri." Richey juga menggambarkan:

"Orang-orang yang datang lima abad setelah kematiannya berupaya untuk memberi segala macam cap pada dirinya: pengikut iblis, penyihir, boneka kekuasaan yang lugu dan tragis, pencipta dan simbol nasionalisme modern, pahlawan yang dicintai, orang suci. Ia bersiteguh, bahkan sewaktu diancam dengan siksaan dan dihadapkan pada kematian dengan dibakar, bahwa ia dibimbing oleh suara Tuhan. Benar atau tidak, apa yang dicapainya telah membuat siapapun yang mengetahui kisahnya akan menggelengkan kepala dengan penuh kekaguman."

Jeanne menjadi simbol Liga Katolik pada abad ke-16. Félix Dupanloup, uskup Orléans dari 1849 sampai 1878, memimpin suatu upaya yang berujung pada beatifikasi Jeanne pada 1909. Kanonisasi terhadap dirinya dilakukan pada 16 Mei 1920. Ia menjadi salah satu santa paling populer di gereja Katolik Roma.

Jeanne d'Arc bukanlan feminis. Ia bertindak dalam lingkup tradisi keagamaan yang mempercayai bahwa orang terpilih dari strata sosial manapun dapat memperoleh panggilan rohani. Ia mengusir perempuan dari tentara Prancis dan mungkin saja telah memukul seorang pengikut yang keras kepala dengan pedang. Walaupun demikian, beberapa penolong utama terhadapnya berasal dari perempuan. Ibu mertua Charles VII, Yolande dari Aragon, mengkonfirmasikan keperawanan Jeanne dan membiayai keberangkatannya ke Orléans. Joan dari Luxemburg, bibi dari Count dari Luxemburg yang menahan Jeanne di Compiègne, memperbaiki kondisi penahanannya dan kemungkinan telah menunda penjualannya ke Inggris. Terakhir, Anne dari Burgundi, istri dari wali Inggris, menyatakan bahwa Jeanne adalah seorang perawan sewaktu sidang pendahuluannya. Secara teknis, hal ini menghalangi pengadilan untuk menuduh Jeanne sebagai penyihir. Hal ini sedikit banyak kemudian juga menjadi dasar bagi pembersihan nama dan pengangkatan Jeanne menjadi santa. Kaum perempuan melihat Jeanne sebagai contoh positif perempuan yang keberanian dan keaktifan perempuan.

 
Bendera pemerintahan Charles de Gaulle dalam pengasingan selama Perang Dunia II. Salib dari Lorraine digunakan sebagai Referensi simbolis kepada Jeanne d'Arc.

Jeanne d'Arc telah menjadi simbol politis di Prancis sejak zaman Napoleon. Kaum liberal menekankan pada asal keturunannya yang sederhana. Kaum konservatif awal menekankan pada dukungannya terhadap monarki. Kaum konservatif belakangan mengenang nasionalismenya. Selama Perang Dunia II, baik Vichy Regime maupun French Resistance menggunakan simbol dirinya: Vichy melakukan propaganda mengenang perjuangannya melawan Inggris dengan poster yang menunjukkan pesawat tempur Inggris membom Rouen dan tulisan "Mereka Selalu Kembali ke Tempat Mereka Melakukan Kejahatan." Kaum perlawanan menekankan penjuangannya melawan pendudukan asing dan daerah asalnya di Provinsi Lorraine, yang telah jatuh dalam kekuasaan Nazi.

Katolik tradisional, terutama di Prancis, juga menggunakannya sebagai sumber inspirasi, sering membandingkan ekskomunikasi yang dilakukan terhadap uskup agung Marcel Lefebvre (pendiri Society of St. Pius X dan penentang reformasi Vatikan II) dengan ekskomunikasi yang dilakukan terhadap Jeanne. Tiga kapal milik angkatan laut Prancis telah diberi nama dari namanya, termasuk satu helikopter pengangkut yang saat ini masih aktif bertugas. Saat ini, partai politik kontroversial Prancis, Front National, mengadakan pawai di patungnya, menggunakan figurnya dalam publikasi partai, serta menggunakan api triwarna, yang sebagian menyimbolkan pengorbanan Jeanne, sebagai lambang partai. Libur nasional Prancis untuk penghormatan dirinya diadakan pada hari Minggu kedua di bulan Mei.

Fakta dan trivia

sunting

Berikut adalah beberapa hal menarik berkenaan dengan kehidupan dan warisan Jeanne d'Arc.

Ditemukan beberapa versi nama Jeanne:

  • "Day" - pemberian gelar bangsawan pada 29 Desember 1429
  • "Daix" - "La Chronique de la Pucelle", pertengahan abad ke-15
  • "Darc" - dokumen pemberian gelar bangsawan, Juni 1429
  • "Jehanne" - "Ditié de Jehanne d'Arc Diarsipkan 2006-06-15 di Wayback Machine.", pertengahan abad ke-15, Christine de Pisan

Potret

sunting
 
Satu-satunya lukisan diri Jeanne d'Arc. Dibuat oleh Clément de Fauquembergue, 1429.

Satu-satunya gambar Jeanne d'Arc yang dibuat pada masa hidupnya adalah suatu sketsa oleh Clément de Fauquembergue untuk catatan Parlemen Paris. Gambar ini dibuat menyertai berita kemenangannya di Orléans. Jeanne tidak pernah mengunjungi Paris, sehingga pelukis tersebut tidak mungkin mengetahui seperti apa sebenarnya wajah atau penampilan Jeanne.

Gaya/model

sunting

Potongan rambut pendek Jeanne memiliki pengaruh besar terhadap gaya rambut perempuan abad ke-20. Pada tahun 1909, penata rambut Paris, Antoine, mengambil inspirasi dari Jeanne untuk menciptakan model rambut bob, yang mengakhiri tabu yang berlangsung berabad-abad terhadap perempuan yang memotong rambut. Gaya ini menjadi populer pada dasawarsa 1920-an dan diasosiasikan dengan kebebasan wanita. Hampir semua gaya rambut Barat yang muncul setelahnya dirancang bagi para wanita yang paling tidak memotong rambutnya secara berkala.

Asteroid

sunting

Asteroid 127 Johanna, yang ditemukan oleh P.M. Henry pada tahun 1872, kemungkinan diberi nama atas nama Jeanne.

Bibliografi

sunting

Biografi

sunting
  • Brooks, Polly Shoyer (1999), Beyond the Myth: The Story of Joan of Arc, New York: Houghton Mifflin Co, ISBN 0397324227 
  • de Charmettes, Philippe-Alexandre Le Brun (1817), History of Joan of Arc Called the Maid of Orleans, drawn from her own declarations, of one hundred forty-four depositions of eyewitnesses, and of the manuscripts of the library of the King and the London Tower, Paris: ED. Artus Bertrand 
  • de Quincey, Thomas, The English Mail-Coach and Joan of Arc 
  • Devries, Kelly (1999), Joan of Arc: A Military Leader, Gloucestershire: Sutton Publishing, ISBN 0750918055 
  • Fraioli, Deborah (2002), Joan of Arc: The Early Debate, London: Boydell Press, ISBN 0851158803 
  • Gower, Ronald Sutherland, Joan of Arc 
  • Meltzer, Francoise (2001), For Fear of the Fire: Joan of Arc and the Limits of Subjectivity, Chicago: University of Chicago Press, ISBN 0226519821 
  • Oliphant, Mrs. (Margaret), Jeanne d'Arc: Her Life and Death 
  • Pernoud, Regine (1955), The Retrial of Joan of Arc; The Evidence at the Trial For Her Rehabilitation 1450 - 1456, New York: Harcourt, Brace and Company, ASIN B0007DZMRG 
  • Pernoud, Regine (1999), Joan of Arc: Her Story, New York: St. Martin's Griffin, ISBN 0312227302 
  • Pernoud, Regine (1994), Joan of Arc by Herself and Her Witnesses, London: Scarborough House, ISBN 0812812603 
  • Richey, Stephen W, Joan of Arc: A Military Appreciation 
  • Richey, Stephen W (2003), Joan of Arc: The Warrior Saint, Westport, CT: Praeger, ISBN 0275981037 
  • Sackville-West, Vita (2001), Saint Joan of Arc, New York: Grove Press, ISBN 0802138160 
  • Warner, Marina (1981), Joan of Arc: the Image of Female Heroism, Univ. of California, ISBN 0-520-22464-7 
  • Wheeler, Bonnie (1996), Charles T. Wood, ed., Fresh Verdicts on Joan of Arc, New York: Garland Publishing, Inc., ISBN 0815336640 

Sejarah yang terkait

sunting

Lain-lain

sunting

Pranala luar

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ See Pernoud's Joan of Arc By Herself and Her Witnesses, p. 98: "Boulainvilliers tells of her birth in Domrémy, and it is he who gives us an exact date, which may be the true one, saying that she was born on the night of Epiphany, 6 January".
  2. ^ "Chemainus Theatre Festival - The 2008 Season - Saint Joan - Joan of Arc Historical Timeline". Chemainustheatrefestival.ca. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-02. Diakses tanggal 2012-11-30. 
  3. ^ "Church of England Holy Days". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-25. Diakses tanggal 2015-04-07. 
  4. ^ Pernoud dan Clin, hal. 220–221: Nama Jeanne d'Arc ditulis dalam beberapa cara, khususnya pada periode sebelum pertengahan abad ke-19.
  5. ^ Pada kenyataanya, Jeanne d'Arc tidak mengetahui tanggal persis kelahirannya. Tanggal 6 Januari didasarkan hanya pada satu sumber yaitu surat dari Lord Perceval de Boullainvilliers pada 21 Juli 1429 (Pernoud, hal. 98: "Boulainvilliers menyatakan kelahirannya di Domremy, dan ia juga memberikan tanggal pasti, yang mungkin adalah tanggal sebenarnya, dengan menyatakan bahwa ia lahir pada malam Epiphany, 6 Januari"). Tidak ada saksi mata pada pengadilan rehabilitasinya yang memberikan tanggal lahir, dan kejadian ini mungkin juga tidak tercatat. Pencatatan sipil untuk kelahiran non-bangsawan tidak dilakukan sampai beberapa generasi selanjutnya.
  6. ^ Suatu pengadilan ulang yang dipimpin oleh Inquisitor-General Brehal diadakan setelah Prancis memenangi Perang Seratus Tahun. Putusan pengadilan ini membatalkan putusan sebelumnya.[1]
  7. ^ DeVries, hal. 15–19.
  8. ^ Pernoud dan Clin, hal. 167.
  9. ^ DeVries, hal. 24.
  10. ^ Pernoud dan Clin, hal. 188–189.
  11. ^ DeVries, hal. 24, 26.
  12. ^ Pernoud dan Clin, hal. 10.
  13. ^ DeVries, hal. 28.
  14. ^ "Pengadilan pengutukan (condemnation trial), hal. 37". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-13. Diakses tanggal 2006-06-15. 
  15. ^ Pernoud dan Clin, hal. 221.
  16. ^ Pengadilan pengutukan], hal. 58 - 59. [2] Diarsipkan 2006-09-13 di Wayback Machine.
  17. ^ DeVries, hal. 37–40.
  18. ^ Kesaksian Jean de Metz pada pengadilan penghapusan (nullification)
  19. ^ Oliphant, bab 2
  20. ^ a b Richey, "Joan of Arc: A Military Appreciation"