Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Indonesia)

peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa
(Dialihkan dari Perpu)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (atau disingkat Perpu atau Perppu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.[1] Sampai dengan tahun 2017, sudah terdapat 214 Perppu yang pernah dikeluarkan oleh Presiden.[2]

Dasar Hukum

sunting

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

"Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang."

Ihwal tersebut juga dipertegas melalui penjelasan Pasal 22 dalam naskah asli UUD 1945 yang berbunyi:

"Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat."

Sementara UUD 1945 sudah mengalami empat kali amendemen, Pasal 22 yang mengatur Perppu ini tidak pernah mengalami perubahan atau Pergantian.[2]

Sejarah

sunting

Konsep mengenai Perppu pertama kali ditemukan dalam Rantjangan Permulaan dari Undang-Undang Dasar Negeri Indonesia yang disusun oleh Soepomo, Soebardjo, dan Maramis pada 4 April 1942. Dalam Pasal 5 disebut, dalam keadaan berbahaya, Kepala Negeri dapat membuat "aturan-aturan Pemerintah sebagai gantinya undang-undang".[2]

Istilah "Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang" sendiri pertama kali disebut dalam Draf UUD yang dicantumkan dalam Rapat Panitia Hukum Dasar tanggal 13 Agustus 1945, yang kemudian dibahas dan disahkan dalam Sidang Besar PPKI pada 18 Agustus 1945.

Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara 1950, istilah Perpu diganti menjadi Undang-Undang Darurat. Dalam Konstitusi RIS, UU Darurat diatur dalam Pasal 139 dan Pasal 140, sementara dalam UUD Sementara 1950, UU Darurat diatur dalam Pasal 96 dan Pasal 97.

Dengan kembalinya konstitusi negara menjadi UUD 1945 pada 1959, istilah UU Darurat dikembalikan menjadi Perpu, dengan peraturan perundang-undangan yang sama seperti pada awal berlakunya UUD 1945. Namun, berdasarkan Surat Presiden kepada Ketua DPR-GR tanggal 20 Agustus 1959 Nomor 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan Negara, Perpu ditempatkan dalam hierarki yang berbeda dengan Undang-Undang, yaitu di bawah Peraturan Pemerintah.[3]

Hierarki Perpu dikembalikan seperti UUD 1945 setelah MPR Sementara mengeluarkan TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundangan RI. Dalam TAP MPRS tersebut, Perpu diletakkan dalam hierarki yang setara dengan Undang-Undang. Hierarki tersebut sempat berubah saat Tap MPR Nomor III/MPR/2000 mengesahkan hierarki Perpu tepat berada di bawah Undang-Undang, namun dikembalikan lagi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Undang-Undang yang berlaku mengenai tata hierarki undang-undang di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diamendemen oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) huruf c, Perpu memiliki hierarki yang setara dengan Undang-Undang.

Mekanisme Perppu

sunting

Perppu memiliki tingkat kekuatan hukum[4] dan materi muatan[5] yang sama dengan Undang-Undang.

Perppu ditandatangani oleh Presiden. Setelah diundangkan, Perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut, dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu Menjadi Undang-Undang yang isinya hanya berisi dua pasal:

  1. Pasal 1 menetapkan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang dengan isi Perppu tersebut ditetapkan menjadi Lampiran Undang-Undang penetapan tersebut;
  2. Pasal 2 adalah pasal penutup ("Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan").

Pembahasan RUU tentang penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. DPR hanya dapat menerima atau menolak Perppu.

Jika Perppu ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, dan Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu tersebut, yang dapat pula mengatur segala akibat dari penolakan tersebut.

Referensi

sunting
  1. ^ Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. ^ a b c Rahmi, Novrieza (2 September 2017), Sejarah Munculnya Istilah Perppu dan ‘Cermin’ Subjektivitas Presiden., Hukumonline.com 
  3. ^ Rahmi, Novrieza (4 September 2017). "Memaknai Irisan Perppu dan UU Darurat". 
  4. ^ Pasal 7 ayat (1) huruf c dan Pasal 7 ayat (2) id:s:Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
  5. ^ Pasal 11 id:s:Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.