Hukum dagang
Hukum dagang adalah ilmu yang mengatur hubungan antara suatu pihak dengan pihak lain yang berkaitan dengan urusan-urusan dagang.[1] Definisi lain menyatakan bahwa hukum dagang merupakan serangkaian norma yang timbul khusus dalam dunia usaha atau kegiatan perusahaan.[2]
Hukum dagang masuk dalam kategori hukum perdata, tepatnya hukum perikatan. Alasannya karena hukum dagang berkaitan dengan tindakan manusia dalam urusan dagang. Oleh karena itu hukum dagang tidak masuk dalam hukum kebendaan. Kemudian hukum dagang juga berkaitan dengan hak dan kewajiban antarpihak yang bersangkutan dalam urusan dagang. Hukum perikatan mengatur hal ini. Itulah sebabnya hukum dagang dikategorikan ke dalam hukum perikatan. Hukum perikatan adalah hukum yang secara spesifik mengatur perikatan-perikatan dalam urusan dagang.[1]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Perkembangan hukum dagang di dunia telah berlangsung pada tahun 1000 hingga 1500 pada abad pertengahan di Eropa. Kala itu telah lahir kota-kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, seperti Genoa, Venesia, Marseille, Florence hingga Barcelona. Meski telah diberlakukan Hukum Romawi (Corpus Iuris Civilis), namun berbagai masalah terkait perdagangan belum bisa diselesaikan. Maka dari itu dibentuklah Hukum Pedagang (Koopmansrecht). Saat itu hukum dagang masih bersifat kedaerahan.[3][4]
Kodifikasi hukum dagang pertama dibentuk di Prancis dengan nama Ordonance de Commerce pada masa pemerintahan Raja Louis XIV pada 1673. Dalam hukum itu terdapat segala hal berkaitan dengan dunia perdagangan, mulai dari pedagang, bank, badan usaha, surat berharga hingga pernyataan pailit.[3][4]
Pada 1681 lahirlah kodifikasi hukum dagang kedua dengan nama Ordonance de la Marine. Dalam kodifikasi ini termuat segala hal berkaitan dengan dagang dan kelautan, misalnya tentang perdagangan di laut.[3][4]
Kedua hukum itu kemudian menjadi acuan dari lahirnya Code de Commerce, hukum dagang baru yang mulai berlaku pada 1807 di Prancis. Code de Commerce membahas tentang berbagai peraturan hukum yang timbul dalam bidang perdagangan sejak abad pertengahan.[3][4]
Code de Commerce kemudian menjadi cikal bakal hukum dagang di Belanda dan Indonesia. Sebagai negara bekas jajahan Prancis, Belanda memberlakukan Wetboek van Koophandel yang diadaptasi dari Code de Commerce. Meski telah dipublikasikan sejak 1847, penerapan Wetboek van Koophandel baru berlangsung sejak 1 Mei 1848. Lalu Belanda menjajah Indonesia dan turut mempengaruhi perkembangan hukum dagang di Indonesia. Akhirnya lahirlah Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang diadaptasi dari Wetboek van Kopphandel yang kemudian menjadi salah satu sumber dari hukum dagang Indonesia.[3][4]
Sumber hukum dagang di Indonesia
[sunting | sunting sumber]Hukum dagang di Indonesia tidak tercipta begitu saja, melainkan berdasarkan pada sumber. Terdapat tiga jenis sumber yang menjadi rujukan dari hukum dagang, yakni hukum tertulis yang sudah dikodifikasikan, hukum tertulis yang belum dikodifikasikan dan hukum kebiasaan.[2]
Pada hukum tertulis yang sudah dikodifikasikan, hal yang menjadi acuan adalah KUHD yang mempunyai 2 kitab dan 23 bab. Dalam KUHD dibahas tentang dagang umumnya sebanyak 10 bab serta hak-hak dan kewajiban sebanyak 13 bab. Selain KUHD, sumber lainnya adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau juga dikenal dengan istilah Burgerlijk Wetboek (BW). Salah satu bab pada BW membahas tentang perikatan.[2]
Pada hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, ada 4 Undang-undang yang menjadi acuan. Keempat UU itu adalah Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-undang Nomor 32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditas dan Undang-undang Nomer 8 tahun 1997 tentang dokumen perusahaan. Adapun pada hukum kebiasaan, hal yang menjadi sumber adalah Pasal 1339 KUH Perdata dan Pasal 1347 KUH Perdata.[2]
Subjek hukum
[sunting | sunting sumber]Pendukung hak dan kewajiban hukum yang dimiliki oleh manusia sejak lahir hingga meninggal dunia dan juga dimiliki oleh pribadi hukum yang secara dengan sengaja diciptakan oleh hukum sebagai subjek hukum.[4] Definisi lain menjelaskan bahwa subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban sehingga memiliki wewenang hukum (rechtbevoegheid).[5]
Dalam hukum dagang, hal yang menjadi subjek hukum adalah badan usaha. Istilah lain dari badan usaha adalah perusahaan, baik perseorangan ataupun telah memiliki badan hukum. Ada 8 jenis badan usaha, yakni:[4]
- Perusahaan Dagang/Usaha Dagang (PD/UD)
- Firma (fa)
- Commanditaire Vennotschap (CV)
- Perseroan Terbatas
- Koperasi
- Perseroan
- Perum
- Holding Company/Grup/Concern
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Halim, A. Ridwan (1985). Hukum Dagang dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia Indonesia.
- ^ a b c d Suwardi (2015). Hukum Dagang Suatu Pengantar. Yogyakarta: Deepublish. ISBN 9786024011017.
- ^ a b c d e Kansil (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 302.
- ^ a b c d e f g Permata, Cahaya (2016). Buku Ajar Hukum Datang. Medan: UIN Sumatera Utara. hlm. 10–12.
- ^ Algra (1983). Kamus Istilah Hukum. Bandung: Bina Cipta. hlm. 453.