Eutrofikasi atau peluaharaan adalah proses di mana seluruh badan air, atau sebagian darinya, secara bertahap mengalami peningkatan kadar mineral dan nutrien, terutama nitrogen dan fosforus. Eutrofikasi juga didefinisikan sebagai "peningkatan produktivitas fitoplankton yang disebabkan oleh meningkatnya unsur nutrien".[1]:459 Badan air dengan tingkat nutrien yang sangat rendah disebut sebagai oligotrofik sedangkan yang memiliki tingkat nutrien sedang disebut mesotrofik. Eutrofikasi tingkat lanjut juga dapat disebut sebagai kondisi distrofik dan hipertrofik.[2] Eutrofikasi dapat mempengaruhi sistem air tawar ataupun air asin. Dalam ekosistem air tawar, hal ini hampir selalu disebabkan oleh melimpahnya fosforus.[3] Sedangkan di air asin, kontributor terbesarnya cenderung ke nitrogen, atau campuran nitrogen dan fosforus. Hal ini bergantung pada lokasi dan berbagai faktor lain.[4][5]

Eutrofikasi dapat menyebabkan mekarnya alga seperti yang terjadi di sungai dekat Chengdu, Sichuan, Cina. Yang seperti ini kerap kali merupakan pertumbuhan alga yang membahayakan.

Ketika terjadi secara alami, eutrofikasi merupakan proses yang sangat lambat di mana nutrien, terutama senyawa fosforus dan bahan organik, terakumulasi dalam badan air.[6] Nutrien ini berasal dari degradasi dan larutan mineral dalam batuan dan oleh efek lumut kerak, lumut daun, dan jamur yang secara aktif mengais nutrien dari batuan.[7] Eutrofikasi antropogenik atau "eutrofikasi kultural" sering kali merupakan proses yang jauh lebih cepat di mana nutrien ditambahkan ke badan air dari berbagai macam sumber pencemar termasuk air selokan yang tidak diolah atau hanya diolah sebagian, air limbah industri, dan pupuk dari praktik pertanian. Polusi nutrien, suatu bentuk pencemaran air, adalah penyebab utama eutrofikasi air permukaan, di mana kelebihan nutrien, biasanya nitrogen atau fosfor, merangsang pertumbuhan alga dan tanaman air.

Efek umum yang tampak dari eutrofikasi adalah pertumbuhan alga. Hal ini antara dapat menjadi pengganggu bagi mereka yang ingin menggunakan badan air tersebut, atau dapat menjadi pertumbuhan ganggang yang berbahaya yang dapat menyebabkan degradasi ekologi yang substansial pada badan air.[8] Proses ini dapat mengakibatkan penipisan oksigen pada badan air setelah degradasi bakteri dari alga.[9]

Beberapa pendekatan untuk mencegah dan membalikkan eutrofikasi meliputi: meminimalkan polusi sumber titik dari air limbah dan selokan, serta meminimalkan polusi nutrien dari pertanian dan sumber polusi non-titik lainnya. Mengembalikan populasi kerang di muara, budidaya rumput laut, dan teknik geo-engineering di danau-danau juga digunakan, beberapa di antaranya masih dalam tahap percobaan. Penting untuk dicatat bahwa istilah eutrofikasi digunakan secara luas oleh para ilmuwan dan pembuat kebijakan publik, sehingga menimbulkan banyak sekali definisi.

Akibat eutrofikasi

sunting

Kondisi eutrofik sangat memungkinkan alga, tumbuhan air berukuran mikro, untuk tumbuh berkembang biak dengan pesat (blooming) akibat ketersediaan fosfat yang berlebihan serta kondisi lain yang memadai. Hal ini bisa dikenali dengan warna air yang menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan kekeruhannya yang menjadi semakin meningkat. Banyaknya eceng gondok yang bertebaran di rawa-rawa dan danau-danau juga disebabkan fosfat yang sangat berlebihan ini. Akibatnya, kualitas air di banyak ekosistem air menjadi sangat menurun. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, bahkan sampai batas nol, menyebabkan makhluk hidup air seperti ikan dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga akhirnya mati. Hilangnya ikan dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem air. Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue-green algae) diketahui mengandung toksin sehingga membawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan. Algal bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan pariwisata sehingga dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk mengatasinya.

Sejarah pengetahuan tentang eutrofikasi

sunting

Masalah eutrofikasi baru disadari pada dekade awal abad ke-20 saat alga banyak tumbuh di danau-danau dan ekosistem air lainnya. Problem ini disinyalir akibat langsung dari aliran limbah domestik. Hingga saat itu belum diketahui secara pasti unsur kimiawi yang sesungguhnya berperan besar dalam munculnya eutrofikasi ini.

Melalui penelitian jangka panjang pada berbagai danau kecil dan besar, para peneliti akhirnya bisa menyimpulkan bahwa fosfor merupakan elemen kunci di antara nutrient utama tanaman (karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P)) di dalam proses eutrofikasi.

Sebuah percobaan berskala besar yang pernah dilakukan pada tahun 1968 terhadap Danau Erie (ELA Lake 226) di Amerika Serikat membuktikan bahwa bagian danau yang hanya ditambahkan karbon dan nitrogen tidak mengalami fenomena algal bloom selama delapan tahun pengamatan. Sebaliknya, bagian danau lainnya yang ditambahkan fosfor (dalam bentuk senyawa fosfat)-di samping karbon dan nitrogen-terbukti nyata mengalami alga bloom.

Menyadari bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka perhatian para saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup semakin meningkat terhadap permasalahan ini. Ada kelompok yang condong memilih cara-cara penanggulangan melalui pengolahan limbah cair yang mengandung fosfat, seperti detergen dan limbah manusia, ada juga kelompok yang secara tegas melarang keberadaan fosfor dalam detergen. Program miliaran dollar pernah dicanangkan lewat institusi St Lawrence Great Lakes Basin di AS untuk mengontrol keberadaan fosfat dalam ekosistem air. Sebagai implementasinya, lahirlah peraturan perundangan yang mengatur pembatasan penggunaan fosfat, pembuangan limbah fosfat dari rumah tangga dan permukiman. Upaya untuk menyubstitusi pemakaian fosfat dalam deterjen juga menjadi bagian dari program tersebut.

Asal usul Fosfat

sunting

Mennurut Morse et al,[10] 10 persen berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), 7 persen dari industri, 11 persen dari detergen, 17 persen dari pupuk pertanian, 23 persen dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 persen, dari limbah peternakan. Paparan statistik di atas (meskipun tidak persis mewakili data di Tanah Air) menunjukkan bagaimana berbagai aktivitas masyarakat pada era modern dan semakin besarnya jumlah populasi manusia menjadi penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke lingkungan air.

Mengacu pada buku Phosphorus Chemistry in Everyday Living, manusia memang berperan besar sebagai penyumbang limbah fosfat. Secara fisiologis, jumlah fosfat yang dikeluarkan manusia sebanding dengan jumlah yang dikonsumsinya. Tahun 1987 saja rata-rata orang di AS mengonsumsi dan mengekskresi sejumlah 1,4 lb (pounds) fosfat per tahun. Bersandar pada data ini, dengan sekitar 290 juta jiwa populasi penduduk AS saat ini, maka sekitar 406 juta pounds fosfor dikeluarkan manusia AS setiap tahunnya.

Lantas, berapa jumlah fosfor yang dilepaskan oleh penduduk bumi sekarang yang sudah mencapai sekitar 6,3 miliar jiwa? Jika dihitung, akan menghasilkan sebuah angka yang sangat fantastis! Ini belum termasuk fosfat yang terkandung dalam detergen yang banyak digunakan masyarakat sehari-hari dan sumber lainnya seperti disebut di atas.

Tanpa pengelolaan limbah domestik yang baik, seperti yang terjadi di negara-negara dunia ketiga, tentu bisa dibayangkan apa dampaknya terhadap lingkungan hidup, khususnya ekosistem air.

Berapa sebenarnya jumlah fosfor (P) yang diperlukan oleh blue-green algae (makhluk hidup air penyebab algal bloom) untuk tumbuh? Ternyata hanya dengan konsentrasi 10 part per billion (ppb/sepersatu miliar bagian) fosfor saja blue-green algae sudah bisa tumbuh. Tidak heran kalau algal bloom terjadi di banyak ekosistem air. Dalam tempo 24 jam saja populasi alga bisa berkembang dua kali lipat dengan jumlah ketersediaan fosfor yang berlebihan akibat limbah fosfat di atas.

Tentu saja limbah fosfat yang lepas ke lingkungan air akan mengalami pengenceran di sungai-sungai, di samping sebelumnya telah melewati pula tahap pengolahan limbah domestik. Yang disebut terakhir secara ketat hanya berlaku di negara maju seperti AS dan Eropa. Berdasarkan ini pun, ternyata masih akan tersisa sejumlah 12-31 ppb fosfor yang notabene lebih dari cukup bagi tumbuhnya blue-green algae. Bisa diperkirakan (sebelum akhirnya dibuktikan) kandungan fosfat di banyak aliran sungai dan danau di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, akan jauh lebih tinggi dari angka yang disebutkan di atas. Dari sini kita bisa mengetahui betapa seriusnya persoalan yang diakibatkan oleh limbah fosfat ini

Penanganan eutrofikasi

sunting

Persoalan eutrofikasi tidak hanya dikaji secara lokal dan temporal, tetapi juga menjadi persoalan global yang rumit untuk diatasi sehingga menuntut perhatian serius banyak pihak secara terus-menerus. Eutrofikasi merupakan contoh kasus dari problem yang menuntut pendekatan lintas disiplin ilmu dan lintas sektoral.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan penanggulangan terhadap masalah ini sulit membuahkan hasil yang memuaskan. Faktor-faktor tersebut adalah aktivitas peternakan yang intensif dan hemat lahan, konsumsi bahan kimiawi yang mengandung unsur fosfat yang berlebihan, pertumbuhan penduduk Bumi yang semakin cepat, urbanisasi yang semakin tinggi, dan lepasnya senyawa kimia fosfat yang telah lama terakumulasi dalam sedimen menuju badan air.

Lalu apa solusi yang mungkin diambil? Menurut Forsberg,[11] yang utama adalah dibutuhkan kebijakan yang kuat untuk mengontrol pertumbuhan penduduk (birth control). Karena apa? Karena sejalan dengan populasi warga Bumi yang terus meningkat, berarti akan meningkat pula kontribusi bagi lepasnya fosfat ke lingkungan air dari sumber-sumber yang disebutkan di atas. Pemerintah juga harus mendorong para pengusaha agar produk detergen tidak lagi mengandung fosfat. Begitu pula produk makanan dan minuman diusahakan juga tidak mengandung bahan aditif fosfat. Disamping itu, dituntut pula peran pemerintah di sektor pertanian agar penggunaan pupuk fosfat tidak berlebihan, serta perannya dalam pengelolaan sektor peternakan yang bisa mencegah lebih banyaknya lagi fosfat lepas ke lingkungan air. Bagi masyarakat dianjurkan untuk tidak berlebihan mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung aditif fosfat.

Di negara-negara maju masyarakat yang sudah memiliki kesadaran lingkungan (green consumers) hanya membeli produk kebutuhan rumah sehari-hari yang mencantumkan label "phosphate free" atau "environmentally friendly".

Negara-negara maju telah menjadikan problem eutrofikasi sebagai agenda lingkungan hidup yang harus ditangani secara serius. Sebagai contoh, Australia sudah mempunyai program yang disebut The National Eutrophication Management Program, yang didirikan untuk mengkoordinasi, mendanai, dan menyosialisasi aktivitas riset mengenai masalah ini. AS memiliki organisasi seperti North American Lake Management Society yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian danau melalui aktivitas sains, manajemen, edukasi, dan advokasi.

Selain itu, mereka masih mempunyai American Society of Limnology and Oceanography yang menaruh bidang kajian pada aquatic sciences dengan tujuan menerapkan hasil pengetahuan di bidang ini untuk mengidentifikasi dan mencari solusi permasalahan yang diakibatkan oleh hubungan antara manusia dengan lingkungan.

Negara-negara di kawasan Eropa juga memiliki komite khusus dengan nama Scientific Committee on Phosphates in Europe yang memberlakukan The Urban Waste Water Treatment Directive 91/271 yang berfungsi untuk menangani problem fosfat dari limbah cair dan cara penanggulangannya. Mereka juga memiliki jurnal ilmiah European Water Pollution Control, di samping Environmental Protection Agency (EPA) yang memberlakukan peraturan dan pengawasan ketat terhadap pencemaran lingkungan.

Sumber

sunting
  1. ^ Chapin, F. Stuart, III (2011). "Glossary". Principles of terrestrial ecosystem ecology. P. A. Matson, Peter Morrison Vitousek, Melissa C. Chapin (edisi ke-2nd). New York: Springer. ISBN 978-1-4419-9504-9. OCLC 755081405. 
  2. ^ Wetzel, Robert (1975). Limnology. Philadelphia-London-Toronto: W.B. Saunders. hlm. 743. ISBN 0-7216-9240-0. 
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :5
  4. ^ Le Moal, Morgane; Gascuel-Odoux, Chantal; Ménesguen, Alain; Souchon, Yves; Étrillard, Claire; Levain, Alix; Moatar, Florentina; Pannard, Alexandrine; Souchu, Philippe; Lefebvre, Alain; Pinay, Gilles (15 February 2019). "Eutrophication: A new wine in an old bottle?" (PDF). Science of the Total Environment. 651 (Pt 1): 1–11. Bibcode:2019ScTEn.651....1L. doi:10.1016/j.scitotenv.2018.09.139. PMID 30223216. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 4 March 2022. Diakses tanggal 4 March 2022. 
  5. ^ Elser, James J.; Bracken, Matthew E. S.; Cleland, Elsa E.; Gruner, Daniel S.; Harpole, W. Stanley; Hillebrand, Helmut; Ngai, Jacqueline T.; Seabloom, Eric W.; Shurin, Jonathan B.; Smith, Jennifer E. (2007). "Global analysis of nitrogen and phosphorus limitation of primary producers in freshwater, marine and terrestrial ecosystems". Ecology Letters (dalam bahasa Inggris). 10 (12): 1135–1142. doi:10.1111/j.1461-0248.2007.01113.x. hdl:1903/7447. ISSN 1461-0248. PMID 17922835. 
  6. ^ Addy, Kelly (1996). "Phosphorus and Lake Aging" (PDF). Natural Resources Facts - University of Rhode Island. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal July 28, 2021. Diakses tanggal June 16, 2021. 
  7. ^ Clair N. Sawyer (May 1966). "Basic Concepts of Eutrophication". Journal (Water Pollution Control Federation). Wiley. 38 (5): 737–744. JSTOR 25035549. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-03. Diakses tanggal 2021-02-12. 
  8. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :16
  9. ^ Schindler, David and Vallentyne, John R. (2004) Over fertilization of the World's Freshwaters and Estuaries, University of Alberta Press, p. 1, ISBN 0-88864-484-1
  10. ^ 1993 (The Economic and Environment Impact of Phosphorus Removal from Wastewater in the European Community)
  11. ^ (Which Policies Can Stop Large Scale Eutrophication? Water Science and Technology, Vol 37, Issue 3,1998, p 193-200)

Pranala luar

sunting