MAKALAH
J urnal Elektronik
J abatan Bahasa &
K ebudayaan Melayu
Jilid 3 (2011)
21-40
Menjejaki Bahasa Melayu Maluku
di Papua: Kerangka Pengenalan
SUKARDI GAU
Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo, Indonesia
Abstrak Meskipun sudah lama diketahui oleh komunitas sarjana global bahwa
sejarah bahasa Melayu modern mulai dijejaki di Indonesia Timur (lihat Collins
1982, 1996b, 2010), tetapi perhatian sebagian sarjana mengenai sejarah maupun
wujudnya bahasa Melayu di Papua rupa-rupanya masih kurang mendapat
perhatian dan tumpuan yang memadai. Bukan saja menyangkut kurangnya
sumber literatur yang cukup tetapi juga mengenai rendahnya minat perhatian
para sarjana untuk menyelami dan mengkaji kompleksitas bahasa Melayu di
Papua. Oleh karena itu, pada bagian ini ada dua aspek akan diperbincangkan.
Pertama, varian Melayu Papua sebagai Cabang Bahasa Melayu Maluku. Kedua,
jalinan linguistik dan jalinan historis antara Papua dan Kepulauan Maluku
akan ditelusuri pula.
Kata kunci Bahasa Melayu Maluku; diversitas bahasa; hubungan historis dan
linguistik
Pengenalan
Dari tinjauan sejarah, memang sudah terdapat tulisan mengenai hubungan antara
Kepulauan Papua dengan Kepulauan Maluku. Meskipun hubungan politik masa
silam antara Papua dan Maluku ini sudah sering diteliti (misalnya, Agus A. Alua,
2006) tetapi hubungan ini jarang dikaji dari tinjauan linguistik secara memadai.
Bahkan, dalam berbagai literatur (lihat Collins, 2010) juga sudah ditegaskan bahwa
sudah lama diketahui oleh komunitas sarjana global bahwa sejarah bahasa Melayu
modern mulai dijejaki di Indonesia Timur. Di Papua misalnya, ragam bahasa Melayu
telah lama hidup dan berkembang selama berabad-abad. Fakta sejarah ini tidak diragukan lagi. Oleh karena itu, tulisan ini akan berfokus kepada upaya menelusuri jalinan linguistik sekaligus untuk memahami bahwa dialek Melayu di Papua disalurkan dari Bahasa Melayu Maluku. Atas dasar itulah, pada bagian ini aspek yang
diperbincangkan meliputi: (1) diversitas bahasa dan peranan bahasa Melayu di Papua, (2) hubungan historis, dan (3) hubungan linguistik antara Papua dengan Kepulauan Maluku.
21
e-UTAMA, Jilid 3 (2011)
Diversitas Bahasa dan Peranan Dialek Melayu di Papua
Papua, wilayah paling timur Nusantara, memperlihatkan jaringan linguistik yang
kompleks sekali. Bahkan, diversitas bahasa dan situasi multilingualisme sungguh
nyata sekali. Terdapat dua Keluarga Bahasa yang tersebar di kawasan luas ini, yakni
Keluarga Bahasa Austronesia dan Keluarga Bahasa Non-Austronesia. Dua bahasa ini
merupakan bahasa induk yang ke dalamnya tergolong bahasa-bahasa lokal di Papua.
Penutur bahasa-bahasa lokal yang berbeda-beda tetapi tergolong dalam rumpun bahasa Austronesia itu, terdapat pada masyarakat pantai atau pesisir, seperti bahasa
Biak, bahasa Wandamen, bahasa Waropen dan bahasa Maya. Sebaliknya bahasabahasa Non-Austronesia (bahasa Papua) mendiami wilayah pedalaman 1 dan
Pegunungan Tengah, bermula dari wilayah Kepala Burung di sebelah barat sampai
ujung timur pulau Niew Guinea, misalnya bahasa Meybrat, bahasa Dani, bahasa
Ekari, bahasa Asmat, bahasa Muyu dan bahasa Sentani (Mansoben 1994: 31).
Pada saat ini, usaha penelitian untuk mengetahui seberapa banyak jumlah bahasa daerah (bahasa pribumi) di Papua masih terus diusahakan. Usaha-usaha penting
mengenai dokumentasi dan inventarisasi bahasa-bahasa di Papua sudah pun dilakukan oleh dua lembaga utama, yaitu SIL International dan Pusat Bahasa, Jakarta.2
Dari hasil penelitian yang sudah dipublikasikan oleh kedua lembaga itu memang
menunjukkan adanya perbedaan jumlah bahasa daerah di Papua. Pusat Bahasa sebagai lembaga resmi pemerintah Indonesia telah mengumumkan atau mempublikasikan bahwa di Papua terdapat 207 bahasa daerah yang berbeda-beda (Pusat Bahasa, 2008)3, sementara SIL International sudah pun menyatakan bahwa terdapat 271
bahasa daerah di kawasan itu (Ethnologue, 2005).
Bahasa-bahasa daerah Papua ada yang dituturkan dengan jumlah penutur yang
banyak dan wilayah sebar yang luas, ada pula yang didukung oleh sejumlah kecil
penutur dan tersebar di lingkungan yang terbatas. Namun, hingga saat ini diperkirakan masih terdapat sejumlah bahasa daerah di Papua yang belum dikaji secara
baik sehingga belum diketahui bagaimana wujud bahasa itu. Selain bahasa-bahasa
lokal yang sudah dicatatkan oleh kedua lembaga utama di atas, juga ada berpuluhpuluh lagi bahasa dari kepulauan lain akibat adanya migrasi penduduk yang tidak
termasuk dalam senarai bahasa-bahasa lokal di Papua, misalnya bahasa-bahasa dari
Pulau Sulawesi (Bugis, Makassar, Toraja, Minahasa), bahasa Jawa dari Pulau Jawa,
dan bahasa-bahasa lokal dari Kepulauan Maluku. Dengan diversitas bahasa dan etnik seperti itu, dialek Melayu dalam berbagai ragamnya, berfungsi sebagai bahasa
komunikasi luas (lingua franca) antarkelompok pada ratusan etnis di Papua. Para penutur bahasa lokal di Papua memang sudah sejak lama mengenal bahasa Melayu sehingga mereka hampir tidak mengalami banyak kesulitan untuk berbahasa Indonesia.4
Dengan demikian, peranan penting yang dijalankan bahasa Melayu dengan berbagai variannya adalah menjembatani kesenjangan yang ada di antara penutur beraneka macam bahasa daerah pada satu pihak dan bahasa Indonesia modern di pihak
lain. Peristiwa saling pengaruh, pada satu pihak antara bahasa daerah dan bahasa
Melayu, dan bahasa Melayu serta bahasa daerah dengan bahasa Indonesia mempunyai dampak yang sangat berarti dalam pemakaian bahasa Indonesia ragam lisan.
Dalam hal ini tampak ada banyak kelonggaran yang berlaku dan terdapat kecenderungan variasinya berimbang antara daerah yang satu dan daerah yang lain (Fer-
22
Sukardi Gau
nandez, 1998). Dialek Melayu telah menjadi varian yang dominan, yang bukan saja
dituturkan di wilayah pesisir, tetapi juga di semua kawasan pedalaman.
Pada bagian ini penggunaan istilah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dipandang sebagai dua istilah yang berbeda.5 Meskipun jika dilihat dari perspektif dialektologi, bahasa Melayu yang digunakan masyarakat Papua dan bahasa Indo-nesia
adalah awalnya dua dialek Melayu juga. Jadi, istilah bahasa Melayu di sini dimaksudkan untuk merujuk kepada sebuah ragam bahasa Melayu sebagaimana istilah itu
sering digunakan untuk merujuk pada dialek-dialek Melayu Nusantara lainnya, seperti Melayu Jakarta, Bangka, Manado, Makassar, Ambon, Ternate, Kupang, Loloan
(Muhadjir, 1999; Nothofer, 1997; Collins, 2007a; 2007b; Jauhari, 2007; Sumarsono,
1990).
Dengan demikian, dalam uraian ini perlu dinyatakan lagi bahwa antara varian
bahasa Melayu, khususnya varian Melayu di Papua, dengan bahasa Indonesia standard terdapat berbagai perbedaan. Perbedaan-perbedaan keduanya dapat dikelompokkan, antara lain, dalam bentuk fonologi, morfologi, tata bahasa dan semantik. Di
Papua, bahasa Indonesia baku ternyata sangat terbatas pemakaiannya, sementara
bahasa Melayu lebih luas pemakaiannya (Suharno, 1979; Roosman, 1977). Pengertian
istilah baku dalam konteks ini, sebagaimana yang diuraikan Dittmar (1976: 8), adalah ragam ujaran dari satu masyarakat yang disahkan sebagai norma keharusan bagi
pergaulan sosial atas kepentingan dari berbagai pihak yang dominan di dalam
masyarakat itu. Tindakan pengesahan norma itu dilakukan melalui pertimbangan
nilai yang berasaskan sosio-politik.
Di Papua, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan standard berbeda dengan
dialek Melayu Papua dalam ranah tidak formal. Situasinya sama seperti dialek Melayu lain, seperti dialek Melayu Makassar, Melayu Larantuka, Melayu Minangkabau, atau Melayu Jakarta. Perbedaan itu umumnya wujud dalam tiga aspek, yaitu
fonologi, morfologi, dan sintaksis. 6 Dalam kasus dialek Melayu Papua malahan
memperlihatkan kesamaan dengan dialek Melayu di kawasan lainnya, khususnya
dialek Melayu Maluku, Ternate, dan Ambon.
GAMBAR 1 Peta Indonesia
23
e-UTAMA, Jilid 3 (2011)
Hubungan Historis: Papua dengan Kepulauan Maluku
Wujudnya varian Melayu di Papua menunjukkan bahwa bahasa Melayu diperkenalkan di kawasan itu melalui berbagai melalui berbagai sumber melalui berbagai
saluran dalam berbagai zaman. Hal ini senada dengan pandangan Collins (2010)
bahwa diversitas bahasa Melayu di Indonesia Timur berkaitan dengan sejarah,
bahkan prasejarah, ekonomi, komunikasi dan inovasi sosial. Oleh karena itu, pada
bagian ini diuraikan beberapa saluran penting persebaran bahasa Melayu Maluku ke
Tanah Papua, yang meliputi aspek ekonomi dan perdagangan, politik dan kolonisasi,
serta pendidikan dan penyebaran agama.
Ekonomi dan Perdagangan
Nusantara Timur, termasuk juga kepulauan Papua, sudah lama terikat dengan jejaring sistem perdagangan global. Malahan, pengaruh Asia sudah berlangsung sejak
abad ketujuh. Para pedagang dari Sriwijaya, kerajaan terbesar di Sumatera Selatan,
datang ke pantai Nugini dalam rangka mendapatkan hasil bumi. Setelah itu para
pedagang lain mulai berdatangan, sebagaian besar di antaranya adalah dari Melayu
dan China, dan juga dari beberapa negara Arab. Sebagaimana disebutkan oleh C.D.
Rowley dalam The Nugini Villager, reaksi masyarakat Papua pada umumnya adalah
berupa tindakan menaburkan bubuk limau ke arah para pendatang baru tersebut,
dengan harapan memohon kekuatan magis yang akan mengusir kehadiran roh halus
dan niat jahat. Pada saat itu yang terjadi adalah perdagangan secara damai, dan sebagian besar orang Asia hanya mengambil bulu burung Cenderawasih, kayu
cendana, dan bahan obat-obatan (Osborne, 2001).
Dengan berasaskan pandangan van Schie (Agus A. Alua, 2006), dinyatakan
bahwa motif dan misi perniagaan ke Papua Barat sejak awal telah dilakukan oleh
negara-negara Eropa, seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. 7 Usaha perdagangan mereka pun tidak secara langsung melainkan melalui sejumlah kesultanan
di Maluku, terutama Kesultanan Ternate dan Tidore. Begitu pula sebelum orangorang Eropa itu datang ke Nusantara, kerajaan Sriwijaya dan Majapahit pun tidak
mempunyai kekuasaan langsung atas orang Papua dan Tanah Papua tetapi melalui
sejumlah kesultanan di Maluku, baik dalam hubungan politik maupun perdagangan.
Kenyataan ini jelas membuktikan bahwa Kesultanan Ternate dan Tidore mempunyai
peranan dan pengaruh yang sangat besar terhadap Kepulauan Papua, baik dalam
aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan bahasanya.
Schoorl menduga, pada bagian kedua abad ke-17, para pedagang dari Banda
dan Buru berhubungan dengan raja-raja di Semenanjung Onin di sebelah selatan
Vogelkop. Raja-raja itu telah menempatkan wakil-wakil dagang mereka di pantai selatan Vogelkop, yang lama-kelamaan mendapat sebutan seperti orang kaya , raja ,
kapitan , atau mayor Schoorl
, sebutan yang pada periode pemerintahan Belanda, ketika pembentukan desa mulai lancar, hidup terus sebagai gelar
kepala desa. Tetapi, mungkin juga kain-kain telah menyusup dari utara hingga ke
pusat Vogelkop, yaitu melalui Sausapor. Namun, rupanya di sana perdagangan itu
tidak begitu giat. Miedema membedakan perdagangan di pantai utara dan selatan.
Perdagangan di pantai utara terutama
berlangsung dari Tidore dan Kepulauan
24
Sukardi Gau
Papua, yang di pantai selatan dari Ternate, Seram (bukan Seram Laut), Keffing, dan
Goram Miedema,
lihat Merkelijn,
.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa difusi bahasa Melayu diketahui telah menyebar luas hingga ke Papua berlangsung melampaui abad ke-15 dan ke-16 melalui
para pedagang berbahasa Melayu yang berlayar ke utara dari Manila untuk berdagang di Taiwan dan Pulau Ryukyu dan ke timur dari Tidore untuk perdagangan
tukar-menukar di pantai-pantai Papua Nugini (Collins, 2005). Senada dengan itu,
Roosman (1982) pun sudah menegaskan bahwa rupanya bahasa vernakuler perdagangan—merujuk kepada Melayu —sudah digunakan sepanjang wilayah kepulauan Indonesia sebelum datangnya Portugis dalam abad ke-16. Pada kenyataannya
memang Portugis, dan kemudian Belanda terpaksa harus juga menggunakan bahasa
Melayu pijin ketika mereka berhubungan dengan penduduk tempatan yang ditemuinya.
Politik dan Kolonisasi
Sudah lama diketahui bahwa faktor politik sangat berperanan dalam kesejarahan
Papua-Maluku. Kedua-dua wilayah ini sudah pun menjalin hubungan dan kontak
secara intensif berabad-abad lamanya. Malahan, kuasa politik Maluku, melalui kesultanan di Maluku, atas Papua sangat menonjol dan sudah pun dicatatkan dalam
sejarah sosial kedua wilayah itu. Agus A. Alua (2006) mencatatkan bahwa orang Tidore mengadakan kontak intensif dengan orang-orang Papua yang pada masa itu
dikenal sebagai Papua Besar pada tahun 1453. Dalam buku Museum Memorial
Kesultanan Tidore Sinyinye Mallige tertulis bahwa pada tahun itu Sultan Tidore X
bernama Ibnu Mansur bersama Sangaji Patani Sahmardan dan Kapitan Waigeo bernama Kurabesi memimpin ekspedisi ke daratan Tanah besar. Ekspedisi yang terdiri
dari satu armada kora-kora itu berhasil menaklukkan beberapa wilayah di Tanah Besar dan pulau-pulau di sekitarnya yang kemudian dinyatakan sebagai wilayah
Kesultanan Tidore. Kemudian Kesultanan Tidore membagi wilayah Tanah Besar
menjadi tiga wilayah, yakni Kolano Ngaruha (Radja Ampat), Papo ua Gam Sio (Papo
ua Sembilan Negeri), dan Mafor Soa Raha (Mafor Empat Soa). Wilayah-wilayah di
Tanah Besar itu kemudian disebut dengan nama Papoua yang berarti tidak tergabung atau tidak bersatu atau tidak bergandengan (Humas: 8-9; West Pact. 1: 4-7,
dalam Agus A. Alua 2006:8).
Sebagai bandar di jalur sutra, Ternate (dan juga Tidore) mengalami masa jaya
pada abad ke-16. Pada masa itu Ternate dan Tidore berhasil meluaskan kekuasaannya di seluruh wilayah yang terbentang antara Sulawesi dan Papua. Tidore berekspansi ke Timur dan Selatan pula. Ke Timur kekuasaannya mencakup Irian Jaya dan
kepulauan Raja Ampat. Ke Selatan kekuasaannya mencakup pesisir utara Pulau Seram dan kepulauan Gorong dan Seram Laut (Leirissa, 1996). Pada tahun 1660 dibuat
perjanjian antara VOC dengan Ternate, Tidore, dan Bacan untuk menen-tukan sempadan kekuasaan mereka atas Papua Barat. Tahun 1667 dipertegas kem-bali perjanjian 1660 di atas, yang di dalamnya VOC menyatakan tegas kekuasaan Tidore atas
wilayah Papua Barat. Tahun 1710 VOC mengakui secara sah kekuasaan Tidore atas
pulau-pulau sekitar Papua Barat. Sejak itu Belanda memberikan keper-cayaan kepa-
25
e-UTAMA, Jilid 3 (2011)
da Tidore untuk pengawasan atas Tanah Papua Barat. Tahun 1773 per-janjian itu diperbaharui lagi (West Pact. 1:13-14; lihat Agus A. Alua, 2006: 9).
Lebih dari seabad berikutnya, tepatnya dalam kurun (1875-1944) pemerintah
Belanda mulai memikirkan kekuasaan politiknya atas Tanah Papua Barat (Nieuw
Guinea) sebagai wilayah jajahannya. Dalam rangka itu sejumlah negosiasi politik
dilakukan dengan Kesultanan Tidore yang pada masa itu masih berkuasa atas Tanah
Papua di bagian Pantai Barat dan Utara. Sejak akhir Perang Dunia II tahun 1944,
pemerintah Belanda mendapat kekuasaan politik atas Tanah Papua secara penuh
dari tentera sekutu pimpinan Amerika Serikat. Sejak itulah Belanda memikirkan secara sungguh-sungguh kekuasaan politiknya atas Tanah Papua Barat sebagai wilayah jajahan (Agus A. Alua 2006: 11).
Jadi, pada abad ke-16, malahan lebih awal lagi, kontak hubungan sudah dilakukan oleh orang-orang Papua dengan penduduk dan penjajah dari pulau-pulau
lain kepulauan Hindia Belanda. Menurut de Gues (2003: 19), dari aspek pemerintahan dan politik, wilayah ini sejak abad ke-16 merupakan satu kesatuan dengan
Maluku, juga dengan struktur-struktur yang luas yang dimiliki Maluku (meskipun
ikatan itu seringkali longgar). Memang benar bahwa pada ketika itu hanya penduduk pesisir dari pulau itu yang memiliki rasa persatuan itu, tetapi di sanalah daerah-daerah yang penduduknya sangat padat.
Persebaran Agama dan Pendidikan
Masuknya pengaruh agama-agama besar yang dianut masyarakat Papua berlangsung pada periode masa yang berbeda-beda. Agama besar pertama masuk di
Papua adalah Islam, yaitu di daerah Kepulauan Raja Ampat dan daerah Fak-Fak.
Agama Islam ini disebarkan melalui para pedagang Islam yang berasal dari kepulauan Maluku dan juga oleh orang-orang Papua yang melakukan perdagangan di
kedua daerah tersebut. A.C. van der Leeden (1980: 22) menyatakan agama Islam masuk di Kepulauan Raja Ampat ketika daerah tersebut mendapat pengaruh dari
Kesultanan Tidore tidak lama setelah agama Islam masuk di Maluku pada abad ke13 (lihat Mansoben, 1994).
Setelah agama Islam masuk ke Papua, agama selanjutnya adalah Kristen pada
pertengahan abad ke-19, lebih kurang enam abad sesudah Islam masuk ke Papua.
Menurut Kamma (dalam Mansoeben, 1994), para pekabar Injil Nasrani pertama di
daerah Papua. Para pekabar Injil berangkat dari Amsterdam pada pertengahan tahun 1852 dan setiba di Tanjung Periuk (Jakarta) harus menunggu perhubungan ke
Nieuw Guinea selama satu setengah tahun lagi. Dari Tanjung Periuk kemudian menuju Ternate dan dari Ternate mereka menggunakan kapal layar bernama Ternate
ke Nieuw Guinea dan tiba di Pulau Mansinam (Manokwari) pada 5 Februari 1855.
Usaha kedua-dua penginjil itu selanjutnya diteruskan oleh pendeta-pendeta Belanda
yang diutus oleh badan pekabaran Injil bernama Utrechtshe Zendingsvereniging (UZV)
yang tiba di Mansinam pada tahun 1862. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa
persebaran agama yang diusahakan oleh para petugas agama Kristen telah menjadi
saluran masuknya varian Melayu Ternate masuk ke Papua.
Di sisi lain, seperti di kebanyakan tempat pada abad ke-17, persebaran agama
berkaitan erat dengan pendidikan. Sekolah dan gereja didirikan serentak; murid di-
26
Sukardi Gau
didik melalui pelajaran agama. Untuk melengkapi infrastruktur gereja dan sekolah
ini, VOC memanfaatkan teknologi percetakan modern untuk menerbitkan berbagai
buku, baik buku pelajaran maupun kitab agama Kristen. Dapat dikatakan bahwa
hampir semua terbitan yang berbahasa Melayu pada abad ke-17 adalah terbitan
yang berhubungan dengan agama Kristen Protestan. Juga perlu dinyatakan bahwa
sebagian besar terbitan Melayu ini merupakan hasil penerjemahan dari bahasa Belanda (Collins, 2007a).
Sesudah Perang Dunia II pada tahun 1945, pemerintah Belanda memperkenalkan pengajaran dalam bahasa Belanda dalam sistem pendidikan umum di Papua. Di sekolah dasar, umumnya dijalankan oleh pemerintah melalui bantuan petugas misi Kristen, bahasa Melayu difungsikan sebagai bahasa vernakuler dalam
pengajaran. Kontak dengan penduduk Papua (Melanesia) dilakukan dengan bahasa
Melayu, sebagai bentuk pijin yang telah wujud dari ratusan tahun lampau sebagai
lingua franca sepanjang kepulauan itu sebagai hasil dari perdagangan barter dengan
pedagang-pedagang atau pelaut-pelaut Melayu dari wilayah Barat.
Menurut Roosman (1982), selain disebarkan melalui perdagangan, Melayu Ambon menjadi popular di Papua Barat (West New Guinea) melalui pemerintahan Belanda dan penyebaran agama. Papua Barat memang masih tertinggal dalam perkembangannya; akibatnya para pekerja dan guru-guru agama harus didatangkan dari
tempat lain. Pemerintah Belanda merekrut orang tersebut dari Ambon, dan sisanya
dari tenaga-tenaga yang berasal dari kawasan Kristen lainnya seperti Sulawesi Utara
(Manado dan Sangir), Flores, Timor dan Kepulauan Kei. Di samping itu, petugas
agama Kristen juga senantiasa mendidik penduduk setempat menjadi guru teachers of religion) yang dengannya dari kawasan ini selanjutnya dikirim bertugas ke Papua Barat.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa berkembangnya bahasa Melayu di
Papua turut dipengaruhi oleh banyaknya masyarakat luar Papua yang masuk ke
wilayah itu melalui usaha pendidikan dan persebaran agama.
Hubungan Linguistik
Selain hubungan historis antara Papua dengan Kepulauan Maluku, hubungan lain
yang dapat ditelusuri adalah hubungan linguistik. Dalam uraian ini, ada dua hal
pokok yang dapat dijejaki mengenai hubungan linguistik antara dialek Melayu di
Papua dengan bahasa Melayu Maluku, yaitu: (1) dialek Melayu Papua merupakan
turunan bahasa Melayu Maluku, dan (2) ciri dan hubungan linguistik Melayu di Papua memiliki banyak persamaan dengan bahasa Melayu Maluku. Oleh karena itu,
kedua isu ini akan dibahas secara sederhana dalam bagian berikut ini.
Dialek Melayu Papua: Turunan Bahasa Melayu Maluku
Sebagai bagian dari gugusan kepulauan Nusantara, Kepulauan Papua tentu saja tidak dapat dipisahkan dari rangkaian Alam Melayu.8 Menurut Collins (1996a: 13-14),
berpuluh-puluh dialek Melayu kini tersebar di seluruh Nusantara dari pesisiran barat pulau Sumatera hingga ke teluk dan pantai terpencil di pulau Papua dari wilayah
Negeri Thai di daratan Asia di utara hingga ke jajahan Australia di Pulau Cocos-
27
e-UTAMA, Jilid 3 (2011)
Keeling yang jauh di samudera selatan. Di wilayah yang luas ini, beberapa masyarakat minoritas bahasa Melayu sebagai bahasa ibunda bertahan dan malah berkembang. Hadirnya lebih daripada enam puluh dialek daerah yang masih tergolong dalam jejaring bahasa Melayu membuktikan keunggulan penutur Melayu sebagai perintis budaya, niaga dan teknologi. Ada dialek Melayu yang wujud melalui penghijrahan kelompok-kelompok penutur Melayu dan pembentukan masyarakat imigran
di perkampungan baru. Setiap dialek Melayu dilatari dan diwarnai dengan sejarahnya masing-masing. Dengan latar belakang sejarah dan sosial itu, maka seluruh
jaringan dialek Melayu memiliki sejarah bersama yang mencakupi semua dialek karena semuanya terjalin erat antara satu sama lain.
Jika merujuk pada jejaring bahasa Melayu masa lampau, maka keberadaan atau
wujudnya bahasa Melayu di Papua tentu saja harus dilihat berdasarkan konteks
yang lebih luas, misalnya sejarah sosial dan politiknya. Sudah lama diketahui bahwa
keterkaitan wilayah Papua dengan wilayah sekitarnya, khususnya Kepulauan Maluku9 sebagai pusat persebaran bahasa Melayu di Nusantara Timur, tentu saja tidak
dapat dinafikan atau diabaikan. Dengan demikian, untuk mengurai lebih jauh isu ini,
sememangnya mesti dilihat kembali sejarah sosial bahasa Melayu di Kepulauan Maluku. Hal ini penting untuk mendapatkan pemahaman yang hakiki bahwa sememangnya wujudnya varian Melayu di Papua mempunyai kaitan yang rapat dengan
sejarah sosial bahasa Melayu di Kepulauan Maluku.
Menurut Steinhauer (1988), di kawasan timur Indonesia sekurang-kurangnya
terdapat tujuh dialek Melayu yang dianggapnya sebagai kreol. Ketujuh dialek Melayu tersebut, yakni dialek Melayu Ambon, Ternate, Bacan, Kupang, Manado,
Larantuka, dan Irian (Papua). Pandangan senada diuraikan dalam Collins (2010),
bahwa Cabang Melayu Maluku di Indonesia Timur terdiri dari dialek Melayu Ternate, Manado, Ambon, dan Kupang. Dialek Melayu Ternate dianggap memiliki
kekerabatan yang lebih dekat dengan dialek Manado, sedangkan dialek Ambon
kekerabatannya lebih dekat dengan Kupang. Selanjutnya, jika kita merujuk pada
pandangan Collins (2010) di atas, maka mungkin kita akan bertanya, bagaimana posisi varian Melayu yang dituturkan di Papua, serta apakah varian itu merupakan dialek Melayu tersendiri atau merupakan bentuk turunan dari varian-varian Melayu
yang sudah ada di wilayah baratnya?
Memang ada sarjana yang sudah pun menuliskan, misalnya Roosman (1982),
bahwa varian Melayu yang digunakan masyarakat Papua adalah dialek Melayu
Ambon.10 Akan tetapi, tidak dapat disangkal juga bahwa jauh sebelum hubungan
Papua dengan Ambon wujud, Kepulauan Papua sudah bersentuhan langsung
dengan Ternate dan Tidore. Jadi, dengan hubungan yang sangat rapat sedemikian
itu, maka jelas sekali Melayu Ternate telah digunakan sebagai bahasa komunikasi
pada ketika itu, sebab pihak otoritas tidak mungkin menggunakan bahasa-bahasa
lokal di Papua, yang jumlahnya lebih dari 200 bahasa, sebagai lingua franca (Cappel,
1962; 1969; Lembaga Bahasa Nasional, 1972; Stockhof, 1975; Voorhoeve, 1975; Samaun, 1994). Jadi, dapat dipastikan varian Melayu Papua merupakan lanjutan dari
dialek Melayu Ternate.
Di sisi lain, pengaruh dialek Ambon mulai masuk ke Papua setelah pusat pemerintahan Belanda dipusatkan di Ambon. Pada tahun 1905, pemerintah Belanda lalu
mulai mengambil alih Irian Jaya dari Sultan Ternate. Selanjutnya, Belanda menaruh
28
Sukardi Gau
wilayah itu di bawah kendali dan pengawasannya yang berpusat di Ambon pada
tahun 1911 (Samaun, 1994). Jadi, tidak mengherankan apabila dialek Melayu yang
dituturkan di Papua mempunyai persamaan juga dengan dialek Melayu yang dituturkan di sekitar pulau-pulau Ternate dan Ambon-Maluku.
Dalam catatannya, Collins (2010) pun sudah menjelaskan bahwa pengelompokan di atas belum mempertimbangkan varian-varian Melayu yang semakin banyak
di Papua. Data yang paling awal tentang dialek Melayu di kawasan luas itu dicatat
pada abad ke-17 (Collins 1996b) di Kepulauan Raja Ampat. Menurut Collins bahwa
dialek-dialek Melayu Papua juga termasuk Cabang Melayu Maluku dengan hubungan paling dekat dengan Ternate, walaupun dialek Ambon dan juga sekarang
bahasa Indonesia turut mempengaruhi varian Melayu Maluku. Tambahannya lagi,
walaupun varian Melayu yang umum di bandar-bandar Papua memang memperlihatkan banyak persamaan dengan dialek Ternate dan ciri-ciri dialek Ambon serta ciri-ciri tersendiri, dialek perantaraan di Papua ini sedang mengalami banyak perubahan tanpa pengaruh lanjutan daripada dialek Ternate maupun Ambon. (Collins,
1996b; 2010).11
Dengan berdasarkan penjelasan seperti itu, maka pengelompokan dialek-dialek
Melayu dalam Cabang Bahasa Melayu Maluku secara tentatif dapat digambarkan
dalam Peta 1 berikut.12
Bahasa Melayu Maluku
Manado
Ternate
Ambon
Kupang
Papua
Peta 1: Silsilah kekerabatan Dialek Melayu Papua
Dari berbagai uraian di atas dapat diketahui bahwa sememangnya bahasa Melayu di Papua merupakan turunan dari dialek Melayu Ternate dan sedikit pengaruh
dari dialek Melayu Ambon juga. Sejak berabad-abad lamanya, bahasa Melayu di Papua disalurkan melalui aktivitas perdagangan, kuasa politik, pendidikan, dan pernyebaran agama.
Beberapa Ciri Linguistik
Jika pada bagian sebelumnya telah dinyatakan bahwa dialek Melayu yang dituturkan di Papua diturunkan melalui bahasa Melayu Maluku, khususnya dialek
Melayu Ternate, maka dapat diketahui juga bahwa kedua dialek Melayu tersebut
29
e-UTAMA, Jilid 3 (2011)
akan menunjukkan ciri linguistik yang sama pula (lihat Roosman, 1982; Suharno,
1979; Apituley et al., 1983). Pada bagian ini akan diuraikan secara ringkas beberapa
ciri linguistik varian Melayu di Papua yang menunjukkan adanya hubungan linguistik dengan bahasa Melayu di Maluku, khususnya dialek Melayu Ternate. Hubungan
linguistik itu dapat dilihat dari wujudnya kesamaan dalam penggunaan pola kebahasaan yang begitu dekat antara penutur dialek Melayu di Papua dan penutur dialek Melayu di Kepulauan Maluku, baik segi morfologi dan sintaksisnya. Oleh karena
itu, bahasan sederhana ini hanya akan menampilkan sekelumit beberapa kesamaan
linguistik tersebut yang meliputi penggunaan afiksasi, bentuk penyingkatan, pronomina, pemarkah frasa, pemarkah klausa, dan pemakaian leksikon tertentu, serta
pemakaian leksikon juga akan disinggung secara ringkas.
Afiksasi
Satu bentuk afiksasi yang agak menonjol digunakan dalam perbincangan sehari-hari
masyarakat Papua adalah penggunaan prefiks (imbuhan awalan). Perlu ditegaskan
pula, bahwa sememangnya dialek Melayu di Papua tidak memperlihatkan bentukbentuk akhiran yang khas yang membedakannya dengan imbuhan akhiran varian
Melayu di Nusantara Barat lainnya atau dengan bahasa Indonesia sekalipun, seperti
akhiran {-}, {-}, dan {-}. Oleh karena itu, dalam bahasan ringkas ini, pemahaman afiksasi secara khusus lebih merujuk kepada prefiks (imbuhan awalan) dalam
pembentukan sebuah kata.
Seterusnya, pengimbuhan awalan (prefiks) ini dalam dialek Melayu di Papua
berlaku meluas penggunaannya. Sebagaimana dalam bahasa Indonesia, prefiks ini
dapat mengalami perubahan bentuk (morfofonemik). Lihat saja penggunaan awalan
{N-}. Awalan {N-} ini mengalami perubahan menjadi beberapa variasi bentuk,
yakni /N-/, /-/, dan /Ø/. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut.
mata+MILIK
PREF+lotot
lihat perempuan
besar
Matanya melotot melihat perempuan besar fisikalnya .
semua
ke sana
PREF+lihat
Semua melihat ke sana .
Kedua kalimat di atas memperlihatkan adanya perubahan N- menjadi N-.
Perubahan ini tampak pada kata telah berubah menjadi , begitu
pula kata menjadi . Selain itu, bentuk N- dapat juga wujud dalam bentuk -, perhatikan contoh berikut ini.
anak itu
PREF+lompat dari
pagar
‚nak itu melompat dari pagar karena takut.
30
karena
takut
Sukardi Gau
Di samping itu, bentuk N- juga dapat dinyatakan dalam morfem zero /Ø/.
Berikut ini contohnya.
Pace
Ø +punya
teman tinggal di abepura
Pace mempunyai teman yang tinggal di ‚bepura.
Selanjutnya, perubahan bentuk prefiks dalam bahasa Melayu Papua ialah perubahan morfem - menjadi - . Berikut ini contohnya.
semua
di depan
PREF+diri
pintu
Semua berdiri di depan pintu.
Selain itu, perubahan menjadi morfem zero [Ø] juga dapat ditemui dalam varian
Melayu Papua. Lihatlah contoh berikut.
PRON-3 pergi Ø + main
bola
Mereka pergi bermain bola.
Dalam pembentukan kalimat pasif juga biasanya terjadi perubahan bentuk afiks
- menjadi -. Misalnya:
beras
PASIF+bawa+PRON-3
yang
PASIF+hambur semua
‛eras yang dibawanya terhambur semua
Bentuk Penyingkatan
Dalam perbincangan sehari-hari masyarakat Papua, kecenderungan penggunaan kata dalam dialek Melayu di Papua sering kali mengalami penyingkatan pada sebuah
kata. Misalnya:
→
→
→
→
→
→
[
atau [
[atau [
[
[
[
[
‘sudah’
‘pergi’
‘kamu’
‘punya’
‘dia’
‘dengan’
Jika [ punya wujud dalam bahasa Melayu di Papua, maka kata itu wujud
dalam dialek Melayu Ternate sebagai [ punya . Karena penggunaan bentuk
penyingkatan dalam varian Melayu Papua memang agak produktif, maka kecenderungan seperti itu bukan saja terjadi pada sebuah kata tetapi juga terjadi pada kata
31
e-UTAMA, Jilid 3 (2011)
majemuk, frasa atau klausa tertentu. Malahan dengan keadaan sedemikan itu, kadang-kadang sebuah frasa atau klausa tampak dan ditafsirkan seolah-olah satu kata
saja. Berikut ini beberapa contohnya.
‘saya mau’
‘dia punya’
‘sudah tahu’
‘membawa’
‘tidak ada’
‘kita [orang]’
‘dia, mereka’
‘mereka berdua’
Pronomina
Kata ganti orang dalam dialek Melayu di Papua terdiri dari pronomina persona pertama, pronomina persona kedua, dan pronomina persona ketiga. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Jadual 1: Pronomina dalam Dialek Melayu di Papua
PRON-1
PRON-2
PRON-3
Tunggal
Jamak
Urutan Kata (Word Order)
Urutan kata varian dialek Melayu Papua dapat dilihat dalam contoh berikut.
mace
kasih tinggal
itu
anak
Mace meninggalkan anak itu.
Dalam kalimat di atas mengandung frasa yang memiliki urutan kata
yakni Det. + Head. Bentuk ini tentu saja berbeda dengan pola yang biasa digunakan
dalam bahasa Indonesia standard, yaitu Head + Det., yang biasanya dituliskan menjadi .
Pola urutan kata lainnya yang biasa ditemui ialah urutan kata pada konstruksi
posesif. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut.
PRON-3 punya anak
‚naknya.
32
Sukardi Gau
Dari contoh di atas tampak jelas bahwa dalam varian Melayu Papua, konstruksi
kepemilikan menggunakan pola Poss + punya + Head ( dia punya
anak yang sangat berbeda dengan pola dalam bahasa Indonesia standard Head +
Poss (anaknya).
Pemarkah Frasa
Penanda-penanda frasa dalam varian Melayu Papua dapat dikenali dengan penggunaan kosa kata, seperti ada , bikin , kasih , dan punya
(lihat juga Suharno, 1979). Lihat uraian dan contoh-contoh berikut.
PRON-3 sedang
di
kerja
rumah
Dia sedang kerja di rumah.
Contoh di atas mengandung kata ada . Secara semantis, kata ini bermakna
sedang melakukan suatu aktivitas . Jadi, di sini maknanya ialah sedang bekerja . Demikian pula bermakna sedang tidur atau
sedang berdiri . Selain kata , juga wujud pemarkah frasa lain, yaitu bikin seperti dalam contoh di bawah ini.
PRON-1.Jamak
bikin
itu
habis
papeda
Kita habiskan papeda itu.
13
Kata bikin di sini digunakan sebelum kata lainnya untuk membentuk
frasa verba. Jadi, frasa bikin habis di atas mempunyai makna menjadikan papeda itu betul-betul habis dimakan. Di samping itu, terdapat juga bentuk
penanda frasa lain seperti, penggunaan kata kasih pada contoh ini biasanya
digunakan sebelum kata lain untuk membentuk suatu frasa verba kausatif. Seperti
dalam contoh berikut.
mace
kasih meninggalkan
itu
anak
Mace meninggalkan anak itu.
Penanda frasa selanjutnya ialah kata punya . Menurut Suharno
kata punya ini kadang-kadang digunakan sesudah adjektif, kata atau frasa,
yang berfungsi sebagai penekanan atau untuk menarik perhatian. Perhatikan contoh
berikut.
PRON-3
kasut
punya
dari
luar negara punya
Sepatunya dari luar negara.
33
e-UTAMA, Jilid 3 (2011)
Selain penggunaaan kata-kata ada , bikin , kasih , dan
punya sebagaimana yang diuraikan di atas, juga terdapat konstruksi lain yakni
penggunaan adverbia , seperti pada contoh berikut.
PRON-3.Jamak saling Ø+cari
sampai
lelah
Mereka saling mencari sampai mereka lelah.
Kata saling senantiasa berada pada posisi di depan verba. Secara semantis, kata ini bermakna melakukan sesuatu saling berbalasan (done reciprocally).
Pemarkah Tipe Klausa
Terdapat beberapa penanda tipe klausa dalam varian dialek Melayu di Papua yang
secara fungsional berbeda dengan bahasa Indonesia standard. Pemarkah-pemarkah
yang dimaksud di antaranya: atau atau sudah , dan baru, hanya, masih . Perhatikan contoh-contoh kalimat berikut.
PRON-2
makan
sudah
Makanlah kau.
itu
sudah
Ya, itulah.
Kata sudah dalam kedua kalimat di atas digunakan sebagai suatu
pemarkah imperatif atau, dalam kasus tertentu, sebagai pemarkah empatik (emphatic
marker). Selain itu, juga ada pemarkah lainnya seperti kata sebagai penanda
kontradiktif (contradictive marker) (Suharno: 1979). Contohnya:
sudah
NEG cantik
gombal+RED
[masih] mahu
lagi
Sudah tidak cantik masih juga mahu merayu-rayu lagi.
sudah
lelah
[masih juga] disuruh
kerja
lagi
Sudah lelah masih juga disuruh kerja lagi.
Leksikon
Sebagaimana varian bahasa Melayu lainnya, bahasa Melayu Papua juga memiliki
kosa kata yang khas. Bentukan kosa kata itu ada yang berasal dari bahasa asli orang
Papua dan terdapat juga bentukan dari khazanah bahasa Melayu itu sendiri. Menurut Supardi (2007: 154-155), bahasa-bahasa yang asalnya dari bahasa Melayu biasanya merupakan hasil pembentukan dari proses penghilangan atau perubahan fonem.
34
Sukardi Gau
Misalnya: saya , dengan , punya , dan lain-lain. Di samping itu,
terdapat juga bentukan asli meskipun dengan jumlah kosa kata yang sangat terbatas,
misalnya tarik , tidur , gila , pukul , dan sebagainya.
Walaupun demikian, pada kasus tertentu, Gau et. al. (2005) telah mencatatkan
beberapa kosa kata dan istilah tertentu yang begitu akrab dan dikenal oleh penutur
bahasa Melayu di Papua dan mungkin agak kurang dikenal di wilayah Nusantara
lainnya. Sebagai contoh, kata , , , dan
merupakan sejumlah kata yang mungkin tidak dikenal oleh penutur
bahasa Melayu di wilayah lainnya. Bagi masyarakat Papua, kata
merupakan sebutan untuk kapal penumpang antarapulau (yang
dapat mengangkut penumpang dan barang dalam jumlah besar); kata
mempunyai arti (1) upacara bakar batu dan (2) cara memasak makanan (misalnya
berupa umbi-umbian, sayur-sayuran, dan daging) dengan menggunakan panas bara
batu; adapun adalah titik pusat pertemuan beberapa jalan; sedangkan
makna merupakan sebutan untuk hulu sungai. Keempat kosakata dan
istilah tersebut hanyalah sekadar contoh kosakata yang memiliki sedikit perbedaan
(dalam hal makna) dengan penutur bahasa Melayu lainnya di Nusantara.
Apa yang dinyatakan oleh Gau et al. (2005) di atas, sebenarnya tidak lebih dari
sekadar merupakan loan words with semantic change sebagaimana yang juga pernah
dinyatakan oleh Suharno (1979). Jadi jelas bahwa meskipun kesemua kata-kata itu
merupakan kata pinjaman dari bahasa Melayu, tetapi jelas beberapa kosakata itu telah mengalami perubahan makna. Hal ini selaras dengan yang dicatatkan oleh Marsis Muhammad Nasir (2003: 104) bahwa perubahan makna kata dapat menjadi perkembangan makna kata, dan sekaligus boleh berpotensi membentuk kata-kata baru
dalam suatu bahasa. Perubahan makna kata dapat menjadi proses peluasan makna
(generalisasi), proses penyempitan makna (spesifikasi), dan proses penam-bahan
makna di samping penggantian makna secara total. Hal itu terjadi karena perubahan
makna membawa makna baru yang sedikit banyak berbeda dari makna lama. Apabila sebuah kata lama digunakan dengan makna baru apakah sebagian atau keseluruhan, maka berlakulah perkembangan sedemikian itu.
Tidaklah mengherankan apabila fenomena perubahan makna seperti itu kadang-kadang muncul juga dalam perbincangan sehari-hari oleh masyarakat penutur bahasa di Papua. Lihat saja penggunaan kata waktu atau masa , seperti
pada contoh berikut:
PRON-2
kerja NEG waktu PART
Kamu bekerja tidak cepat lambat .
Waktu sudah
Cepat-cepatlah!
Jadi, pemahaman penutur bahasa di Papua pada kata di sini pemaknaannya ialah cepat-cepatlah atau segeralah . Hal ini jelas menunjukkan bahwa kata
itu telah mengalami perubahan makna semantis, yakni dari makna yang
35
e-UTAMA, Jilid 3 (2011)
merujuk pada pengertian periode atau waktu makna umum ke makna cepat
(makna khusus).
Selanjutnya, perlu dicatatkan juga bahwa sememangnya bahasa Melayu Papua
mengandung banyak kata-kata pinjaman, apakah mengalami perubahan makna atau
tidak, dari berbagai sumber. Misalnya ubi jalar asalnya dari bahasa Latin,
teripang dari bahasa Indonesia, dan teduh berasal dari bahasa
Ambon. Selain kata-kata pinjaman sedemikian itu, sememangnya juga didapati katakata khas yang dimilikinya. Umpamanya, catatan Suharno (1979) mengenai leksikon-leksikon dalam bahasa Melayu Papua mengandung kosa kata budaya yang
khas14, seperti sejenis burung , sejenis buah-buahan , penutup kelamin lelaki dari labu , tas tali .
Penutup
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dialek Melayu di Papua berperan
sebagai bahasa komunikasi dan perhubungan (lingua franca) antarkelompok etnik
dan penutur bahasa yang mencapai lebih dari 271 bahasa itu. Bahasa Melayu di Papua disalurkan dari Bahasa Melayu Maluku yang selama berabad-abad sudah
digunakan di kedua wilayah kepulauan itu. Dengan hubungan yang begitu rapat
sedemikian itu, hubungan historis dan hubungan linguistik antara kedua kawasan
ini dapat dijejaki.
Walaupun demikian, di dalam tulisan ini, profil dan dinamika dialek Melayu di
Papua dipaparkan selayang pandang saja. Analisis yang lebih komprehensif belum
dapat diusahakan karena sumber data yang belum mencukupi dan memadai. Tentu
saja dalam tulisan ini masih banyak masalah linguistik yang belum disoroti. Sekali
lagi, tulisan ini hanya sekadar untuk membangkitkan minat dan menaruh perhatian
kalangan pembaca dan pemerhati bahasa mengenai dialek Melayu di wilayah paling
timur Nusantara. Semoga usaha akademik dapat dilakukan secara lebih baik dan
terperinci lagi agar dapat memberi sumbangan wawasan dan pengetahuan mengenai khazanah kebahasaan Nusantara.
Nota Hujung
1
Istilah pedalaman atau suku-suku pedalaman kadang-kadang masih menjadi polemik.
Dalam pandangan G.J. Held (2006: 3) istilah ini merujuk pada sejumlah suku yang tidak
menggunakan bahasa-bahasa Austronesia tetapi menggunakan apa yang dikenal dengan
bahasa-bahasa Papua, suatu istilah yang membingungkan yang dipakai untuk menyebut
semua bahasa non-‚ustronesia di Papua New Guinea. Istilah bahasa dan suku pedalaman sedikit rancu, karena para penutur bahasa Papua juga hidup di wilayah yang luas
di sepanjang pantai Geelvink Bay yang belum didiami oleh kelompok-kelompok tersebut. Sisanya, para penutur bahasa-bahasa Papua telah hidup di daerah pedalaman dan
keahlian mereka—paling tidak di Geelvink Bay—dalam masalah perkapalan sangat
rendah dibandingkan dengan orang-orang yang menggunakan bahasa Austronesia.
2
Sejak Januari 2011, lembaga Pusat Bahasa ini telah berganti nama menjadi Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
36
Sukardi Gau
3
Sampai tahun 2008, Pusat Bahasa telah mengumpulkan data dari 221 titik pengamatan
sebagai sampel penelitian. Berdasarkan analisis data dari 221 daerah pengamatan (DP)
itu di Papua telah diidentifikasi sejumlah 207 bahasa (Pusat Bahasa, 2008). Meskipun
Pusat Bahasa telah mengumumkan jumlah bahasa daerah sebanyak 207 bahasa itu, tetapi
usaha penyelidikan lanjutan masih terus diupayakan. Komunikasi penulis dengan Tim
Pemetaan Balai Bahasa Jayapura diketahui bahwa Pusat Bahasa masih terus mengumpulkan data bahasa dan melakukan penyelidikan kekerabatan bahasa-bahasa di Papua
selama tahun 2009-2010.
4
Pada tahun 2006-2007, penulis dan para peneliti (dengan latar belakang etnik dan
bahasa yang berbeda-beda) dari Pusat Bahasa telah mengadakan penelitian dan pengumpulan data pemetaaan kekerabatan bahasa-bahasa daerah Papua yang memperlihatkan bahwa sama sekali tidak ditemukan ada kendala bahasa manakala para peneliti
mengajukan daftar tanyaan, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan masyarakat di
seluruh pelosok Papua, baik yang berada di wilayah pesisir maupun pedalaman (pegunungan). Kenyataan di lapangan tersebut membuktikan bahwa tidak ada masalah dalam
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, karena memang masyarakat Papua jauh sebelum menjadi satu kesatuan dengan penduduk Republik Indonesia telah mengenal dan
memakai varian Melayu dalam kehidupannya sehari-hari.
5
Dalam konteks kebahasaan di Papua dan dari segi penamaan istilah, beberapa ahli
bahasa sering menggunakan istilah yang berbeda. Lihat saja Suharno (1978) dan Samaun
yang lebih menyukai dan menyebutnya sebagai bahasa Indonesia dialek Irian
Jaya . ‚kan tetapi, dalam pandangan Supardi
alasan yang jelas dan pasti atas penamaan sedemikian ini tidak ditemukan. Jika penamaan itu hanya mengacu pada Daftar
Swadesh, maka hal sedemikian tidak dapat dibenarkan atu diterima karena hanya memfokuskan pada jumlah persentase perbedaan kosa kata di antara bahasa Indonesia dan
bahasa Indonesia dialek Papua . Padahal, struktur kedua bahasa itu sangat berbeda,
apakah dalam pembentukan kata mahupun pembentukan kalimatnya. Selain itu, dari
aspek historisnya, bahasa Melayu sudah digunakan untuk berkomunikasi antarsuku
jauh sebelum Papua masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nama ini juga sudah sering digunakan oleh para petugas Summer Institute of Linguistics (SIL International).
6
Uraian lebih rinci mengenai isu seperti ini telah disinggung oleh Roosman (1982),
Suharno ( 1979), Samaun (1991), Supardi (2007), dan Gau (2007, 2008a, 2008b, 2010).
7
Kunjungan orang Eropa ketika kali pertama menjejakkan kaki sekaligus perjumpaan
awal mereka dengan penduduk peribumi Papua di daratan Papua. Ketika itu Alvaro de
Saavedra, utusan Gubernur Spanyol di Tidore, berlayar ke Meksiko pada pertengahan
tahun 1529, singgah mendarat di suatu tempat di pantai utara Irian (Tiele 1880). Kunjungan berikutnya pada 20 Juni
, ketika kapal San Juan yang dipimpin oleh Ynigo
Ortiz de Retez serta sejumlah orang Spanyol berlabuh di pantai utara Irian untuk mengambil air dan kayu bakar, dalam perjalanan menuju Meksiko. Tanpa ada gangguan,
Ortiz de Retes mengadakan suatu upacara kecil, dan menyatakan pulau yang dijejakinya
sebagai milik raja Spanyol. Ortiz de Retes merupakan orang yang kali pertama menamai
Irian itu Neuva Guinea (Haga 1884); lihat H. W. Bachtiar 45-46).
8
Konsep Alam Melayu di sini lebih merujuk pada pemahaman kepada ikatan ruang dan
bahasa. Collins
pun sudah menegaskan bahwa istilah ‚lam merujuk pada istilah geografi, sedangkan Melayu sering menunjukkan bahasa. Menurutnya, ‚lam
37
e-UTAMA, Jilid 3 (2011)
Melayu dapat ditafsirkan sebagai bagian geografi di Asia Tenggara yang didiami oleh
masyarakat yang berbahasa Melayu, baik sebagai bahasa pertama maupun sebagai bahasa kedua atau bahasa ketiga. Jadi, sesungguhnya Alam Melayu hanya dapat dijelaskan
dengan bersandarkan konsep ruang dan konsep bahasa.
9
Secara politis, pada saat ini Kepulauan Maluku dibagi ke dalam 2 provinsii, yaitu
Provinsi Maluku dengan ibukotanya Ambon dan Provinsi Maluku Utara dengan ibukotanya Ternate. Namun, untuk kepentingan perbincangan secara umum dalam tulisan
ini, kedua wilayah disebut saja dengan nama Kepulauan Maluku. Lihat juga tulisan
Jonny Tjia (2007) ketika membahaskan Atlas Bahasa Tanah Maluku: Seputar Pengalaman dan
Perbaikan, yang juga menggunakan penamaan yang sama.
Anehnya, pronomina beta saya dalam dialek ‚mbon adalah kata yang tidak dipakai
sebagai kosa kata percakapan sehari-hari masyarakat Papua hingga saat ini, walaupun
makna kata beta itu dipahami artinya oleh hampir seluruh masyarakat Papua
10
11
Dalam bukunya itu, Collins (1996b: 38-41) memang memerikan dan mengelompokkan
varian Melayu Papua dalam maklumat subbab tersendiri, sebagaimana yang disetujui
juga oleh Steinhauer (1987) yang memang membedakan beberapa varian Melayu di Nusantara Timur, termasuk dialek Melayu Papua.
12
Garis yang terputus-putus dalam Peta 2 menunjukkan bahwa dialek Melayu Ambon
turut mempengaruhi dialek Melayu Papua.
13
Papeda sejenis makanan atau bubur yang terbuat dari sagu.
14
Jika diperhatikan catatan Suharno (1979) itu, rupanya dia agak sukar membedakan
mana kata pinjaman dan mana kata yang masuk kategori culturally unique words , lihat
saja tulisannya ketika memasukkan kata isteri , suami , roti
sagu , cadik perahu dalam kategori ini. Padahal kosa kata ini sudah pun diguna
pakai oleh penutur varian Melayu lainnya di kawasan timur Indonesia. Misalnya, kata
dan sejatinya memang sudah akrab digunakan oleh penutur Melayu
lainnya seperti di Ternate, Manado, Gorontalo mahupun di tempat lainnya.
Rujukan
Alua, A. A. (2006). Papua Barat dari pangkuan ke pangkuan: Suatu ikhtisar kronologis. Jayapura: Sekretariat Presidium Dewan Papua, dan Biro Penelitian Sekolah Tinggi Filsafat
Fajar Timur.
Apituley, C., Lessy D. S. A., Takaria, D., Pattiselanno, M. J., & Sahertian, A. (1983). Struktur Bahasa Ternate. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Bachtiar, H. W. (1993). Sejarah Irian Jaya. Dlm. Koentjaraningrat (Ed.). Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk (hlm. 45-46). Jakarta: Djambatan.
Capell, A. (1962). Linguistics survey of the Souh-Western Pasific. Noumea, South Pasific
Commission
Capell, A. (1969). Survey of New Guinea Languages. Sidney University Press.
Collins, J. T. (1982). Linguistic research in Maluku: A report of recent fielwork. Oceanic
Linguistics, 21: 73-146.
Collins, J. T. (1996a). Khazanah Dialek Melayu. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Collins, J. T. (1996b). Bibliografi dialek Melayu di Indonesia Timur. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
38
Sukardi Gau
Collins, J. T. (2005). Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan KITLV Jakarta.
Collins, J. T. (2007a, Juli). Bahasa daerah di Maluku Tengah: Hikayat pengucilan dan
pengecilan. Makalah disampaikan di Seminar Krisis Bahasa Lokal, Maluku, Ambon,
Indonesia.
Collins, J. T. (2007b). Bahasa dan Ruang di Alam Melayu. Dlm. James T. Collins & Chong
Shin (Ed.), Pemetaan Ilmu di Alam Melayu: Memperkenalkan Nusantara Timur (hlm. 1-20).
Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Collins, J. T. (2010). Sejarah, Diversitas dan Kompleksitas Bahasa Melayu di Indonesia
Timur. Dlm. James T. Collins & Chong Shin (Ed.), Bahasa di Selat Makassar dan Samudera Pasifik (hlm. 1-33). Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
de Gues, P. B. R. (2003). Masalah Irian Barat: Aspek kebijakan luar negeri dan kekuatan militer.
Jayawijaya:Yayasan Jayawijaya.
Dittmar, N. (1976). Sociolinguistics: A critical survey of theory and application. London:
Edward Arnold Ltd.
Fernandez, I. Y. (1998). Perkembangan pengaruh bahasa daerah dalam bahasa Indonesia.
Dlm. Dendy Sugono (Ed.), Kongres Bahasa Indonesia VI tahun 1993. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Gau, S. (2007). Selayang Pandang Bahasa Melayu di Papua. Dlm. James T. Collins &
Chong Shin (Ed.), Pemetaan Ilmu di Alam Melayu: Memperkenalkan Nusantara Timur
(hlm. 65-82). Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Gau, S. (2008a). Masyarakat Bahasa Melayu di Papua: Kajian Awal. Dlm. Yabit bin Alas
(Ed.) Prosiding Seminar Antarabangsa Dialek-Dialek Austronesia di Nusantara III (hlm.
455-470). Brunei: Jabatan Bahasa Melayu & Linguistik, Universiti Brunei Darussalam.
Gau, S. (2008b, Juli). Diaspora Bugis dan Penggunaan Bahasanya di Papua: Sebuah Pengenalan. Kertas kerja yang disampaikan di International Seminar on Re-Introducing the
Malay Civilisation in Eastern Nusantara, Ternate, Maluku Utara, Indonesia.
Gau, S. (2010). Suku Bugis dan Bahasanya: Dari Tanah Bugis ke Tanah Papua. Dlm.
James T. Collins & Chong Shin (Ed.). Bahasa di Selat Makassar dan Samudera Pasifik
(hlm. 75-103). Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan
Malaysia.
Gau, S., Maturbongs, A, & Sanjoko, Y. (2005). Penyusunan bahan pembakuan kosa kata.
Laporan Penelitian. Jayapura: Balai Bahasa Jayapura.
Held, G. J. (2006). Waropen dalam Khasanah Budaya Papua. Dharmojo (penerjemah). Pasuruan: Pedati.
Jauhari, Abdul Rajab (2007, November). Dialek Melayu di Palu, Sulawesi Tengah. Kertas
kerja disampaikan di Seminar Antarabangsa Pemetaan Ilmu di Alam Melayu: Memperkenalkan Nusantara Timur. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Leeden, A.C. van der. (1980). Report on anthropological field research. Dlm. E. K. M.
Masinambow (Ed.), Halmahera dan Raja Ampat. Konsep dan strategi penelitian. Jakarta:
LEKNAS-LIPI.
Leirissa, R. Z. (1996). Halmahera Timur dan Raja Jailolo. Jakarta: Balai Pustaka.
Lembaga Bahasa Nasional (1972). Peta bahasa-bahasa di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Jenderal Kebudayaan P&K.
Mansoben, J. R. (1994). Sistem politik tradisional di Irian Jaya, Indonesia: Studi perbandingan.
Tesis PhD. Universiti Leiden, Belanda.
39
e-UTAMA, Jilid 3 (2011)
Marsis Muhammad Nasir. (2003). Perkembangan kosa kata Bahasa Melayu: Satu kajian kes
perbandingan antara dua kamus. Tesis PhD. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Merkelijn, F. S. G. (2001). Belanda di Irian Jaya: Amtenar di masa penuh gejolak. Dlm. P.
Schoorl (Ed.), Jawatan Penerangan. R. G. Soekadijo (penerjemah). Jakarta: KITLV.
Miedema, J. (1984). De Kebar 1855-1980: Sociale structuur en religie in de Vogelkop van West
Nieuw Guinea. Dordrecht: Foris Publications. [VKI105.]
Muhadjir (1999). Bahasa Betawi: sejarah dan perkembangannya. Jakarta: Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI) dengan the Ford Foundation.
Nothofer, B. (1997). Dialek Melayu Bangka. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Osborne, R. (2001). Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat. Jakarta:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Oetomo, D. (2000). Dinamika Bahasa Melayu-Indonesia Kolonial dan Pascakolonial. Dlm.
Bambang Kaswanti Purwo (Ed.), Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa
Bahasa (hlm. 168-174). Jakarta: BPK Gunung Mulia kerja sama Unika Atma Jaya.
Pusat Bahasa (2008). Bahasa dan peta bahasa di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Roosman, R. S. (1982). Pidgin Malay as Spoken in Irian Jaya. The Indonesian Quarterly, X/2.
Mimeograph, Waigani, University of Papua New Guinea.
Samaun (1994). The Sistem of the Contracted Form of the Vernacular Bahasa Indonesia in
Jayapura, Irian Jaya. Dlm. T. Purba (Ed.), Afeu Tahun V No.6, March 1994. Jayapura:
Program Studi Bahasa Inggris, FKIP Uncen.
Schoorl, P. (2001). Belanda di Irian Jaya: Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962. Jakarta:
Perwakilan KITLV dan Garba Budaya.
Steinhauer, H. (1988). Malay in East Indonesia: The Case of Macassarese Malay. Dlm
Mohd. Thani Ahmad & Zaini Mohamed Zaid (Ed.), Rekonstruksi Cabang-cabang Bahasa
Melayu Induk (hlm. 108-151). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Steinhauer, H. (2000). Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah di Indonesia. Dlm. Bambang
Kaswanti Purwo (Ed.), Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa (hlm.
175-179). Jakarta: BPK Gunung Mulia kerja sama Unika Atma Jaya.
Stockhof, W. A. L. (1975). Prelimenary notes on the Arlor and Pantar Languages (East
Indonesia). Pasific linguistics, seri B, 43.
Suharno, I. (1979). Some Notes on the Teaching of Standard Indonesian to Speakers of
Irianese Indonesian. Bulletin of Irian Jaya, VIII(1), 3-33.
Sumarsono (1990). Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Tesis PhD. Universitas
Indonesia, Jakarta.
Supardi (2007, Oktober). Bahasa Indonesia Dialek Papua dan Perkembangan Bahasa Anak.
Kertas kerja yang disampaikan di Seminar Bulan Bahasa Tahun 2007, Jayapura, Indonesia.
Tjia, J. (2007). Atlas bahasa Tanah Maluku: Seputar pengalaman dan perbaikan. Dlm
James T. Collins & Chong Shin (Ed.), Pemetaan Ilmu di Alam Melayu: Memperkenalkan
Nusantara Timur (hal. 83-92). Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Voorhoeve, C. L. (1975). Languages of the Irian Jaya: Checklist, Preliminary Classification,
Languages map, wordlist. Pasific Linguistics Series Bno.31. Canberrra: The Australian
University Press.
Widodo, S. (2006). Mengenal Bahasa Indonesia Dialek Jayapura. Kibas Cenderawasih 2 (2):
18-28.
40