Kantianisme
Kantianisme adalah falsafah Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman yang dilahirkan di Königsberg, Prussia (kini Kaliningrad, Rusia).[1] Kantianism atau Kantian juga digunakan untuk menggambarkan kedudukan kontemporari dalam falsafah fikiran, epistemologi, dan etika.[1] Kantianisme adalah pahaman di mana setiap kita mengambil keputusan, kita harus membayangkan bagaimana kita adalah pihak yang dirugikan.[1] Pahaman ini menjelaskan bahawa bila dilakukan sesuatu tindakan, maka tindakan itu dilakukan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain.[1]
Pemikiran-pemikiran Kant yang terpenting di antaranya ialah pemikirannya akal murni.[2] Menurutnya bahwa dunia luar itu kita ketahui hanya dengan sensasi, dan jiwa bukanlah sekadar tabula rasa, tetapi jiwa merupakan alat yang positif, memilih dan merekonstruksikan hasil sensasi yang masuk itu dikerjakan oleh jiwa dengan menggunakan kategori yakni mengklasifikasikan dan mempersepsikannya ke dalam ide.[2] Sensasi-sensasi masuk melalui alat indra.[2] Ada lima alat indra. Melalui indra itu kemudian masuk ke otak, lalu objek itu diperhatikan, kemudian disadari.[2] Sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-saluran tertentu yaitu hukum-hukum. Karena hukum-hukum itulah maka tidak semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan itu telah diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan.[2] Tujuan inilah hukum-hukum itu.[2]
Jam hidup selalu berdetak, namun kita tidak mendengarkan.[2] Akan tetapi detak jantung yang sama, bahkan lebih rendah, akan didengar bila kita memang bertujuan ingin mendengarnya.[2] Ada stimulus dua dan tiga; anda memberi respons lima bila Anda bertujuan menjumlahkannya, enam bila Anda bertujuan mengalikannya.[2] Jadi, hubungan-hubungan sensasi itu tidak terbentuk sekadar karena ada tiga.[2] Inilah hukum itu.[2] Jadi, tujuan itulah yang memilih dan mengarahkan penggunaan sensasi dan pemikiran, tujuan jiwa.[2]
Menurutnya, jiwa (mind) yang memberi arti terhadap stimulus itu mengadakan seleksi dengan menggunakan dua cara yang amat sederhana.[2] Pesan-pesan (dari stimulus) disusun sesuai dengan ruang (tempat) datangnya sensasi, dan waktu terjadinya sensasi itu,mind itulah yang mengerjakan itu, yang menetapkan sensasi dalam ruang dan waktu, menyifatinya dengan ini dan itu, sekarang atau nanti.[2] Ruang dan waktu bukanlah sesuatu yang dipahami.[2] Ruang dan waktu adalah alat persepsi.[2] Oleh karena itu, ruang dan waktu itu opriori.[2]
referensi
[sunting | sunting sumber]