Sejarah Perkebunan Dan Dampaknya Bagi Perkembangan
Sejarah Perkebunan Dan Dampaknya Bagi Perkembangan
Sejarah Perkebunan Dan Dampaknya Bagi Perkembangan
Zusneli Zubir
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang
Jalan Raya Belimbing No 16A Kuranji Padang
E-mail: [email protected]
Abstract
The purposeandobject ofthis paperisarelevancebetween the existence oflarge estates, Onderneming
Europeandits impact on societyin Onderafdeeling Banjoeasinen Koeboestrekenthe colonial periodin
1900-1942. The method usedin this studyis the historical method to reconstruct the history of the
plantationand the implications forthe development of society in Onderafdeeling Banjoeasinen
Koeboestrekken. Data collection techniques use drefersto the first stage in the history ofthe process of
heuristic methods, finding and collecting historical sources. Data analysis techniques with regard to
the second stage, third and fourth in the history covering methods of source criticism, and historiography
interpretation. Based on the research results and conclusions, the opening rubber plantations in the
colonial period Onder afdeeling Banjoeasinen Koeboe strekken highly correlated with the natural
conditions of this area and also the political changeskonial, open the door. There are two big companies
that invest heavily large plantations of rubber namely, first, Rubber Ondernemingen Melaniain 1909
the plantingand effort trubber massively from the east end of Marga Pangkalan Balai to the west end
Marga Gasing and centered in Musi Landas. Secondly, plantation Oud Wassenaar, N.V. Oliepalmenen
rubber Mijnsprawling in the gutter are as ranging northern Batang Hari Leko, Marga Rantau Bayur,
toits northern Marga Suak Tape, Marga Betung and Tebenan area. The relevance of the opening of a
large estate with acommunity in Onder afdeeling Banjoeasinen Koeboe strekkenseenin some ways.
First, the change in the position of the local elite, the Pasirah, Kerio, others Marga council officials.
Secondly, helped create the “repair” the public infrastructure facilities and infrastructures there. Third,
encourage the development ofeconomic activity and providea tremendous impact in the dusun-dusun
marga’s. Fourth, many builders connecting road for the purposes of transportation of rubber has
abroad and profound impacton the pattern of a traditional society, not only for the Malays Banjoeasin,
but also to aspects of the life of the Kubu’s Banjoeasin. They began the gradual assimilation are
creating Kubu’s Banjoeasin with Malay Banjoeasin due to changes in the orientation of his thinking
because it began opening their areas of influence of the outside world.
Keywords: Socio-economic history, Plantation Large,Malay Banjoeasin, Kubu Banjoeasin
Abstrak
Tujuan dan objek tulisan ini adalah suatu relevansi antara keberadaan perkebunan besar, onderneming
Eropa dan dampaknya bagi masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestreken pada masa
kolonial tahun 1900-1942. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah untuk
merekonstruksi mengenai sejarah perkebunan dan dampaknya bagi perkembangan masyarakatdi
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken. Teknik pengumpulan data yang digunakan mengacu
dengan tahap pertama dalam metode sejarah yaitu proses heuristik, mencari dan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah. Teknik analisis data berkenaan dengan tahap kedua, ketiga dan keempat
dalam metode sejarah yang meliputi kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Berdasarkan hasil
79
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015
penelitian dan kesimpulan, maka pembukaan perkebunan karet masa kolonial di Onderafdeeling
Banjoeasin en Koeboestrekken sangat berhubungan dengan keadaan alam daerah ini dan juga adanya
perubahan politik konial, open the door. Ada dua perusahaan besar yang melakukan investasi besar-
besaran perkebunan besar karet yakni, pertama, Rubber Ondernemingen Melania pada tahun 1909
yang melakukan penanaman dan usaha karet secara besar-besaran mulai dari ujung timur Marga
Pangkalan Balai sampai ke ujung barat Marga Gasing dan berpusat di Musi Landas. Kedua, perkebunan
Oud Wassenaar, N.V. Oliepalmen en rubber Mijn yang membentang luas di daerah-daerah talang
mulai bagian utara Batang Hari Leko, Marga Rantau Bayur, ke utaranya Marga Suak Tape, Marga
Betung dan daerah Tebenan. Relevansi pembukaan perkebunan besar dengan masyarakat di
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken terlihat dalam beberapa hal. Pertama, adanya
perubahan posisi elit lokal, para pasirah, kerio, pejabat dewan marga lainnya. Kedua, turut menciptakan
“perbaikan” sarana dan prasana infrastruktur masyarakat di sana. Ketiga, mendorong berkembangnya
kegiatan ekonomi dan memberikan dampak yang luar biasa di dusun-dusun marga. Keempat, banyaknya
pembangun jalan penghubung untuk keperluan transportasi hasil karetnya memiliki dampak yang
luas dan mendalam terhadap pola masyarakat tradisional, tidak saja bagi orang Melayu Banyuasin,
tetapi juga bagi segi-segi kehidupan orang Kubu. Mereka mulai memciptakan asimilasi bertahap
orang Kubu dengan penduduk Melayu akibat adanya perubahan orientasi pemikirannya karena mulai
terbukanya daerah-daerah mereka dari pengaruh dunia luar.
Kata Kunci: Sejarah Sosial-Ekonomi, Perkebunan Besar, Melayu Banyuasin, Kubu Banyuasin
A. PENDAHULUAN
Pada masa kolonial Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestreken, sekarang Kabupaten
Banyuasin, merupakan kabupaten terdekat dan berbatasan langsung pada bagian utara dengan
Kota Palembang, dulu beribukota dan kedudukan kontroleur berada di Talang Betoetoe.
(Memorie van Overgave, 1918 No. 13) Onderafdeeling Banjoe Asin en Koeboestreken termasuk
dalam Afdeelingen Palembangsche Benedenlanden, Palembang daerah-daerah dataran rendah,
yang beribukota di Palembang, pada masa Kesultanan Palembang, termasuk ke dalam “daerah
sikap”, di samping Belida dan Pegagan, sama seperti sistem pemerintahan di daerah uluan,
wilayah ini tidak mempunyai pemerintahan sendiri, tetapi diperintah langsung oleh pegawai
yang ditunjuk rajaPalembang dibawah kendali seorang jenang. (Hambali, 1991/1992: 20) Mereka
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak pada umumnya karena mereka adalah kepercayaan
dari raja.
Menariknya, ketika pemerintah kolonial Belanda, dengan politik liberalismenya, selama
kurun 1870-1900, serta terlebih pada masa politik open the door policy,politik pintu terbuka,
yang dibuka sejaktahun 1930, dalam membuka kran swastanisasi perkebunan seluas-luasnya,
daerah ini muncul sebagai daerah perkebunan besar sebagai dampak dari kebijakan politik
ekonomi kolonial tersebut. Dalam politik seperti itu, menurut Day (2009: 68), Pemerintah
Kolonial Belanda mengambil sikap laisser faire di mana peran dominan pemerintah dalam
perekonomian, termasuk usaha perkebunan, mengalami penurunan peranannya.Onderafdeeling
Banjoeasin en Koeboestreken merupakan wilayah yang juga terkena dampak dari pengembangan
besar-besaran perkebunan swasta yang dimiliki oleh orang Eropa. Menurut O’Malley (1988:
80
Sejarah Perkebunan dan Dampaknya bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken,
Keresidenan Palembang, 1900-1942 (Zusneli Zubir)
197), perkebunan merupakan aspek terpenting dalam pemandangan ekonomi di Indonesia pada
masa kolonial. Usaha perkebunan yang semula diadakan di Jawa itu, menjelang akhir abad ke-
19 mulai dikembangkan dan meluas di luar pulau Jawa, khususnya Sumatera. Akibat
pemberlakuan ini hutan-hutan belantara di daerah Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestreken,
Keresidenan Palembang dibuka untuk dijadikan daerah perkebunan milik perusahaan Eropa.
81
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015
besar Eropa ini memiliki relevansi yang sangat kuat, karena bagaimana pun perkebunan besar
Eropa adalah model yang kemudian melahirkan modernitas, sekaligus kepingan bagiannya
yang disebut kapitalisme. Menurut Zed (2003: 68) perkebunan besar, onderneming Eropa ini
merupakan bagian dari kemunculan industri Barat yang mendorong lahirnya komersialisasi
pertanian besar-besaran, yang sebelumnya hanya bersifat tradisional di Keresidenan Palembang,
termasuk di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestreken.
Pada akhirnya, kehadiran perusahaan Barat dalam dunia perkebunan telah menciptakan
tatanan perdagangan lokal yang sangat komplek, pembangunan insfrastruktur sarana dan
prasarana penunjang industri perkebunan Barat modern yang menghubungkan dunia tradisional
masyarakat lokal ke dunia “luarnya” yang kemudian jauh lebih kompleks dan dinamis, serta
pengenalan ekonomi jenis baru yang dulu jarang mereka kenal, yakni ekonomi uang. Munculnya
“kemajuan-kemajuan” ini kemudian membawah masyarakat lokal di mana perkebunan besar
ini berada menuju sebuah transformasi, yang tidak saja bersifat ekonomi sosial, tetapi juga
politis, sosial dan budaya, termasuk di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestreken. Relevansi
antara munculnya dunia modern lewat perkebunan besar, onderneming dan dampaknya terhadap
masyarakat lokal yang tradisional di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestreken yang
kemudian membuat hal tersebut menarik untuk dikaji lebih jauh lagi dalam makalah ini.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam tulisan ini dirumuskan masalah sebagai
berikut: Bagaimana bentang alam dan kependudukan di Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestreken pada masa kolonial? Bagaimana sejarah keberadaan perkebunan besar,
onderneming Eropa, di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestreken? Apakah dampak dari
keberadaan perkebunan besar,onderneming Eropa, bagi masyarakat di Onderafdeeling
Banjoeasin en Koeboestreken, baik bagi orang Melayu Banyuasin maupun etnis Kubunya?
82
Sejarah Perkebunan dan Dampaknya bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken,
Keresidenan Palembang, 1900-1942 (Zusneli Zubir)
Tujuan dan objek tulisan ini adalah suatu relevansi antara keberadaan perkebunan besar,
onderneming Eropa dan dampaknya bagi masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestreken pada masa kolonial tahun 1900-1942.
Secara historis, tujuan tulisan ini ingin melihat:
1. Mengkaji hubungan bentang alam dan kependudukan di Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestreken pada masa kolonial dengan peluang munculnya dunia perkebunan pada
waktu itu.
2. Mengkaji relevansi keberadaan perkebunan besar, onderneming Eropa, dengan
kemajuan-kemajuan bagi Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestreken.
3. Mengkaji dampak dari keberadaan perkebunan besar,onderneming Eropa, bagi
masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestreken, baik bagi orang Melayu
Banyuasin maupun etnis Kubunya.
Selain itu, tulisan ini dapat memberi manfaat dalam beberapa aspek, yakni:
1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, tulisan dan hasilnya diharapkan dapat menambah
dan memperkuat cakrawala penelitian dalam sejarah ekonomi, sosial dan kebudayaan
terhadap keberadan ekonomis dari dunia perkebunan masa lalu dengan lokasi di mana
perkebunan tersebut bereksistensi.
2. Bagi pemerintah, diharapkan tulisan ini dapat menjadi refensi utama dalam kebijakan
pengembangan ekonomi yang lebih luas dengan perspektif pro rakyat.
3. Bagi masyarakat, diharapkan tulisan ini dapat menjadi masukan berharga dalam hal
menyikapi perkembangan-perkembangan “baru” yang ada dilingkup lokal mereka, agar
dapat diambil nilai-nilai positif dari kemunculan suatu kebaharuan yang ada
dilingkungannya.
Kajian terdahulu tentang karet di Keresidenan Palembang umumnya, Onderafdeeling
Banjoeasin en Koeboestrekken khususnya, pada masa kolonial belum terlalu banyak, kalau
boleh dikatakan minim. Penelitian utama tentang karet di Keresidenan Palembang datang dari
kajian Purwanto tahun 1993 berjudul From Dusun To The Market: Native Rubber Cultivation
In Southern Sumatra, 1890-1940. Kajian ini merupakan disertasi di Oxford University London,
Inggris yang menekankan pada sejarah ekonomi budidaya karet asli tradisional yang dikelolah
oleh masyarakat di daerah uluan Keresidenan Palembang. Purwanto melihat dalam kajian ini
bagaimana karet yang dibudidayakan oleh masyarakat, kemudian masuk ke dalam perdagangan
internasional, di tengah hegemoni perkebunan-perkebunan swasta besar Eropa yang mulai dan
tengah berkembang selama awal abad ke-20.
Kajian berikut tentang karet adalah tulisan Zed tahun 2002 berjudul Ekonomi Dualistis
Palembang pada Periode Kolonial Akhir yang menjadi bagian dari buku Fondasi Historis
Ekonomi Indonesia dieditori oleh sejarawan ekonomi Thomas J. Lindblad. Meskipun kajiannya
ini tidak hanya membicarakan karet, tetapi tanaman ekonomis lain di Keresidenan Palembang,
seperti kopi, Kelapa Sawit, Lada, Minyak Bumi dan sebagainya. Menariknya, tulisan Zed
83
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015
mencoba mengkaji suatu bentangan komparatif antara usaha pertanian perkebunan besar Eropa,
onderneming di satu sisi dengan dihadapkan pada perkebunan kecil rakyat di sisi lainnya.
Selain dua tulisan tersebut, kajian Clemens dalam penelitian studinya di Universiteit
van Amsterdam tahun 1988 berjudul De Bevolkingsrubbercultuur in Djambi en Palembang
Tijdens het Interbellum, 1906-1942, mengenai perkebunan karet rakyat di Jambi dan Palembang
patut diketengahkan. Studi ini merupakan usaha komparatifnya dalam melihat perkebunan karet
rakyat di satu sisi dengan onderneming karet besar Eropa di Jambi dan Palembang. Clement
dengan sangat menarik mencoba melihat bagaimana usaha perkebunan karet rakyat dalam
mensiasati perkembangan harga karet dunia ketika pemerintah kolonial Belanda menjalankan
peraturan-peraturan yang ada kalanya bersifat menguntungkan seekaligus merugikan usaha
karet rakyat di Jambi dan Palembang.
Kerangka teoretis menerangkan pengertian-pengertian atau konsep dasar tentang topik
yang diangkat dalam penulisan ini. Konsep perkebunan, menurut Suwirta (2002: 19-36),
berkenaan dengan segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah atau media
tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil
tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta
manajemen untuk mewujudkankesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
84
Sejarah Perkebunan dan Dampaknya bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken,
Keresidenan Palembang, 1900-1942 (Zusneli Zubir)
berlaku di Indonesia pada masa pra kolonial. Sebagai sistem perekonomian pertanian baru,
sistem perkebunan telah memperkenalkan dan membaharui sistem perekonomian pertanian
dan akhirnya memberikan dampak perubahan penting terhadap perubahan masyarakat tanah
jajahan. Menurut Kartodirdjo dan Djoko Suryo (1991: 66-67), perkebunan sistem kolonial ini
diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian skala besar dan komplek, bersifat padat modal,
penggunaan areal pertanahan luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja rinci,
pengguanaan tenaga kerja upahan, struktur hubungan kerja yang rapi, dan penggunaan teknologi
modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, serta penanaman tanaman komersial
yang ditujukan untuk komediti ekspor dipasar dunia. Dalam menjalankan perkebunan,
pemerintah kolonial juga memiliki konsep yang dianggap mampu mempermudah kontrol
perkebunan.
Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Oktasari dan Agus Trilaksana (2014: 122-
129), acuan pengertian di atas mengarah pada perkebunan besar yang merupakan perkebunan
yang diselenggarakan atau dikelola secara komersial oleh perusahaan yang berbadan hukum.
Perkebunan besar terdiri dari perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta nasional
atau asing. Perkebunan besar biasanya memiliki konsekuensi yang bersifat fungsional yaitu
terciptanya lapangan pekerjaan baru, menyokong perekonomian dan status sosial. Oleh karena
itu, menurut pengertian Ritzet (2007:139) sebagai sebuah fungsi pasti memiliki konsekuensi-
konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem
tertentu.
Sistem penguasaan lahan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di
Keresidenan Palembang, termasuk di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestreken, menurut
Zed (2002: 294-312), menerapkan sistem dualistis yakni sistem hukum Eropa dan sistem hukum
adat. Pemerintah Kolonial Belanda, dalam sistem penguasaan lahan seperti ini, menggunakan
dan memanfaatkan aturan penguasaan lahan dengan sistem kepala daerah, kepala marga, yang
dipegang oleh pasirah. Dalam sistem seperti ini, pasirah, sebagai kepala adat marga dikendalikan
dalam mengatur tentang adanya pengakuan status lahan adat masyarakat, di mana syarat ada
tanah adat yang diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda pada saat itu. Fokus utama
kajian penelitian ini adalah pembukaan perkebunan dan dampaknya dalam masyarakat di
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestreken yang merupakan bagian dari suatu masyarakat
perkebunan pada masa itu.
B. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah untuk merekonstruksi
mengenai sejarah perkebunan dan dampaknya bagi perkembangan masyarakatdi Onderafdeeling
Banjoeasin en Koeboestrekken. Teknik pengumpulan data yang digunakan mengacu dengan
tahap pertama dalam metode sejarah yaitu proses heuristik. Heuristik merupakan kegiatan dalam
mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang terdiri dari sumber-sumber tertulis
berupa arsip, terbitan pemerintah, buku, dan artikel yang relevan dengan fokus penelitian,
koran atau harian sezaman , jurnal, majalah, terbitan berkala, laporan-laporan statistik, dan
sebagainya.
85
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015
Teknik analisis data berkenaan dengan tahap kedua, ketiga dan keempat dalam metode
sejarah yang meliputi kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Kritik sumber, menurut
Gottschalk (1986: 80-111), adalah kegiatan yang bertujuan untuk menyelidiki dan menguji
apakah sumber-sumber sejarah yang ditemukan itu otentik dan bisa dipercaya, kredibel, baik
dalam bentuk maupun isinya. Untuk menguji keaslian sumber dilakukan kritik intern,
kredibilitas, yaitu menentukan sifat sumber dan kritik ekstern, otentisitas, yakni untuk
mengetahui keaslian sumber, apakah sumber itu asli, turunan atau bahkan sudah diubah. Menurut
Pranoto (2010: 22), kegiatan interpretasi adalah menetapkan makna dan saling hubungan antara
fakta yang satu dengan fakta lainnya sesuai dengan topik dalam penelitian ini berdasarkan
hubungan kronologis dan sebab-akibat dengan melakukan imajinasi, interprestasi, dan analisis
serta disintesiskan. Fakta-fakta sejarah tentang perkebunan di Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestrekken pada masa lalu yang diperoleh harus dirangkaikan atau dihubung-hubungkan
satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang harmonis, menurut rangkaian kronologis
dan hubungan sebab-akibat. Sementara proses historiografi atau rekonstruksi sejarah berkenaan
dengan kegiatan melakukan rekonstruksi peristiwa masa lalu tentang perkebunan di
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken dalam bentuk kisah sejarah yang dituangkan
dalam tulisan.
C. PEMBAHASAN
a. Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken: Sekilas Pandang
Saat ini Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken merupakan Kabupaten Banyuasin
merupakan pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin sejak tahun 2002. Menurut tulisan
Bappeda Pemkab Banyuasin (2008: 9), kata “Banyuasin” diangkat dan bersumber dari keadaan
alamnya yang sebagian besar merupakan wilayah perairan, baik di muara laut maupun aliran
sungai dan lebak. Topografis seperti ini hampir mendominasi wilayah Kabupaten Banyuasin.
Kata “banyu” memiliki padanan kata dalam Bahasa Indonesia yang berarti “air”, sementara
kata “asin” merupakan gambaran dari rasa air tersebut. Dengan demikian arti dari banyuasin
bersinonim dengan “air asin”, air yang memiliki rasa asin.
Kabupaten Banyuasin saat ini, mempunyai wilayah seluas 11.832,99 Km2 dan terbagi
menjadi 15 kecamatan. Secara administratif, Kabupaten Banyuasin mempunyai batas wilayah
sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi
Jambi dan Selat Bangka. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pampangan dan Air
Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jejawi
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kota Palembang, Kecamatan Sungai Rotan dan Talang Ubi
Kabupaten Muara Enim. Sementara, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Musi
Banyuasin. (Bappeda Pemerintah Kabupaten Banyuasin. 2014: 56)
86
Sejarah Perkebunan dan Dampaknya bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken,
Keresidenan Palembang, 1900-1942 (Zusneli Zubir)
Gambar 4. Penggunaan perauh ketel sebagai alat transportasi dan pengangkutan karet
ke luar Perkebunan Tebenan di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken, 1926. (Sumber: kitlv.nl)
Berdasarkan kondisi topografinya, pada saat ini Kabupaten Banyuasin didominasi oleh
daerah yang relatif datar atau sedikit bergelombang, yaitu terdiri dari 80% luas dataran rendah
basah berupa pesisir pantai, rawa pasang surut dan lebak serta 20% luasan merupakan dataran
berombak sampai bergelombang dengan kisaran ketinggian 0-60 meter di atas permukaan laut.
Pada masa lalunya, kondisi geografis seperti iniOnderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken
merupakan wilayah yang bentang alamnya sangat dipengaruhi oleh transportasi kehidupan
sungai, di mana Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken dialiri sungai besar yang
semuanya bermuara ke laut, yang ada di Selat Bangka. Ilustrasi dari peta yang dibuat oleh van
Dongen dan Wisly (1910: 337-344) menggambarkan keadaan Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestrekken pada masa lalu tersebut. Dari Tanjung Siapi-siapi sungai besar yang mencabang
menjadi Air Banjoeasin, Air Tjaleh dan Air Lalan. Kemudian dari Muara Soengsang dua sungai
besar yakni Air Telang dan Air Soengsang. Air Soengsang bertemu dengan Air Oepang
membentuk Sungai Musi hingga ke wilayah pedalaman Keresidenan Palembang. Selain sungai-
sungai panjang ini muara laut juga memiliki sungai pendek Sei Dringoe, Sei Siapa, Sei Sembilan.
Sungai besar utama di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken adalah Air
Banjoeasin yng memiliki anak sungai Air Pontian, Sei Matjan, Sungai Moekoet, Sei Poejoe,
Sei Keron, Sungai Ringit, Sungai Simau, Sungai Pangkalan Balai, Sungai Iboel, Air Banteng.
Air Saleh dan Air Banjoeasin bertemu yang melahirkan anak sungai Air Toengkal. Air Toengkal
memiliki anak-anak sungai yakni Air Betong, Air Betong, Sei Seremoeu, Air Dawas, Sei Tigas,
Sungai Ajau, Sungai Ladjoe, Sungai Kloewang Besar, Sungai Petidoeran, Sungai Temiang, Air
Toengkal, Sungai Bentajan, Sungai Penoedoean, Sungai Gresik, Sungai Boeaja. Air Toengkal
berakhir di Pangkalan Toengkal. Aliran sungai ini berpangkalan di daerah bagian ulu mulai
dari daerah barat pangkalan untuk Air Tungkal. Sementara Air Dawas, berulu di Dawas pada
bagian utaranya, Soepat dan Babat pada bagian tengahnya, serta Betong pada bagian selatannya.
87
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015
Sei Lalan yang berpangkalan di Pangkalan Benteng di utara sedang Pangkalan Brondong
di selatan memiliki anak-anak sungai Sei Merang, Sungai Kenawang, Sungai Mangsang, Air
Medak, dari sana terus ke Bajoeng Lentjir kemudian memiliki anak-anak sungai, yakni Sungai
Bahar, Sungai Mendis, Air Randang, Sungai Tadjau, Sungai Boehan, Sungai Penerokan, Air
Jernih, Sungai Dajo, Sungai Moetoeng, Sungai Temidan, dan Sungai Boelian, Sungai Kandang,
Sungai Penjeroan, dan Sei Boengin, Sungai Bengkoeningan, Sungai Boeloe, Sungai Badak,
Sungai Krekai, Sungai Bajat, Air Berao.
Air Telang memiliki anak sungai, yakni Sei Jaran, Air Gasing, Air Kenten. Selain itu,
setelah Air Soengsang bertemu dengan Air Oepang dan membentuk sungai Musi untuk menuju
Palembang. Namun di antara pertengahan antara Palembang dan Sekajoe, Sungai Moesi
bercabang, di mana cabangnya bagian utaranya disebut Batang Hari Leko yang masuk ke
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken. Sungai Batang Hari Leko memanjang dibagian
selatan Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken membentuk aliran dengan anak sungai,
yakni Sungai Rampasan, Sei Napal, Sei Dangkoe, Sungai Roekoei, Sungai Boenoet. Kemudian
di daerah Bintialo, Batang Hari Leko memiliki cabang anak sungai yakni Air Meranti dan Air
Rapas. Air Meranti memiliki anak sungai, yakni Sungai Anggang Besar dan Sungai Anggang
Kecil, Sungai Pemainan, dan Sungai Poeting Belioeng. Sementara Air Rapas memiliki anak
sungai, yakni Sungai Hoel dan Sungai Mengkelag.
Di sepanjang daerah aliran sungai-sungai tersebut, menurut van Dongen dan Wesly (1910:
337-3344), kemudian membentang tujuh marga utama di Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestrekken yakni Marga Koeboe Lalan yang mendiami daerah aliran sungai Air Lalan
bagian ilir, Marga Koeboe Bajat yang mendiami daerah aliran sungai serta anak-anak sungai
Air Lalan bagian ulu, Marga Koeboe Toengkal yang mendiami sepanjang daerah aliran sungai
dan anak-anak sungai Air Toengkal bagian ulu, Marga Toengkal Ilir yang mendiami sepanjang
daerah aliran sungai Air Toengkal bagian ilir, Marga Dawas yang mendiami sepanjang daerah
aliran Air Dawas, Marga Soepat yang mendiami daerah aliran sungai Dawas dan anak-anak
sungai Air Dawas bagian ilir, dan Marga Koeboe Oeloe Leko yang mendiami aliran bagian ulu
Batang Hari Leko di selatan Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken.
Keadaan geografis yang demikian membuat Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestrekken, walaupun dekat dengan pusat kuasa, ibukota Palembang menjadi daerah yang
terisolir karena sulitnya perhubungan. Menariknya hampir semua daerah bagian utaranya sangat
sulit berhubungan dengan ibukota Palembang karena sungai-sungai besar beserta anak sungainya
tersebut tidak memiliki pertemuan dengan Sungai Musi. Jadi, daerah yang paling memungkinkan
berhubungan langsung dengan ibukota Palembang Secara administratif, berdasarkan tulisan de
Bruyn (1919: 33-34), wilayah onderafdeeling, seperti halnyaOnderafdeeling Banjoeasin dan
adalah daerah selatan yang dialiri Air Batang Hari Leko yang merupakan daerah Marga Koeboe
Oeloe Leko.
Koeboestrekken dibawah kendali seorang kontroleur yang bertugas mengumpulkan data-
data informasi dan melaksanakan semua perintah atasannya, sebagai pengawas dan tidak ikut
campur tangan dalam institusi-institusi marga yang dikelola pribumi. Di bawah kedudukan
88
Sejarah Perkebunan dan Dampaknya bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken,
Keresidenan Palembang, 1900-1942 (Zusneli Zubir)
kontroleur ada jabatan Demang yang mengepalai wilayah distrik, dimana diOnderafdeeling
Banjoeasin dan Koeboestrekken terdiri dari dua distrik, distrik Talang Betoetoe dan distrik
Bajoeng Lincir. Demang membawahi kekuasaan asisten Demang, di mana di Onderafdeeling
Banjoeasin dan Koeboestrekken ada lima wilayah onderdistrik, yakni onderdistrik Talang
Betoetoe, onderdistrik Pangkalan Balai, onderdistrik Pradjen, onderdistrik Bajoeng Lincir, dan
onderdistrik Dawas. Namun, sekitar tahun 1930, daerah distrik dan onderdistrik dihapuskan,
termasuk jabatan Demang dan Asisten Demang yang kemudian ditarik ke kantor kepala
onderafdeeling dengan bekerja langsung di bawah perintah kontroleur sebagai asisten
pemerintahan.
Pada masa kolonial, menurut Hasan (2007: 41), Onderafdeeling Banjoeasin dan
Koeboestrekken terbagi dalam dua puluh satu Marga. Secara lengkap pada masa kolonial
Belanda, marga-marga yang ada dalam onderafdeeling Banjoeasin dan Koeboestrekken adalah
Marga Pangkalan Balai, Marga Talang Kelapa, Marga Soeak Tapeh, Marga Rimbo Asam, Marga
Rantaoe Bajoer, Marga Babat, Marga Gasing, Marga Tandjoenglaga, Marga Soengai Rengas,
Marga Soengsang, Marga Oepang, Marga Moeara Talang, Marga Koembang, Marga Soengai
Aren, Marga Dawas, Marga Soepat, Marga Lalan, Marga Bayat, Marga Toengkal, Marga Bajoeng
Lincir dan Marga Penoegoean. Batas antar marga-marga ini dibatasi oleh daerah aliran sungai.
Letak Marga yang ditepi sungai dengan segala tapal batas sungainya memperkuat kanyataan
historis, bahwa sungai merupakan urat nadi kehidupan masyarakat di Banyuasin sejak masa
dahulu. Sungai menjadi alat penting dalam transportasi, perdagangan, penyebaran kekuasaan
dan kebudayaan. Hampir semua dusun dalam marga di Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestrekken dibangun di pinggir-pinggir sungai dan muara anak sungai atau dipersimpangan
sungai hal ini dilakukan untuk menghindari isolasi alam yang akan membawa isolasi batin bagi
masyarakatnya.
Gambar 5. Kehadiran masyarakat Barat sebagai pegawai perkebunan Tebenan di Onderafdeeling Banjoeasin
en Koeboestrekken membawa dampak besar bagi masyarakat pribumi, 1938. (Sumber: kitlv.nl)
89
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015
Ada empat fenomena pada masa kolonial sepanjang awal abad ke-20 yang sedikit
mengubah geografis Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken seperti itu, pertama,
penempatan Kontroleur yang semula berkedudukan di Talang Betoetoe kemudian dipindahkan
dan berkedudukan di Bajoeng Lintjir pada tahun 1910. Kedua, yang tidak kalah pentingnya
adalah diciptakannya jalan darat pertama di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken
yakni jalan sepanjang 238 Km yang dibangun sepanjang tahun 1903 sampai dengan 1909
membentang dari ibukota Palembang menuju daerah Soepat terus ke Sekajoe hingga ke Moeara
Roepit. (Cramer, 1917: 7) Jalan darat ini memangkas waktu dan jarak tempuh semua daerah
yang ada di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken. Dua fenomena lagi menurut
tambahan Van Hasselt (1922: 285) adalah fenomena ketiga dan keempat. Ketiga, maraknya
perkebunan besar swasta yang dikelolah penanam modal Eropa di Onderafdeeling Banjoeasin
en Koeboestrekken. Keempat, ditemukannya dan dilakukannya eksploitasi minyak di
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken serta Onderafdeeling Moesi Ilir.
90
Sejarah Perkebunan dan Dampaknya bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken,
Keresidenan Palembang, 1900-1942 (Zusneli Zubir)
Berdasarkan itu, menurut Hasan, dkk (2007: 12) secara etnografi pada masa kolonial,
terdiri dari dua etnis utama yaitu daerah yang disebut Banjoeasin, di mana marga-marga daerah
ini umumnya didiami oleh etnis yang disebut “Melayu Banjoeasin”. Orang-orang etnis “Melayu
Banyuasin”, umumnya berdiam di aliran sungai-sungai di Air Banyuasin, meliputi Marga Talang
Kelapa, Marga Soeak Tapeh, Marga Rimbo Asam, Marga Rantaoe Bajoer, Marga Gasing, Marga
Tandjoenglaga, Marga Soengai Rengas, Marga Soengsang, Marga Oepang, Marga Moeara
Telang, Marga Koembang, dan Marga Soengai Aren. Mereka ini sebetulnya orang Melayu
yang tinggal di air, mendirikan rumah kayu bertiang di antara pohon-pohon nipa sepanjang
sungai. Baragama dan berkebudayaan Islam. Asal usul orang Melayu Banyuasin ini berasal
dari dua gelombang, yakni mereka yang merupakan pasukan Kerajaan Sriwijaya yang lari ke
pedalaman, terutama pada masa akhir kerajaan Sriwijaya dan orang-orang yang langsung datang
dari Malaka. Kemudian etnis kedua adalah masyarakat Kubu yang ditinggal di kawasan marga-
marga yang dianggap sebagai daerah Koeboestrekken yang meliputi daerah utamanya Kubu
Lalan, Kubu Bajat, Kubu Toengkal, Kubu Toengkal Ilir, Kubu Dawas dan Kubu Supat serta
Kubu Batang Hari Leko. Etnis Kubu di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken ini
umumnya sangat dominan di Marga Dawas, Marga Soepat, Marga Lalan, Marga Bajat, Marga
Toengkal, dan Marga Bajoeng Lincir. Selain itu ada marga yang secara teritorial terdiri dari
campuran dari sebagain etnis Melayu dan dan sebagai etnis Kubu di Onderafdeeling Banjoeasin
en Koeboestrekken seperti Marga Babat, Marga Rantaoe Bajoer dan Marga Penoegoean.
91
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015
92
Sejarah Perkebunan dan Dampaknya bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken,
Keresidenan Palembang, 1900-1942 (Zusneli Zubir)
ini masuk perusahaan-perusahaan asing yang didominasi oleh orang-orang Eropa, terutama
Belanda dan Belgia.
Di Keresidenan Palembang, dalam hal ini di Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestrekken, pada tahun 1909 berdiri perkebunan besar karet pertama bernama Rubber
Ondernemingen Melaniadi bawah bendera perusahaan-perusahaan Internasional Belgia, bernama
perusahaan Sociente Financiere des Caoutchoues. Perkebunan Rubber Ondernemingen
Melaniamelakukan penanaman dan usaha karet secara besar-besaran mulai dari ujung timur
Marga Pangkalan Balai sampai ke ujung barat Marga Gasing. Perusahaan perkebunan, Rubber
Ondernemingen Melania di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken ini berpusat di Musi
Landas. Melenia Musi Landas ini merupakan budidaya tanaman karet Melania, sekaligus
memiliki pabrik pengolahan karet yang menghasilkan produk RSS, ribbed smoked sheet, dengan
kapasitas 10 ton karet kering per hari.
Kemudian perusahaan internasional Amerika yang bernama Handelsvereeniging
Amsterdam (HVA)pada tahun 1910 membuka perkebunan karet dan kepala sawit di
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken dengan nama Oud Wassenaar, N.V. Oliepalmen
en rubber Mij. Perusahaan Perkebunan Karet dan kepala sawit Oud Wassenar membentang
luas di daerah-daerah talang mulai bagian utara Batang Hari Leko, Marga Rantau Bayur, ke
utaranya Marga Suak Tape, Marga Betung dan daerah Tebenan. Selain, menanam dan menguasai
karet mereka juga memiliki pabrik karet besar di Tebenan yang merupakan unit usaha perkebunan
milik Belanda di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken yang bergerak di bidang
perkebunan karet, Tebenan saat ini berlokasi di Desa Suka Mulya Kecamatan Betung Kabupaten
Banyuasin, Sumatera Selatan. Unit usaha tersebut dikemudian hari setelah Indonesia merdeka
dinasionalisasi kedalam perusahaan milik negara PT. Perkebunan Nusantara VII, PTPN VII,
yang berkantor pusat di Bandar Lampung.A.J.G Stevels ditunjuk sebagai sebagai administratur
perkebunan karet Oud Wassenaar yang berpusat di Tebenan.Oud Wessenaar Tebenan ini selain
memiliki pabrik pengolahan karet yang menghasilkan produk SIR 20 dengan kapasitas 40 ton
karet kering per hari, juga merupakan unit budidaya tanaman karet pada waktu itu.
Selain usaha karet, perusahaan perkebunan Oud Wassenar di Onderafdeeling Banjoeasin
en Koeboestrekken juga melakukan usaha perkebunan kepala sawit yang berpusat di Betung, di
mana selain memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 60 ton TBS per jam
juga memiliki usaha kebun budidaya kelapa sawit. Selain Betung, perkebunan kelapa sawit
Oud Wassenaar di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken ini juga memiliki pabrik di
daerah Talang Sawit, di mana kedua pabrik ini didukung oleh kebun budidaya dan usaha tanaman
Betung Krawo dan Bentayan yang dari sana sawit kemudian produksinya dikirim untuk diolah
di Betung dan Talang Sawit.
Menurut Zed (2002: 294-312), harga karet yang membumbung pada tahun 1910 dan
1911 menambah semangat para pengusaha perkebunan untuk mengembangkan usahanya di
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken. Walaupun demikian, pada tahun 1920-1921
terjadi depresi perekonomian dunia yang membuat harga karet merosot. Namun pada tahun
1922 dan 1926 terjadi ledakan harga lagi karena kurangnya produksi karet dunia sementara
industri mobil di Amerika meningkatkan jumlah permintaan karet.
93
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015
Menurut Purwanto (2015: 12), tanah yang merupakan salah satu alat produksi pokok
telah mengalami liberalisasi, sehingga terbukalah kesempatan seluas-luasnya bagi swasta untuk
membuka perusahaan perkebunan. Monopoli tanah oleh perusahaan perkebunan berlangsung
terus menerus. Maka, seperti halnya di Sumatera Timur, keberhasilan usaha perkebunan di
Keresidenan Palembang, termasuk Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken, sebenarnya
tidak bisa dilepaskan juga dari keberhasilan perusahaan-perusahaan Belanda dan Eropa Asing
lainnya dalam melakukan negosiasi dan mempengaruhi para penguasa lokal, terutama di daerah
uluan yang otonom dalam bentuk pemerintahan marga yang dipegang para pasirah. Melalui
pemerintah kolonial Belanda, perusahaan-perusahaan Belanda dan Eropa asing ini menjalin
perjanjian dan menandatangani kontrak jangka panjang untuk menyediakan lahan perkebunan
yang luas.
Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini, pada dasarnya menyebabkan munculnya
dualisme ekonomi di kalangan masyarakat daerah Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestrekken, tanah marga untuk kesejahteraan masyarakatnya banyak yang dikuasai oleh
perusahaan perkebunan yang mempunyai modal kapital yang sangat besar. Namun kemunduran
kesejahteraan di kalangan masyarakat bawah ini, menimbulkan kesejahteraan di kalangan atas
daerah uluan ini, para penguasa formal tradisional seperti Pesirah, Kerio, Pembarap dan lain-
lain dapat memanfaatkan situasi ini dengan memperkaya diri. Perusahaan-perusahaan besar
asing dalam memiliki tanah dengan cara berkolusi pada para penguasa formal tradisional, setelah
mendapat tanah perusahaan besar ini juga memberi prioritas kepada mereka dalam memiliki
tanah-tanah luas untuk ditanami karet secara luas.
94
Sejarah Perkebunan dan Dampaknya bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken,
Keresidenan Palembang, 1900-1942 (Zusneli Zubir)
ini justru menciptakan apa yang disebut dengan munculnya kapitalis ekonomi di Keresidenan
Palembang, dalam hal ini termasuk di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken.
Onderneming, perkebunan besar di Keresidenan Palembang, hampir 60 persen
perusahaannya dimiliki oleh orang Belanda, 34 persen oleh orang Inggris, dan sisanya 6 persen
diusahakan oleh orang Jerman, Swiss dan Belgia. Menurut Peeters (1997: 53), perusahaan-
perusahaan tersebut umumnya juga terdapat di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken.
menariknya, transaksi produksi karet rakyat di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken
langsung berhadapan dengan para touke getah, yang kemudian setelah terkumpul banyak
menjualnya pada para perusahaan importir karet seperti Borsumij, NV Palembang Rubber, atau
nv Hok Tong di Kota Palembang. Dari sini terlihat bahwa karet rakyat dan onderneming karet
di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken umumnya jarang bersentuhan dalam hal
produksi dan pengolaan karet masing-masing
95
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015
96
Sejarah Perkebunan dan Dampaknya bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken,
Keresidenan Palembang, 1900-1942 (Zusneli Zubir)
Gambar 10. Administratur Perusahaan Perkebunan Tebenan, A.J.G.Stevels, memeriksa pembangunan dam
untuk irigasi sekaligus jembatan dan jalan yang dapat diperguna penduduk lokal pedusunan di aliran sungai
Batanghari Leko, di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken, 1928. (Sumber: kitlv.nl)
Pengenalan mereka pada dunia perkebunan ini membawa pengaruh pada masyarakat
Kubu di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken yang tampak sangat kuat dalam
modernisai masyarakat kubu akibat adanya komersialisasi ekonominya. Dalam tulisan,
Keereweer (1940: 357-396),kemudian mengilustrasikan dengan sangat menarik bahwa akibat
adanya kesempatan dan kapitalisasi ekonomi dari pengaruh perkebunan besar di Onderafdeeling
Banjoeasin en Koeboestrekken, orang-orang Kubu yang bersentuhan langsung telah mengadopsi
kemajuan mereka dalam hal gaya hidup, misalnya mereka sudah mulai memakai jas hitam,
bersarung rapi dan memakai sepatu, kemudian dalam selera makanan mereka telah mengadopsi
97
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015
makan nasi dengan lauk dari kaleng salmon dan minum limun. Yang tidak kalah penting dari
hadirnya perkebunan besar di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken ini bagi masyarakat
Kubu adalah mulai terciptanya asimilasi bertahap orang Kubu dengan penduduk Melayu akibat
adanya perubahan orientasi pemikirannya karena mulai terbukanya daerah-daerah mereka dari
pengaruh dunia luar. Masyarakat Kubu yang ada di Marga-marga Bajat, Toengkal Oeloe, Dawas
dan Batang Hari Leko di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken bagian selatan, termasuk
di Marga Kubu Lalan di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken bagian utara perlahan
melakukan berbagai perubahan hidup sejalan dengan mulai masuknya mereka dalam agama
Islam. Pada akhirnya, lewat kehadiran perkebunan besar ini, orang-orang Kubu di
Onderaf deeling Banjoeasin en Koeboestrekken secara perlahan-lahan mampu
mengindentifikasikan diri sebagai orang Melayu setelah mengawini penduduk Melayu, baik
yang ada di marganya maupun di marga-marga lain di daerah Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestrekken tersebut.
D. PENUTUP
a. Kesimpulan
Bentang alam Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken, walaupun dekat dengan
pusat kuasa, ibukota Palembang menjadi daerah yang terisolir karena sulitnya perhubungan.
Hampir semua wilayah di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken adalah daerah dataran
rendah yang dihubungkan oleh sungai-sungai memanjang dan bercabang dari ilirnya di muara
laut sampai masuk ke daerah uluan di pedalaman Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken.
Menariknya hampir semua daerah bagian utaranya sangat sulit berhubungan dengan ibukota
Palembang karena sungai-sungai besar beserta anak sungainya tersebut tidak memiliki pertemuan
dengan Sungai Musi. Secara kependudukan Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken
terdiri dari dua wilayah kultural yakni suku Melayu Banjoeasin dan masyarakat Kubu yang
dianggap masih sangat “tradisional” berada pada wilayah utara atau di bagian ulu anak-anak
sungai aliran sungai Air Banjoeasin.
Keberadaan perkebunan di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken masuk
menjelang pertengahan abad ke-20. Ada dua perusahaan besar yang melakukan investasi besar-
besaran perkebunan besar karet yakni, pertama, Rubber Ondernemingen Melania pada tahun
1909 di bawah bendera perusahaan-perusahaan Internasional Belgia, bernama perusahaan
Sociente Financiere des Caoutchoues. Perkebunan Rubber Ondernemingen Melaniamelakukan
penanaman dan usaha karet secara besar-besaran mulai dari ujung timur Marga Pangkalan
Balai sampai ke ujung barat Marga Gasing. Perusahaan perkebunan, Rubber Ondernemingen
Melania di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken ini berpusat di Musi Landas. Kedua,
perkebunan Oud Wassenaar, N.V. Oliepalmen en rubber Mij. Perusahaan Perkebunan Karet
dan kepala sawit Oud Wassenar membentang luas di daerah-daerah talang mulai bagian utara
Batang Hari Leko, Marga Rantau Bayur, ke utaranya Marga Suak Tape, Marga Betung dan
daerah Tebenan.
Hubungan pertalian perkebunan dan masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin en
Koeboestrekken terasa dalam beberapa hal kemudian sebagai dampak turunan dari kehadiran
98
Sejarah Perkebunan dan Dampaknya bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken,
Keresidenan Palembang, 1900-1942 (Zusneli Zubir)
b. Saran
Berdasarkan kesimpulan dalam tulisan ini, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, perlu adanya penelitian terus menerus mengenai sjarah ekonomi, sosial budaya,
terutama yang berhubungan dengan perkebunan dalam mengungkap dampak positif
kehadirannya, ditengah bermunculannya dampak negatai seperti sekarang ini, terutama dalam
konflik lahan. Hal ini penting sebagai balance suatu kebijakan ekonomi, terutama di Sumatera
Selatan.
Kedua, perkebunan perlu terus diingatkan, seperti halnya dalam perjalanan sejarahnya,
untuk selalu membuat kebijakan yang pro rakyat dengan tatanan pengembangan ekonomi yang
luas. Ketiga, masyarakat perlu diingatkan untuk selalu proaktif mengambil setiap peluang dari
adanya kesempatan ekonomi baru yang ada disekitarnya.
99
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 1 No. 1, Juni 2015
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Pemerintah Kabupaten Banyuasin. 2008. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
Daerah Kabupaten Banyuasin Tahun 2006–2025. Banyuasin: Pemkab Banyuasin.
Bappeda Pemerintah Kabupaten Banyuasin. 2014. Kabupaten Banyuasin dalam Angka Tahun 2014.
Banyuasin: Pemkab Banyuasin.
Clemens, Adrian H. P. 1988. De bevolkingsrubbercultuur in Djambi en Palembang tijdenshet
Interbellum. Scriptie Universiteit van Amsterdam.
Cramer, H. 1917. Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra. Weltreveden: Zuid-Sumatra Landbouw- en
Nijverheids Vereeniging.
Day, Clive. 2009. The Policy and Administration of the Dutch in Java: 1904. London: The Macmillan
Company. de Bruyn, Kops G. .F. 1919. Overzicht van Zuid-Sumatra. Amsterdam: Druk
van J. H. De Bussy.
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Hasan, Hambali, dkk. 2007. Sejarah Rakyat dan Pemerintahan Kabupaten Banyuasin. Pangkalan Balai:
Pemerintah Kabupaten Banyuasin.
Hasan, Hambali, dkk. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah
Sumatera Selatan. Palembang: Depdikbud Propinsi Sumatera Selatan, 1991/1992.
Hoedt, Th. G.E. 1929. Indische Bergcultuur-ondernemingen in Zuid Sumatra. Wegeningen: H. Veenman
& Zonen.
Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia : Kajian Sosial-Ekonomi.
Yogyakarta : Aditya Media
Keereweer, H. H. 1940. De Koeboes in de Onder-afdeeling Moesi Ilir en Koeboestrekken. Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. 99 (3de): 357-396.
Lindayanti. 1994. Perkebunan Karet Rakyat Jambi 1920-1928: Aspek Sosial Ekonomi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Memorie van Overgave Controlir C. Van de Velde tanggal 3 Desember 1918 No. 13.
Oktasari, Indah Ningtyas dan Agus Trilaksana. 2014. Perkebunan Kopi Rakyat di Jawa Timur. Jurnal
Avatara. 2 (1) : 122-129.
O’Malley, William Joseph. 1988. Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar. in Anne Booth, William J.O’Malley,
dan Anna Wiedemann, Eds. Sejarah Ekonomi Indonesia. Terj. Jakarta: Penerbit LP3ES.
Peeters, Jeroen. 1997. Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang1821-1942. Jakarta:
INIS.
Pranoto, Suhartono W. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Purwanto, Bambang. Menelusuri Akar Ketimpangan dan Kesempatan Baru: Catatan tentang Sejarah
Perkebunan Indonesia. dalam website sejarah.fib.ugm.ac.id, diunduh 8 Agustus 2015.
Purwanto, Bambang. 1993. From Dusun To The Market;Native Rubber Cultivation In Southern Sumatra,
1890-1940. Ph. D. Dissertation. School Of Oriental And African Studies, Oxford
University.
100
Sejarah Perkebunan dan Dampaknya bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken,
Keresidenan Palembang, 1900-1942 (Zusneli Zubir)
101