Peristiwa 17 Oktober

Salah satu peristiwa

Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa di mana KSAD (saat itu dijabat A.H. Nasution) dan tujuh panglima daerah meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan. Bahkan Kemal Idris, salah satu dari tujuh panglima, pernah mengarahkan moncong meriam ke Istana dengan dalih melindungi Presiden Soekarno dari demonstrasi mahasiswa.[1]

Peristiwa 17 Oktober 1952
Presiden Soekarno (tengah, mengenakan pakaian putih) berbicara kepada pengunjuk rasa di depan Istana Merdeka selama peristiwa tersebut
Tanggal17 Oktober 1952
LokasiJakarta, Indonesia
Sebab
Tujuan

Latar belakang

sunting

Pemicu dari Peristiwa 17 Oktober ini adalah pemilu yang tertunda-tunda dianggap sebagai taktik DPRS (yang didukung Soekarno) untuk mempertahankan keadaan yang makin parah. Konflik internal militer dan partai-partai menajam, korupsi meluas, dan keadaan keamanan memburuk. Pada 13 Juli 1952, Kolonel Bambang Supeno, orang dekat Soekarno yang sering keluar-masuk Istana, mengirim surat ke Perdana Menteri Wilopo, Presiden, dan DPRS, menyatakan tak lagi memercayai pimpinan Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat (yang saat itu dipimpin Nasution). Bambang Supeno melobi Soekarno sampai akhirnya Bambang Sugeng menggantikan Nasution sebagai KSAD dan Nasution dipecat. Tujuh perwira daerah ada yang ditahan dan digeser kedudukannya.[1]

Kronologi peristiwa

sunting

Peristiwa ini bersumber pada kericuhan yang terjadi di lingkungan Angkatan Darat (AD). Kolonel Bambang Supeno tidak menyetujui kebijakan Kolonel A.H. Nasution selaku KSAD. Ia mengajukan surat kepada Menteri Pertahanan dan Presiden dengan tembusan kepada Parlemen berisi hal tersebut dan meminta agar Kolonel A.H. Nasution diganti. Manai Sophiaan selaku anggota Parlemen dari PNI mengajukan mosi agar pemerintah membentuk panitia khusus untuk mempelajari masalah tersebut dan mengajukan usul pemecahannya. Hal demikian dirasakan oleh pimpinan AD sebagai usaha campur tangan Parlemen dan kaum politisi dalam lingkungan internal AD.[2] Pimpinan AD mendesak kepada Presiden agar membubarkan Parlemen. Desakan tersebut juga dilakukan oleh rakyat dengan mengadakan demonstrasi ke gedung Parlemen (waktu itu masih di Lapangan Banteng Timur) dan Istana Merdeka pada tanggal 17 Oktober 1952.

Demonstrasi ini direncanakan Markas Besar Angkatan Darat atas inisiatif Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman. Pelaksanaannya diorganisasi oleh Kolonel dr. Mustopo Kepala Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, dan Letnan Kolonel Kemal Idris, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar Ibu kota dengan menggunakan kendaraan truk militer. Pada waktu itu, Pasukan Tank muncul di Lapangan Merdeka, dan beberapa pucuk meriam diarahkan ke Istana Presiden.

Presiden menolak tuntutan pembubaran Parlemen dengan alasan ia tidak mau menjadi diktator, dan setuju untuk mempercepat pemilu.[3] Kolonel A.H. Nasution mengajukan permohonan mengundurkan diri dan diikuti oleh Mayjen T.B. Simatupang. Jabatan KSAD digantikan Kolonel Bambang Sugeng.[butuh rujukan]

Peristiwa 17 Oktober 1952 ini diupayakan diselesaikan melalui pertemuan Rapat Collegial (Raco) tanggal 25 Februari 1955 yang melahirkan kesepakatan Piagam Keutuhan Angkatan Darat yang ditandatangani oleh 29 perwira senior Angkatan Darat.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b "Wawancara Jenderal (Purn) AH Nasution: "Kalau Tak Ada Keadilan Sosial, Siapa Pun Bisa Membuat Aksi". Opini Proklamasi, 2 Oktober 1996". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-01-11. Diakses tanggal 2008-05-06. 
  2. ^ a b "Kalender Peristiwa Sejarah TNI tahun 1945-sekarang". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2008-05-06. 
  3. ^ "Peristiwa 17 Oktober 1952 - Ensiklopedia". esi.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2024-10-17. 

Pranala luar

sunting